Photo : Deputi III Kemenko Polhukam Yulizar Gaffar, Kuasa
Hukum A. Gafar Rehalat dan wakil masyarakat 4 Desa di ruang pertemuan di
Kemenko Polhukam pada hari Selasa, 5/2/2019.
MPA,JAKARTA - Terkait lahan yang dicaplok
perusahaan, Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan melakukan pengaduan ke Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum
dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta Pusat pada hari Selasa 5/2/2019. Warga
yang terhimpun dalam Forum FMGB mewakili masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa
Sebamban Lama, Desa Trimartani di Kecamatan Sungai Loban dan Desa Hati’if
Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan
mengadukan eks Perusahaan Pengusahaan Hutan milik Probosutejo yang sekarang
menjadi PT. Hutan Rindang Banua (HRB) milik Sinarmas Group, United Fiber System
Singapura dan PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB) karena lahan pertanian dan
perkebunan masyarakat setempat dicaplok perusahaan tersebut. Luasan lahan yang
diklaim telah diserobot pihak perusahaan secara rinci adalah: lahan Desa
Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, Desa Sebamban Lama leluas 926 Ha, Desa
Trimartani Seluas 40 Ha dan Desa Hati’if seluas 741 Ha.
Kuasa hukum Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) Abdul
Gafar Rehalat mengatakan bahwa pertemuan dengan Kemenko Polhukam bertujuan
untuk mengajukan permohonon perlindungan hukum atas berlakunya putusan Mahkamah
Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011 tanggal 12/2/2012. "Terkait
dengan sengketa lahan tersebut maka kami menggunakan dasar hukum dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12/2/2012,
maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli
2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak
lagi mengikat (tidak mempunyai dasar hukum) dan salah satu point putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam menentukan Pengukuhan Kawasan Hutan juga
harus memperhatikan tata ruang wilayah, antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak- hak
perorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan
sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka
penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari
kawasan hutan supaya tidak menimbulkan
kerugian pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan
kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut," jelas Gafar
kepada media seusai pertemuan dengan pihak Kemenko Polhukam.
"Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksananya Pasal 24
jo Pasal 76 PP No. 24 tahun 1997 tentang
Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah juga sebagai dasar hukum klien kami,"
lanjut Gafar.
Abdul Gafar Rehalat juga menjelaskan kronologis disertai
dengan dasar dan alasan-alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam rujukan dasar
hukum, antara lain surat pernyataan kronologis tanah-tanah tersebut, jauh
sebelum Menteri Kehutanan menunjuk lahan tersebut masuk ke dalam kawasan Hutan
Taman Industri pada tahun 1990-an diberikan konsensinya kepada PT. Menara Hutan
Buana (PT. MHB) yang dimiliki Probosoetedjo berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998
seluas 268.585 Hektar di tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.
"Perusahaan ini direncanakan menggarap kayu Akasia sebagai bahan baku
industri bubur kertas dan pulp, yang semula bekerjasama dengan Inhutani, namun
belakangan Probosutejo mengambil alih 40 % saham Inhutani dan menguasai 100%
saham PT. MHB. Selanjutnya, PT. MHB dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan pada
tahun 2002 yang berujung perkara di PTUN yang akhirnya dimenangkan oleh pihak
PT. MHB. Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan tahun 1998, perusahaan PT. MHB memperoleh izin HTI selama 43 tahun.
Menangnya perkara di PTUN melawan Menteri Kehutanan pada tahun 2004, memuluskan
Probosutejo untuk menjual (MHB) konsensi HTI nya itu kepada perusahaan asing
yang sahamnya listing di Bursa Singapore bernama United Fiber System (UFS) konsorsium 8 negara yang memiliki usaha operasi Hutan Tanaman
Industri (HTI) di Indonesia, meliputi
PT. Hutan Rindang Banua (PT.HRB), PT. Mangium Anugrah Lestari (PT. MAL),
dan PT. Marga Buana Bumi Mulia (PT.
MBBM). Kemudian SK Menhut tersebut diadakan perubahan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006
tentang Balik Nama Pengusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan
kewajibannya dari PT. Menara Hutan Buana (MHB) kepada PT. Hutan Rindang Buana
(HRB), anak perusahaan dari UFS," jelas Gafar sambil menunjukkan beberapa
dokumen pendukung yang dimiliki.
