Oleh : Simon Syaefudin
Hujan rintik-rintik sejak pagi tak membuatku membatalkan niat untuk pergi ke Pasar Filipina di Kinabalu, Negeri Sabah, Malaysia. Aku mendengar informasi dari teman-temanku yang sudah pergi ke sana seperti Fatin Hamama, penyair asal Solok Sumbar dan Siti Rahmah, novelis asal Kinabalu Negeri Sabah bahwa masakan seafood di Pasar Filipina enak sekali. Harganya juga murah jika dibandingkan seafood di Mangga Dua dan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pasar Filipina, dinamakan demikian, karena memang para pedagangnya orang-orang Filipina. Mereka adalah para pengungsi yang lari dari Pulau Mindanau ketika terjadi peperangan antara angkatan bersenjata Filipina dengan Pejuang Muslim Moro di zaman Presiden Marcos. Mereka lebih memilih mengungsi ke Sabah dibanding ke Thailand atau Myanmar karena orang-orang Negeri Sabah beragama Islam, sama dengan agama orang-orang Moro. Pemerintah Negeri Sabah pun menerima pengungsi Moro dengan tangan terbuka.
Karena para pengungsi ini kebanyakan pelaut, Pemerintah Negeri Sabah membuat pelabuhan laut sekalian dengan tempat pelelangan ikan untuk para pengungsi agar bisa bekerja. Lebih jauh lagi, pemerintah Negeri Sabah membuat pasar khusus untuk kuliner ikan bakar di dekat tempat pelelangan ikan itu.
Ternyata berhasil. Pasar itu kini dikenal penduduk Kinabalu sebagai Pasar Filipina dan sekarang menjadi ikon wisata kuliner di Negeri Sabah. Turis-turis lokal maupun mancanegara sangat menyukai pasar ikan bakar itu karena di samping enak, harganya murah. Kini Pasar Filipina sangat ramai, terutama di malam hari. Bukan hanya masyarakat Kinabalu yang datang untuk menikmati ikan bakar di Pasar Filipina, tapi juga orang-orang dari daerah lain yang jauh seperti Kuala Lumpur, Kedah, Terengganu bahkan orang Singapura.
Aku memang penggila seafood. Di Jakarta, hampir semua warung seafood sudah aku jelajahi, dari ujung ke ujung. Karena itu air liurku terasa asin bila membayangkan enaknya seafood di Pasar Filipina itu. Aku sempat berpikir kalau makan seafoodnya bareng ama mantanku, Metti Prameswari, alumnus UGM, pasti asyik. Beberapa kali aku makan seafood dengan dia di Kemayoran Jakarta sambil mengenang masa lalu yang tidak kesampaian. Maksudnya gak bisa pacaran selama kuliah di UGM. Setelah beberapa bulan sering bertemu di Jakarta, kami punya istilah pade – pacaran ketemu gede. Saat itu saya 34 tahun, dia 32. Pade setelah masing-masing berusia datita – diatas tiga puluh tahun. Metti masih cantik seperti dulu. Matanya seperti bule. Hidungnya seperti India. Alisnya seperti orang Uzbekiatan, agak melingkar. Dia bilang dulu sebenarnya naksir aku. Tapi gak berani ngomong. Sama sepertiku. Aku juga naksir dia. Tapi tak berani ngomong. Ya.sudah gak kesampaian. Sekarang, idep-idep balas dendam masa lalu, katanya. Aku juga mengiyakannya.
Fatin, sahabatku yang pinter buat puisi itu memberitahu bahwa Pasar Filipina sangat terkenal. Turis-turis manca negara bila ke Kinabalu pasti menyempatkan diri ke Pasar Filipina. Kata Fatin, ada satu seafood yang paling khas di Pasar Filipina. Namanya latoh. Sejenis rumput laut, tapi bentuknya mirip daun putri malu. Warnanya hijau transparan. Lotoi rebusan ini biasa dimakan sebagai lalapan. Rasanya ngekres tapi nggrinjel kaya makan bakso gepeng. Bener-bener membuatku penasaran. Cara makannya, latoh dicolek ke sambal, lalu dimakan. Seperti orang Jawa makan lalapan kangkung. Ouup... sambalnya sederhana. Tapi sedap sekali. Terbuat dari irisan cabe merah, sedikit terasi, dan air jeruk limau dan jeruk nipis. Maaf itu perkiraanku saja. Aku belum pernah bertanya kepada para pedagag ikan bakar di pasar Filipina bagaimana cara membuat sambal itu. Tapi rasa bsambal itu, amboi... nikmat sekali jika dimakan dengan ikan bakar.
