Foto/Ist
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan
Tafsir Al-Qur'an
Salah satu upaya mencegah
penyebaran Covid-19, pemerintah mengimbau agar masyarakat menjaga jarak aman
minimal 1 meter. Apakah hal ini boleh diberlakukan dalam praktik salat
berjamaah di masjid atau musalla? Apakah salatnya sah?
Jawaban:
Mengenai hukum merapatkan shaf
(barisan) dalam salat berjama'ah, memang disunnahkan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam (SAW) dalam hadisnya:
وعن
أنس رضي اللّه عنه
أن رسول اللّه قال:
رصوا صفوفكم) أي حتى
لا يبقى فيها فرجة
ولا خلل (وقاربوا بينها)
بأن يكون ما بين
كل صفين ثلاثة أذرع
تقريباً، فإن بعد صف
عما قبله أكثر من
ذلك كره لهم وفاتهم
فضيلة الجماعة حيث لا
عذر من حر أو
برد شديد
"Dari sahabat Anas RA,
Rasulullah bersabda, "Susunlah shaf kalian) sehingga tidak ada celah dan
longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak
tiga hasta."
Mengenai hukum membuat jarak atau
merenggangkan shaf salat juga telah banyak dibahas di kalangan para ulama
Syafi'iiyah, di antaranya:
1. Imam Nawawi dalam Kitab
Minhajut Thalibin.
وَيُكْرَهُ
وُقُوفُ الْمَأْمُومِ فَرْدًا، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ
إنْ وَجَدَ سَعَةً
"Posisi berdiri makmum yang
terpisah dimakruh, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong
yang memadai."
Hukum merenggangkan shaf atau
membiarkan shaf berjarak hukum dasarnya adalah makruh.
2. Imam Syihabuddin Al-Qalyubi
dalam Kitab Hasyiah Qalyubiah.
Imam Syihabuddin menjelaskan kata
'fardan' atau terpisah sendiri di mana kanan dan kiri makmum terdapat jarak
yang kosong sekira dapat diisi oleh satu orang atau lebih.
قوله
(فردا) بأن يكون في
كل من جانبيه فرجة
تسع واقفا فأكثر
"Maksud kata (terpisah
sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat celah yang
memungkinkan satu orang atau lebih berdiri," (Syihabuddin Al-Qalyubi,
Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo, Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz
I, halaman 239).
Hukum dasar merenggangkan posisi
shaf memang dimakruhkan jika tidak ada uzur. Namun, sekiranya ada uzur, seperti
menjaga jarak aman dari penularan Covid-19 hari ini, maka hukumnya tidak lagi
menjadi makruh, sebagaimana pandangan Imam Ibnu Hajar al-Haitami berikut ini:
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab
Tuhfatul Muhtaj.
نَعَمْ
إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ
كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا
تَقْصِيرَ كَمَا هُوَ ظَاهِر
"Ya, sekiranya mereka
tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di
Masjidil Haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir,"
(Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296).
Jadi, menurut Imam Ibnu Hajar
Al-Haitami sekiranya ada uzur saat cuaca panas, maka hal tersebut tidak
menyebabkan kemakruhan. Apalagi dalam rangka mencegah penularan wabah penyakit
Covid-19 yang lebih jelas dikhawatirkan bahayanya.
Pandangan ini juga didukung oleh
Imam Ibnu 'Alan As-Shiddiqi di dalam kitabnya "Dalilul Faalihin".
"Jika sebuah shaf berjarak
lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput
keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin
misalnya." (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).
Lantas, apakah jika ada seseorang
saja yang berdiri memisahkan jarak aman (social distancing) antarjamaah dan
antarashaf minimal 1 meter dalam situasi uzur tersebut membatalkan salat
berjamaahnya dan alat Jumatnya?
Imam An-Nawawi dalam karyanya
yang lain, Raudhatut Thalibin menjelaskan bahwa seseorang yang mengambil jarak
dalam satu shaf berjamaah dalam kesendirian saja, meskipun makruh, tetapi salat
berjamaahnya tetap sah.
إذا
دخل رجل والجماعة في
الصلاة كره أن يقف
منفردا بل إن وجد
فرجة أو سعة في
الصف دخلها… ولو وقف منفرد
صحت صلاته
"Jika seorang masuk
sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Tetapi
jika ia menemukan celah atau tempat yang luas pada shaf tersebut, hendaknya ia
mengisi celah tersebut. Tetapi jika ia berdiri sendiri, maka salatnya tetap
sah." (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005
M/1425-1426 H], juz I, halaman 356).
Maka, idealnya jika seseorang
merasa dirinya berpotensi menjadi sebab kemudharatan bagi orang lain, sebaiknya
dia tidak ikut hadir salat berjamaah di masjid atau salat berjamaah lainnya.
Sebab, dalam hadits lain dari Jabir RA, Nabi SAW bersabda:
مَنْ
أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا
فَلْيَعْتَزلْنَا أَوْ: فَلْيَعْتَزلْ مَسْجدَنَا
[متفقٌ عليه]
"Barangsiapa yang memakan
bawang putih atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi
masjid kami". (HR. Bukhari-Muslim)
Perlu dipahami dari hadis di
atas, Nabi melarang seseorang yang memakan bawang dan mengganggu dengan bau
mulutnya mendatangi masjid/musalla untuk salat berjamaah. Apalagi membawa
potensi penyebaran wabah penyakit yang bisa membahayakan orang lain bahkan bisa
membawa kematian.
Wallahu A'lam Bisshowab
Dilansir dari SindoNews