Selanjutnya, Abdul Gafar Rehalat juga menuturkan bahwa di
lahan yang sama PT. Borneo Indo Bara (BIB) yang dimiliki oleh PT. Golden Energy
Mines (GEMS), anak perusahaan dari PT. Dian Swastika Sentosa (DSSA), untuk
dapat mengeksploitasi batubara (sebagian) di atas bekas lahan-lahan perkebunan
dan ladang warga masyarakat ke-4 desa tersebut, melakukan tukar guling sahamnya
masing-masing dengan Unitied Fiber System (UFS). "Kedua perusahaan
tersebut, terkait dengan tanah, hanya mengandalkan SK Menhut 'Produk Rezim Orde
Baru', sedang pengaturan tanah dasar hukumnya harus berdasarkan UUPA. Mereka
tidak memiliki hak atas tanah berdasar UUPA, semisal HGU atau Hak Pakai atas
tanahnya. Itulah dungunya mereka dan arogansi 'Rezim Kehutanan' dengan istilah
'penunjukan kawasan'," papar Gafar.
Bahwa lahan bekas tanah perkebunan, sambung Gafar, milik
masyarakat Desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, Desa Sebamban Lama Seluas 926
Ha, Desa Trimartani Seluas 40 Ha, Desa Hati’if seluas 741 Ha tersebut, sejak
tahun 2012 sampai dengan saat ini telah diekspolitasi untuk usaha penambangan batubara.
"Berkali-kali warga masyarakat menyampaikan keberatan dan menuntut adanya
ganti-rugi atas lahan atau tanah tersebut, baik dari PT. Menara Hutan Buana
maupun PT. Hutan Rindang Banua dan/atau PT. Borneo Indo Bara dengan sisten sewa
lahan atau fee lahan," ujar Gafar.
Sementara itu, kata Gafar lagi, fakta hukumnya tanah-tanah
perkebunan warga masyarakat tersebut saat ini secara melawan hak/hukum oleh PT.
Borneo Indo Bara telah digunakan kegiatan penambangan batubara. "Alasannya
bahwa areal lahan dimaksud adalah merupakan kawasan hutan tanaman industri
milik PT. Kirana Khatulistiwa / PT. Hutan Rindang Banua (HRB)," tambah
Gafar dengan mimik heran.
Saat ini warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban
Lama, Desa Trimartani, Desa Hati’if menuntut kepada Menteri Kehutanan dan
khususnya kepada PT. HRB dan PT. BIB (GEMS & UFS) melalui Pemerintah Pusat,
dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, agar tanah-tanah perkebunan miliknya
dahulu itu dikembalikan dan keluarkan dari kawasan hutan menjadi tanah milik
setiap warga sesuai dengan SKT-nya masing-masing pemilik. Surat pengaduan
dilengkapi dokumen keabsahan kepemilikan lahan (SKT - red) telah disampaikan
kepada Menko Polhukam.
Adapun isi surat yang disampaikan kepada Kemenko Polhukam,
tutur Gafar, berisi antara lain:
I. Melepaskan tanah-tanah klien kami sesuai
dengan bidang peta dalam SKT tersebut di atas (Tanah Perkebunan Rakyat) dari
Penunjukan Kawasan Hutan dan SK Menhut Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27
Februari 1998 seluas 268.585 Hektar juncto Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI
Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 yang merupakan produk Kroni
Orde Baru tersebut yang merugikan masyarakat pemilik lahan kebun untuk
selanjutnya dimasukan dalam Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA) untuk menjadi
hak milik warga masyarakat sebagaimana disebutkan luasan dan lokasi berdasarkan
bidang peta tanah masing-masing dalam surat keterangan perkebunan di atas.
II. Selama lahan-lahan milik klien kami tersebut terus
digunakan kegiatan usaha penambangan dan menghasilkan produksi batubara, wajib
melakukan ganti-rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa lahan (fee lahan)
sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per Metrik Ton;
III. Melakukan ganti-rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk
sewa atas tanah-tanah hak/milik masyarakat yang digunakan jalan angkutan
hauling batubara oleh PT. Borneo Indo Bara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah)
per MT/ bulan, terhadap tanah- tanah masyarakat yang telah digunakan jalan
angkutan batubara di Desa Hati'if, pemekaran dari Desa Mangkalapi dan Desa
Sebamban Baru sesuai dengan bukti masing-masing bidang peta SKT Perkebunan dan
SPPFBT milik warga masyarakat di Desa Hati'if Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten
Tanah Bumbu.
Sebelumnya, warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa
Sebamban Lama, Desa Trimartani, Desa Hati’if yang berada di Kecamatan Sungai
Loban bermaksud ingin melakukan aksi penutupan area tambang PT. BIB dan area
kegiatan penanaman kembali hutan tanaman Industri PT. HRB yang saat ini sedang
dikerjakan oleh kedua perusahaan tersebut. Jika hal tersebut terjadi
dikawatirkan dapat menimbulkan bentrok dan persoalan hukum lain. Maka oleh
karenanya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat
menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tahun politik ini sehingga
diharapkan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI dapat
segera membantu penyelesaian sengketa masyarakat dengan kedua perusahaan
tersebut. (MRS/Red)