“Aku selalu menyempatkan makan latoh kalau ke Kinabalu,” kata Fatin. Fatin adalah seorang penyair produktif asal Solok Panjang.
“Aku senang sekali lalapan latoh, rumput laut yang bentuknya benar-benar seperti pohon putri malu itu,” ungkap Fatin yang sudah sering pergi ke Kinabalu. Cerita Fatin tentang latoh itu dibenarkan Rahmah, temannya, wanita asli dari Kinabalu.
“Kak Simon harus pergi ke Pasar Filipina jika ingin merasakan makanan khas kota atas bayu ini,” kata Rahmah dengan suara jernihnya. Rahmah memanggil aku kakak, karena merasa lebih muda satu minggu dariku. Aku dan Rahmah lahir di tahun yang sama bulan Juli, Cuma beda tanggalnya. Aku tanggal 15, Rahmah tanggal 22. Hanya beda seminggu saja. Waktu kami berbincang di Tugu Double Six Kinabalu, Rahmah mengaku sudah punya cucu. Dalam batin, aku juga harusnya punya cucu. Tapi karena nikahnya terlambat, gak laku-laku, jadi anak-anakku masih kecil-kecil. Yang sulung saja masih kuliah.
“Kak Simon punya cucu belum?” tanya Rahmah.
“Belum,” jawabku. “Aku nikah usia tua, 35 tahun, Cik Rahmah. Akibatnya anakku yang tertua saja masih kuliah tahun ketiga di universitas. Belum menikah. Jadi punya cucunya masih lama,” kataku. Cik Rahmah hanya tersenyum mendengar penjelasanku.
“Kak Simon pastilah seorang pengarang jenius karena lahir di bulan Juli. Pengarang, arsitek, ilmuwan besar rata-rata lahir di bulan Juli,’ ujar Cik Rahmah. “Secara astrologis orang-orang berbintang Cancer itu imajinasinya tinggi,” tambahnya.
“Ah ada-ada saja Cik Rahmah. Aku kurang percaya pada astrologi.” Meski aku kurang percaya, tapi aku mengangguk-angguk. Sepertinya ada sesuatu yang benar yang dikatakan Cik Rahmah. Setidak-tidaknya, apa yang dinyatakan Cik Rahmah itu sedikit ada buktinya. Emha Ainun Najib, penyair dan seniman yang sangat aku kagumi memang berbintang Cancer. Begitu juga begawan teknologi Indonesia, BJ Habibie berbintang Cancer. Keduanya lahir bulan Juli.
Cik Rahmah bercerita bahwa dia sudah menulis puisi sejak usia belasan tahun. Sampai saat ini ratusan cerpen, novel, dan puisi sudah ditulisnya. Beberapa cerpennya menjadi buku ajar di sekolah-sekolah negeri di Sabah. Dan sampai sekarang Cik Rahmah masih rajin menulis.
“Aku akan berhenti menulis kalau tanganku tidak bisa digerakkan lagi. Aku hanya berhenti menulis kalau usia menjemputku,” ungkap Cik Rahmah. Luar biasa. Aku jadi iri dengan Cik Rahmah. Dalam batin, aku beruntung bisa berkenalan dengan sastrawan hebat ini. Semoga aku ketularan kreativitas Cik Rahmah. Meski usianya menjelang 60 tahun, ia kelihatan masih cantik. Kulitya belum keriput. Matanya masih tajam, menunjukkan semangat hidupnya yang menyala-nyala. Cik Rahmah memang wanita super yang perlu dicontoh.
