Jam Gadang Yang Terletak Di Pusat Kota Bukittinggi Sumatera Barat
MPA,(BUKITTINGGI) - Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di
pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan
ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa
Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota
Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan
diperluasnya taman di sekitar menara jam
ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja
maupun di hari libur.
Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat
menara jam ini.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas
13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam
setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas
merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat
patah hingga harus diganti akibat gempapada
tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing
80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam,Belanda melalui pelabuhan
Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang
hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big
Ben di London, Inggris.
Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling
atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann
Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann,
sedangkan Recklinghausen adalah
nama kota di Jerman yang merupakan tempat
diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga
dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun
1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau
controleurFort de Kock (sekarang
Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara
jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan
peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat
itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan
biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong
fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak
diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal
itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik
nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah
mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung
ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan
Jepang diubah menjadi bentuk pagoda.
Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada
Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada
Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
(BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda
di Jakarta. Renovasi tersebut
diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22
Desember 2010.(*)