Foto/SINDOphoto
MPA, JAKARTA - Demi memuluskan kepentingan
investasi asing, pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai terus-menerus
mengorbankan kepentingan buruh lokal. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi
suram. Demikian kesimpulan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam refleksi
peringatan Hari Buruh tahun 2018.
Menurutnya, Pemerintah terus merilis berbagai aturan yang menyerahkan
kesempatan kerja di dalam negeri kepada buruh asing, termasuk untuk
pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu, pemerintah juga selalu menyangkal dan
menutup mata atas membanjirnya buruh kasar asal China di Indonesia. Ini membuat
kehidupan perburuhan menjadi suram. Celakanya, alih-alih melakukan penegakkan
hukum yang tegas dan ketat, pemerintah justru kian melonggarkan aturan tentang
tenaga kerja asing, ujaryna
melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (1/5/2018).
Tiga tahun lalu, Fadli mencontohkan, melalui Permenakertrans Nomor 16 Tahun
2015, pemerintah telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa
Indonesia bagi para pekerja asing. Belum ada setahun, peraturan itu kembali
diubah menjadi Permenakertrans Nomor 35 Tahun 2015.
"Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing
yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10
orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan itu
tidak ada lagi,” tegasnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai, itu bukan regulasi terakhir yang
merugikan kepentingan kaum buruh kita. Bulan lalu, tanpa kajian seksama atau
melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan,
pemerintah justru meluncurkan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing.
“Perpres No. 20/2018, misalnya, secara gegabah telah menghapus ketentuan
mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih
mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing),
namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses ‘screening’ atau
verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing,” jelasnya.
Dengan kata lain, kata Fadli, semua RPTKA ke depannya otomatis disetujui,
apalagi kini seluruh prosesnya dipersingkat tinggal dua hari saja. Menurut dia,
kebijakan ini sangat ceroboh dan berbahaya, selain tentu saja melanggar
ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Masih terkait izin, sesudah menghapus IMTA, Perpres Nomor 20 Tahun 2018 juga
membuat perkecualian mengenai kewajiban membuat RPTKA. Pada Pasal 10 ayat (1a),
disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris
tidak diwajibkan memiliki RPTKA."
Ketentuan ini dinilainya menyalahi UU Nomor 13 Tahun 2003 yaitu Pasal 42 ayat
(1) dan Pasal 43 ayat (1). Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan
komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukan tenaga
kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan
kewajiban atas RPTKA-nya.
“Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini
kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan
dilabrak,” tandasnya.
Klaim bahwa Perpres Nomor 20 Tahun 2018 ini disusun untuk melindungi tenaga
profesional kita, menurutnya cuma omong kosong. Dia meminta untuk membaca Pasal
6 ayat (1), di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki
jabatan yang sama di beberapa perusahaan. "Ketentuan semacam ini
berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional kita. Lalu di mana
perlindungannya?” ucap dia.
Fadli menilai Perpres Nomor 20 Tahun 2018 juga mengabaikan kewajiban
sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai
dengan Pasal 18 UU Nomor 13 Tahun 2003, dan PP Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap
tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi
kompetensi yang diakui oleh BNSP.
"Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin
verifikasi bisa dilakukan? Makanya jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja
asing asal China yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam
kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak," tegasnya
Dia berpandangan, kasus
semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan,
kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan
perburuhan.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi
kesejahteraan upah minimum buruh kita merupakan yang terendah keempat di ASEAN.
Kita hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja,” jelasnya.
Begitu juga kalau dilihat dari sisi kebebasan berserikat.
Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia.
Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat
buruh kita cukup banyak.
Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh
kita malah anjlok hingga 50%. Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh kita masih
berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja.
"Ke mana sisanya? Saya khawatir, meski pemerintah selalu
mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun
kenyataannya tidaklah demikian," kata d Fadli.
Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang
mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap
investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015
orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1
triliun nilai investasi.
“Itu sebabnya kita harus kritis terhadap turunnya angka
pengangguran yang sering diklaim pemerintah. Di atas kertas, persentase jumlah
pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak
lagi bekerja di sektor formal, melainkan telah terlempar menjadi pekerja di
sektor informal.”
Ini menjelaskan kenapa misalnya jumlah anggota serikat buruh
pada 2017 hanya tinggal 2,7 juta orang saja, padahal pada tahun 2007 jumlahnya
mencapai 3,4 juta orang. "Mereka sudah di-PHK dan kini hanya bisa bekerja
di sektor informal, seperti menjadi sisten rumah tangga, tukang pangkas rambut,
pedagang asongan, atau ojek online. Ini jelas bukan sektor yang kita harapkan
menjadi penopang penciptaan lapangan kerja,” tuturnya.
Merujuk pada data BPS, kata Fadli, dalam rentang tahun
2015-2016, perekonomian kita juga hanya bisa menciptakan 290 ribu hingga 340
ribu lapangan kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam situasi normal
angka serapan lapangan kerja seharusnya berada pada level 500 ribu per 1%
pertumbuhan ekonomi. Jadi, kemampuan penciptaan lapangan kerja ekonomi kita
sebenarnya di bawah standar.
“Itu sebabnya, saya menyimpulkan kehidupan perburuhan di era
pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas
tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu.”
“Saya membaca pernyataan pendukung pemerintah yang menyebut
banjirnya tenaga kerja asing saat ini merupakan efek kebijakan pemerintah Orde
Baru atau presiden di masa lalu. Menurut saya apologi itu sangat tak cerdas.
Seharusnya dia baca buku dan berbicara dengan data,” sambungnya.
Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT
APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun,
meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga
8% per tahun.
Tahun 1995 misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu.
Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2
ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing.
“Sekarang, dari sisi
akal sehat. Jika pemerintahan saat ini tak setuju kebijakan masa lalu, lalu
kenapa tidak koreksi? Bukankah itu alasan kenapa demokrasi mendesain
diadakannya pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi
pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik?” katanya.
Kenyataannya, tambah Fadli, bukan di masa Presiden Soeharto
terbit Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015 atau Permenakertrans Nomor 35 Tahun
2015, ataupun Perpres Nomor 20 Tahun 2018, yang kesemuanya menyisihkan
kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan
Presiden Joko Widodo.
“Saya mendukung Perpres Nomor 18 Tahun 2018 dicabut begitu
juga aturan-aturan lain yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh
lokal sejahtera,” pungkasnya. (kri/ar)
Sumber : Sindonews.com