*****
Simong San.... Simong San....
Aku kaget. Telingaku mendengar ada wanita memanggil-manggil nama Simong San sampai dua kali. Saat itu aku sedang asyik melihat suguhan ikan bakar baronang dan udang macan, sehingga tak terlalu peduli dengan suara yang memanggil-manggil nama Simong San.
Tapi setelah berpikir agak lama, aku penasaran juga. Siapa wanita yang memanggil-manggil nama Simong San ini? Kok suaranya bukan cengkok Melayu? Suaranya lembut mengingatkan suara gadis-gadis Jepang waktu aku menonton film di tivi Hiroshima. Kuhentikan mencowel sambal asam untuk makan lalapan latoh. Aku tengok kiri kanan.
Ouh.. aku terkesiap. Mataku terbelalak! Ternyata ada wanita berhijab di sebelah kananku. Ia berdiri sejauh 5 meter dari tempat dudukku di kedai bakar ikan Pasar Filipina. Apakah wanita itu yang tadi memanggil manggil nama Simong San?
Aku perhatikan wajahnya. Ternyata wanita ini bukan orang Melayu. Meski pakai jilbab, masih terlihat bentuk wajah dan kulitnya bukan orang Malaysia atau Indonesia. Kulitnya kuning langsat, matanya sipit, bibirnya tipis, dan dagunya agak lancip. Mirip orang Jepang. Aku melirik sekilas pada wanita berhijab itu.
Tiba-tiba perasaanku aneh. Kayaknya wajah wanita berhijab ini pernah aku kenal. Tapi di mana ya? batinku. Pikiranku melayang jauh 25 tahun lalu. Oh ya, aku jadi ingat lagi, orang Jepang kalau panggil aku Simong. Simong San.
Kata Simon diucapkan Simong. Sedangkan kata San adalah sebutan hormat, semacam bang di Jakarta. Kalau di Mesir, kapten atau ammu. Di Cirebon kang. Di Yogya mas. Di Bali bli.
Aku terdiam. Aku berpikir, jangan-jangan wanita cantik bermata sipit ini yang tadi memanggil-manggil nama Simong San. Apakah aku yang dipanggil? Jika benar aku, kenal dari mana dia denganku? Aku makin penasaran. Aku jadi ingat, teman-teman Jepangku dulu di Tokyo dan Hiroshima kalau manggil aku Simong San. Tapi mana ada wanita Jepang berhijab? Itulah yang membuat aku makin penasaran.
Kuhentikan lidahku yang sedang mengunyah latoh. Pikiranku mengembara ke masa silam, 25 tahun lalu. Aku sepertinya mengenal perempuan paruh baya yang berhijab ini. Cuma aku tak berani mendekatinya untuk bertanya, apakah dia yang tadi memanggil nama Simong San? Ketika hatiku sedang bergejolak diterjang fantasi masa lalu, tiba-tiba wanita berhijab bermata sipit itu mendekatiku. Aku makin kaget.
“Simong San. Do you still remember me?” katanya seraya mendekat ke arahku. Kini jarak antara perempuan berhijab itu denganku hanya satu meter. Aku benar-benar kaget. Tekejut. Kok dia berani menanyakan apakah aku masih mengingatnya?
“Pardon...madam. Who are you?” kataku agak gelagapan ketika wanita berkulit kuning langsat itu menanyakan apa aku masih ingat kepadanya. Makan latoh pun aku hentikan. Aku fokus pada perempuan berwajah Jepang ini.
“I am Ayumi,” katanya sambil senyum.
“Haa? “Are you Ayumi?” Aku gelagapan. Aku kaget bukan main. Hampir-hampir lalapan latoh yang masih ada sedikit di mulutku terlontar keluar.
Aku langsung berdiri. Aku langsung mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Ayumi langsung menyambut tanganku. Tangan kami seolah tidak mau lepas. Sambil aku guncang tangan Ayumi, aku tak sadar berkali-kali mengucapkan ...Ayumi .... Ayumi... Ayumi.
“I still remember you. I can’t forget you, Ayumi San. You are always in my heart!” kataku. Ayumi tersenyum. Ia juga kaget kalau aku katakan tak pernah melupakannya.
“How is your mother Akemi San and your father Suzuki San?”
“Baik-baik. Mereka sehat, arhamdurirah,” katanya.
Aku makin kaget lagi. “Kau bisa bahasa Melayu,” tanyaku. Ayumi mengangguk. “Aku sekarang jadi orang Merayu,” katanya. Suamiku orang Maraisia.
Lidah orang Jepang memang sulit menyebut huruf l (el). Kata Melayu, ia sebut Merayu. Alhamdulilah, menjadi arhamdurirah. Aku memakluminya ketika Ayumi menyatakan kalimat alhamdulillah dengan arhamdurirah. Maklum lidah Jepang. Tapi lama-lama, aku yakin lidahnya bisa menyesuaikan dengan lidah Melayu.
Aku kenal Ayumi, 25 tahun lalu saat mengikuti Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21. Program tersebut diselenggarakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk membangun persahabatan antara pemuda Indonesia dan Jepang. Pesertanya para pemuda berprestasi. Pemuda teladan, aktivis lembaga sosial, penulis, pegawai negeri berprestasi, dan lain-lain. Aku terpilih sebagai penulis kolom yang dianggap berprestasi. Saat itu, aku menjadi juara pertama lomba menulis se-Indonesia dalam rangka peringatan 100 Tahun Arsip Nasional. Di samping uang, hadiahnya diikutkan program persahabatan Indonesia-Jepang.
Selama di Jepang, sebulan penuh, para peserta diperkenalkan berbagai kebudayaan Jepang. Terus dilibatkan dalam diskusi tentang peran pemuda abad ke-21 dengan para pemuda dan tokoh intelektual Jepang. Peserta juga dibawa ke tempat-tempat wisata Jepang di Kyoto, Hiroshima, Okinawa, dan kota-kota wisata lain. Kemudian ada program home stay selama tiga hari di rumah orang Jepang. Tujuannya agar pemuda Indonesia bisa menghayati bagaimana kehidupan orang Jepang sehari-hari on the spot langsung.
Nah, ketika program home stay inilah aku kenal Ayumi. Aku tinggal di rumah Keluarga Suzuki, seorang kontraktor di Hiroshima. Istrinya, Akemi. Keluarga Suzuki punya dua anak. Yang sulung Ayumi. Adiknya, lelaki, Amida. Ayumi saat itu kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Hiroshima University tahun keempat. Usianya saat itu 22 tahun. Amida masih SMA.
Sebelum menginap di rumah orang Jepang, pihak JICA sudah memberi tahu sedikit bagaimana cara hidup orang Jepang. Pertama, kalau masuk ke rumah orang Jepang, sepatu harus diletakkan dengan rapi. Setelah dicopot, sepatu diletakkan dengan ujungnya menghadap ke luar rumah. Kedua jangan sekali-kali berbuat tidak senonoh kepada wanita Jepang. Itu bisa dianggap pelecehan seksual dan hukumannya sangat berat. Ketiga harus memberikan omiyage kepada keluarga yang akan ditempati (home stay) untuk mempererat persaudaraan. Omiyage adalah semacam hadiah atau oleh-oleh bila orang Jepang berkunjung atau menemui keluarga atau temannya. Omiyage ini seperti wajib untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Saat itu aku membawa omiyage wayang kulit dan batik Trusmi. Aku membelinya di Cirebon. Aku juga membawa bumbu masak nasi goreng. Keluarga Suzuki senang sekali dengan omiyage yang aku berikan. Apalagi ketika aku masak nasi goreng. Ayumi suka sekali masakanku. “Oishi.. oishi,” kata Ayumi. Enak, katanya.
Aku heran, keluarga Suzuki baik sekali padaku. Padahal yang tinggal di rumah Suzuki, dua orang. Aku dan Handri. Tapi, Suzuki, Akemi, dan Ayumi sangat mengistimewakan aku.
“Simong itu lucu. Banyak cerita hal-hal yang mengasikkan,” kata Ayumi dalam bahasa Inggris terpatah-patah. Akemi juga menyatakan hal sama. “Kehadiran Simong di rumah sangat menghibur kami,” katanya. Aku memang sebelum home stay sudah mengumpulkan cerita-cerita lucu. Bahasa Jepang sedikit-sedikit aku pelajari. Nama-nama pemain bola Jepang saat itu seperti Kenichi, Suzuki, dan Hiroshi juga aku hapal. Aku yakin obrolan tentang sepak bola akan mengakrabkan aku dengan tuan rumah. Sedangkan Handri diam saja. Ia lebih banyak unggah-ungguh. Maklumlah Handri orang Jawa dari Semarang. Sangat pemalu.
Ayumi saat itu suka denganku. Ia mengajak aku keliling kota Hiroshima dengan mobil Audi warna merah. Masyarakat Jepang tahu, kalau mobilnya buatan Jerman, itu simbol orang kaya. Ayumi memang anak orang kaya, kontraktor besar.
Ayumi mengajak aku, naik mobil Audi merah ke Miyajima, tempat wisata terkenal di Hiroshima. Di sana ada kuil di pinggir laut. Kalau musim pasang laut, kuil itu terendam. Di kuil ini ada pohon cemara berusia dua ratus tahun. Aku juga diajak Ayumi melihat jembatan Kintakiyo – jembatan kuno yang semuanya terbuat dari kayu. Tak lupa, Ayumi membawaku melihat musium bom atom di kota Hiroshima dan naik trem yang mengitari kota. Seharian aku jalan-jalan dengan Ayumi, hanya berdua. Handri tidak diajak. Entah kenapa, Ayumi hanya mau berjalan denganku. Sedangkan Handri pergi bersama orang tua Ayumi. Kata Handri, ia diajak Suzuki ke pasar seni yang menjual barang-barang antik di kota Hiroshima. Suzuki tahu kalau Handri adalah seniman.
Di hari ketiga, menjelang kepulanganku dari Hiroshima, aku duduk-duduk di ruang tengah. Saat itu pukul sebelas malam. Handri sudah tidur di atas tatami. Suara dengkurnya terdengar keras, menandakan dia tidur pulas. Tapi aku masih belum tidur. Nonton tivi bersama Ayumi. Pas ketika jarum jam menunjukkan angka dua belas waktu setempat, Ayumi memaggilku masuk ruangan.
“Simong San suka menonton film?” kata Ayumi. Sebagai tamu aku bilang saja iya, tak berani menolak. Aku pun masuk ruangan itu. Ternyata semacam teater kecil. Ada tivi layar lebar, sound sistem bersuara keras, dan sofa warna biru yang empuk. Ayumi langsung memasukkan disk film Pretty Woman yang dibintangi Richard Gere dan Julia Roberts. Meski aku sudah menonton film itu di Jakarta, aku bilang kepada Ayumi belum pernah nonton film Pretty Woman agar Ayumi tidak kecewa.
Mulanya aku asyik menonton film itu. Lama-lama, keasyikanku terganggu. Duduk Ayumi di sofa makin dekat denganku. Dengan hanya memakai celana pendek dan kaos you can see warna merah jambu, Ayumi terus mendekatkan diri ke tempat dudukku.
Wah gimana nih, aku bingung. Aku bisa tergoda dengan gadis Jepang yang cantik berkulit kuning langsat ini. Aku pura-pura bodoh. Aku pura-pura asyik nonton film. Padahal hatiku dag dig dug melihat pakaian Ayumi yang serba minim. Aku masih ingat nasehat Pak AR Fachrudin, bapak kosku waktu kuliah di Yogya. Jangan dekati perbuatan zina, kata Pak AR. Aku masih terngiang kata-katanya. Dalam batin, tidak... tidak, aku tidak akan menyentuh Ayumi, meski tubuhnya yang wangi sudah sangat dekat denganku.
“Sorry Ayumi, I am sleepy,” kataku ketika Ayumi terlihat sudah mulai mendongakkan wajahnya di sampingku supaya aku menciumnya. Sorry, aku sudah mengantuk Ayumi. Ayumi rupanya kaget. Mungkin karena aku tidak meresponnya, padahal ia sudah pasrah, mau diapakan saja olehku.
“Oh sorry Simong San. Maybe you are tired,” katanya. Maaf Simong, mungkin anda sudah capai, kata Ayumi. Ayumi pun mengantarkan aku ke kamar tidur yang sudah disediakan. Handri sudah terlelap. Yang terdengar hanya dengkurnya. Aku pun pura-pura segera tidur. Lalu Ayumi pergi ke kamar sebelah, kamar tidurnya.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Wajah Ayumi terbayang-bayang terus. Apalagi ketika nonton film di ruang teater mini dengan busana sangat seksi. “Tidak. Tidak. Aku tak boleh ingat itu,” batinku sambil mengingat nasehat Pak AR Fachrudin. Siang harinya, aku berpamitan karena harus berkumpul dengan teman-teman dari Indonesia yang baru selesai home stay. Tapi malamnya kami masih harus bermalam di Hiroshima sekalian menghadiri acara farewell party di hotel Hiroden dengan “induk semang” tempat kami tinggal selama tiga hari di Hiroshima.
Acara farewell party cukup meriah. Suzuki, Akemi, dan Ayumi datang ke acara farewell party yang dilaksanakan JICA. Ayumi memakai busana merah jambu. Merah jambu ini mungkin warna favorit Ayumi. Dengan rok panjang warna merah jambu dan sepatu hak tinggi, Ayumi kelihatan anggun.
Selama acara farewell party di lantai dua Hotel Hiroden, Ayumi menggandeng tanganku. Mesra. Tak peduli bapaknya, Suzuki San, meledeknya. Ia bilang kepada Ayumi, Simong San sudah punya pacar di Indonesia. Tapi Ayumi tak peduli.
Suzuki San memang pria yang lucu dan humoris. Suka ngledek orang. Handri, teman satu kamar di hotel Hiroden dan di rumah Suzuki, juga pernah diledeknya. Kata Suzuki, Handri mirip Akira Kurosawa, sutradara film terkenal Seven Samurai itu. Suzuki tahu dari biografi Handri yang diberikan JICA, kalau pemuda dari Semarang itu punya cita-cita jadi sutradara film. Dipuji seperti itu Handri hanya senyum-senyum. Mungkin malu karena sebetulnya wajah dia tidak mirip sama sekali dengan Akira Kurosawa. Kalau saya tatap, wajah Handri mirip Teru Miyamoto, penulis novel Maboroshi no Hikari.
Usai acara farewell party di hotel Hiroden, Hiroshima City, aku pun masuk kamar. Aku capek setelah membereskan semua barang-barang, baju, celana, dan lain-lain untuk kembali ke Tokyo. Jam sepuluh malam, setelah acara usai, aku pun tidur-tiduran di kamar. Membaca koran Hiroshima Daily, agar cepat kantuk.
Tiba-tiba ...tok..tok..tok. Ada orang yang mengetuk pintu kamarku. Ouh...ternyata Ayumi. Ia pun masuk kamarku. Tanpa kuduga sebelumnya, ia memelukku erat-erat seakan-akan orang yang rindu kepada pacarnya setelah tidak bertemu selama lima tahun. Ayumi menangis. Aku diam saja. Lalu Ayumi mengeluarkan sebuah poscard warna merah jambu yang berisi tulisan: I love you Simon. Aku pun kaget luar biasa. Ternyata gadis Jepang itu menyintaiku. Aku? Pikiranku tak karuan. Cinta memang tak tak kenal batasan bahasa, kulit, dan ras. Cinta adalah cinta. Cinta bagaikan sinar matahari yang menerangi bumi. Tanpa pamrih. Tanpa bisa dicegah.
Poscard merah jambu itu aku genggam dan kutempelkan di dada sambil memandang Ayumi. “I love you too,” jawabku. Ayumi tersenyum. Lalu memelukku. Aku ingat nasehat Pak AR sehingga aku pun segera melepaskan pelukan Ayumi. “Sorry Simong, I miss you. I love you,” kata Ayumi dengan suara lembut.
******
Kini Ayumi berada di hadapanku di Pasar Filipina, Negeri Sabah. Usianya sudah menua, tapi gurat-gurat kecantikannya masih terlihat.
“Sekarang tinggal di mana Ayumi,” tanyaku.
“Aku tinggal di Kinabalu. Ia pun memberikan kartu penduduk. Namanya tertulis Ayumi Matlani.
Aku kaget. Matlani? Siapakah suami Ayumi? Aku tahu Matlani adalah nama khas Melayu. Seperti nama Sabeni di Betawi. Aku jadi ingat Jasni Matlani, nama Presiden Badan Bahasa dan Sastra Negeri Sabah yang ramah dan humoris itu. Ketika aku usai membaca puisi di kampus Institut Keguruan dan Pendidikan di Kinabalu, Jasni Matlani menepuk bahuku sambil memuji, bagus puisimu Simon! Senang aku dipuji penyair dan novelis top Negeri Sabah itu.
“Kenapa nama belakangmu Matlani?” tanyaku kaget pada Ayumi.
“Suamiku sekarang orang dari Negeri Sabah. Namanya Muhammad Azis Matrani,” jawab Ayumi. Maksudnya Muhammad Azis Matlani. Aku terhenyak. Ooh Ayumi, gumamku tanpa sadar.
“Jadi kamu sekarang beragama Islam sehingga memakai hijab?” tanyaku penasaran.
“Ya Simong, aku sekarang musrimah. Suamiku memintaku memakai hijab sebagai ciri wanita musrimah. Suamiku sudah mengajarku membaca ayat-ayat ar-Qur’an dan pelajaran hadist,” jelas Ayumi.
Ayumi pun aku minta duduk di sebelahku, ikut makan ikan bakar dan lalapan latoh. Aku pesan cumi, ikan kerapu, dan udang macan bakar untuk Ayumi. Minumnya aku pesan orange juice, kesukaan Ayumi waktu di Jepang.
“Bagaimana suamimu dulu,” tanyaku. Aku tahu Ayumi sudah bersuami karena sebelum menikah ia bercerita melalui surat kepadaku bahwa ayahnya memaksa menikah dengan seorang bankir. Suzuki San ingin Ayumi menikah dengan orang kaya. Padahal Ayumi pernah menyatakan dalam suratnya, siap menikah denganku. Tapi karena desakan ayahnya, akhirnya dia terpaksa menikah dengan bankir itu.
“Aku sudah pisah dengan suamiku. Aku tak tahan karena suamiku suka mabuk. Dia peminum berat. Jadinya kasar dan suka menyakitiku. Aku tak tahan dan lari,” cerita Ayumi dengan wajah sendu dalam bahasa Inggris.
“Simong San, sebetulnya aku ingin menikah dengan orang Merayu seperti Indonesia atau Maraiysia. Makanya aku berusaha mendekatimu waktu di Hiroshima. Aku diberitahu teman-temanku yang sudah menikah dengan orang Indonesia bahwa orang Indonesia tidak suka minuman keras. Orang Indonesia juga tidak suka pesta. Agama yang dianutnya melarang orang minum minuman keras dan pesta dansa,” Ayumi menjelaskannya dengan wajah tertunduk. Aku pun ikut prihatin, kasihan mendengarnya.
“Tapi Simong tahu sendiri kan. Orang Jepang itu sangat materialistis. Semuanya diukur dengan uang dan kekayaan. Itulah sebabnya, ayahku meminta aku menikah dengan bankir yang kaya,” tutur Ayumi.
Aku diam. Sesekali tanganku mengorek-ngorek ikan bakar yang masih hangat belum kumakan. Ayumi aku minta meneguk minuman jus jeruknya. Ia pun minum jus warna kuning itu dengan pelan-pelan.
“Ayo dimakan ikan bakarnya, Ayumi. Jangan diam saja,” kataku. Ayumi mengambil ikan bakar. Ia pun mengambil latoh, kemudian mencowelnya dengan sambal asam khas buatan pengungsi Filipina itu. Ayumi kelihatan menikmatinya. Rupanya ia sudah tahu latoh duluan ketimbang aku karena sudah tiga tahun tinggal di Kinabalu.
“Aku punya anak satu, perempuan,” cerita Ayumi. Namanya Duriam Muhammad. Maksudnya Duliam Muhammad. Sengaja aku beri nama khas Merayu agar menyatu dengan kebudayaan setempat, ujar Ayumi yang mulai menyenangi kebudayaan Melayu. Aku bahagia menikah dengan Datuk Muhammad. Ia baik, salatnya rajin, dan sayang pada istri dan anak. Aku bersyukur kepada Tuhan mendapat suami orang Merayu, lanjut Ayumi dengan mata berbinar.
“Simong San sendiri punya anak berapa?” tanya Ayumi.
“Empat,” jawabku.
“Ouuh,” Ayumi kaget. “Banyak sekali anaknya. Di Jepang orang tak berani punya anak lebih dari dua. Bahkan mereka lebih suka punya anak satu atau tidak punya anak sama sekali,” jelasnya. “Malahan sekarang gadis-gadis Jepang lebih suka tidak menikah. Menikah dianggapnya merepotkan. Tidak bebas,” tambah Ayumi pakai bahasa Inggris.
“Bagaimana dengan masa tuanya,” tanyaku.
“Kan ada panti jompo. Pemerintah Jepang memotong gaji setiap karyawan untuk bayar asuransi hari tua. Jadi mereka tidak perlu repot. Di panti jompo fasilitasnya bagus. Ada orang yang mengurusnya,” jelas Ayumi.
Ayumi asik bercerita masa lalunya kepadaku. Tentang kuil Miyajima yang sekarang sering terendam air laut. Jembatan Kintakiyo yang sudah mulai rapuh. Tentang kota Hiroshima yang penduduknya makin berkurang. Populasi penduduk Jepang memang akhir-akhir ini berkurang terus. Hal ini terjadi karena gadis-gadis Jepang lebih suka hidup sendiri ketimbang berkeluarga.
“Simong, aku harus pulang. Sudah jam tujuh petang. Suamiku menunggu. Maaf ya. Rumahku dekat dari sini. Hanya satu kilo meter. Aku ke pasar Firipina hanya mau beli udang macan. Suamiku sangat menyuakinya,” kata Ayumi dengan suara lembut.
“Oke Ayumi. Jaga baik-baik ya. Hati-hati di jalan. Salam untuk suamimu,” kataku masih terkaget-kaget karena tak menduga bisa bertemu mantanku di Kinabalu.
“Assaramuaraikum,” kata Ayumi mengucapkan salam sebelum pergi.
“Waalaikum salam,” aku membalas salam Ayumi. Ayumi pun melambaikan tangan.
Hujan rintik-rintik belum berhenti dari pagi sampai malam di Kinabalu. Aku melihat Ayumi berjalan ke tempat parkir mobil. Tubuhnya yang tinggi semampai masih tetap seperti dulu. Rambutnya yang pirang kini tertutup hijab. Seperti tak percaya kejadian itu, aku bergumam – Tuhan telah menunjukkan keajaiban di Kinabalu kepadaku. Dipertemukan dengan wanita Jepang yang pernah aku cintai.
Dalam hati aku berdoa, Ya Allah bahagiakan Ayumi dan berkahilah keluarganya. Aku bahagia Ayumi mendapat suami orang Melayu yang dicita-citakannya.
Titik-titik air mata bahagia tak terasa membasahi kelopak mataku. Hujan rintik-rintik yang tak berhenti membasahi Kota Atas Bayu hari itu seakan ikut membasahi hatiku. Aku bahagia jika Ayumi bahagia. Subhanallah! Tuhan telah menunjukkan kekuasaannya mengatur kehidupan manusia, bisik batinku. Allah Maha Besar. (*)