-->

Latest Post


MPA,TOBA SAMOSIR - Aliansi Relawan Pencinta lingkungan hidup danau toba menyelenggarakan deklarasi atau pernyataan resmi keberadaan organisasi tersebut di Hotel Toba, Parapat, Simalungun, Sumatra Utara, Selasa 28 Mei 2019.

Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak dari Kabupaten Simalungun, Kecamatan Parapat atau yang mewakili, Lurah Parapat, organisasi pemuda dalam hal ini Pemuda Pancasila, tokoh masyarakat, Polsekta Parapat, Koramil Parapat, Pengusaha dan PPWI Cabang Toba Samosir. Pada acara tersebut, semua pimpinan dan perwakilan lembaga/instansi turut memberikan kata sambutan.

Parningotan Manik dalam sambutannya menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya aliansi adalah untuk dapat berbuat yang terbaik untuk memajukan pariwisata di Danau Toba dan sekitar, sehingga lingkungan Danau Toba semakin bersih dan diminati masyarakat.

"Melalui organisasi ini juga untuk mengawasi kinerja pemerintah dan siap mendukung pemerintah dalam memajukan pariwisata di sekitar Danau Toba," ujar Parningotan Manik atau lebih dikenal dengan Remember Manik yang dipercayakan sebagai ketua aliansi ini untuk periode 2 tahun kedepan.

Setelah kata sambutan, sebagai tanda resminya keberadaan aliansi di Kota Wisata Parapat, Kabupaten Simalungun, ini dilakukan pemukulan gong yang dilakukan oleh Doni Sinaga selaku mewakili pemerintah kecamatan.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan panel diskusi tentang permasalahan yang ada di Parapat, yang dulu dikenal sebagai kota wisata atau tujuan wisata di Sumatera Utara, yang sekarang ini bagaikan mati suri.

Dalam paparan, penyaji mengatakan bahwa Parapat sekarang ini bukan lagi wilayah wisata tapi jadi lintasan wisatan bukan lagi tujuan.

Pelaku wisata yang ada di Parapat, selaku panelis I, Usman Pardede mengatakan bahwa Parapat dewasa ini sudah tidak diminati lagi akibat lingkungan hidup sudah tidak mendukung, banyak limbah sekarang langsung ke Danau Toba yang membuat Parapat sudah tidak nyaman.

"Maka jangan kita tunggu pemerintah untuk berbuat, mari kita lebih dahulu berbuat lalu apa yang kurang kita usulkan ke Pemerintah," sebutnya.

Sementara itu, panelis ke 2, Destian Simangunsong dari Pemerhati Lingkungan yang sekarang sedang mengambil strata 2 mengenai lingkungan mengatakan bahwa bumi ini adalah ibarat seorang "Ibu" yang menghidupi anak anaknya dan oleh sebab itu kita harus merawat ibu kita dan jangan menyakitinya.

"Dulunya Danau Toba ini telah dibuat aturannya oleh pemerintah harus disanggah oleh hutan lindung paling sedikit 180 ribu Ha, tapi apa yang terjadi dewasa ini hanya tinggal 60 ribu Ha. Ini akibat dari pemukiman dan perambah hutan," sebutnya.

Selanjutnya, panelis ke 3, Doharta Sirait yang bergelut dalam lingkungan hidup mengajak kepada semua pihak agar menjadikan 28 Mei ini menjadi momentum membangun ke-pedulian dan keramahan terhadap lingkungan dan Danau Toba agar Danau Toba, secara khusus Parapat, dapat kembali menjadi kota wisata. "Kitalah yang harus mengelolanya, bukan orang lain," tegasnya.

Dalam panel diskusi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pencemaran lingkungan terjadi di Parapat diakibatkan oleh limbah rumah tangga, hotel dan industri yang ada di sekitar Danau Toba.

"Kemudian, industri pariwisata harus dikelola secara profesional dan mandiri," demikian kesimpulan yang disimpulkan oleh moderator Ramlan Tampubolon. (WAH/JML/Red)


MPA,JAKARTA - Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP menyatakan bahwa Referendum juga diberikan ruang oleh perjanjian damai tersebut jika para pihak tidak dapat memenuhi beberapa kesepakatan. 

Fachrul Razi menilai bahwa dalam MoU Helsinki ditegaskan bahwa Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.

“Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua pondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi. 

Namun menurutnya penekan dari output Mou Helsinki selain Demokrasi dan Keadilan adalah Kemajuan dan Keberhasilan Aceh pasca perjanjian itu ditandatangani. “Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tegasnya.

Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf atau dikenal Mualem menunjukkan begitu kekecewaan seorang Muzakir Manaf terhadap kondisi Aceh saat ini yang merasakan bahwa Aceh jauh dari kemajuan dan keberhasilan.

Disisi lain, kunci perjanjian ini dijelaskan oleh Fachrul Razi adalah “trust building” yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”

“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi. 

“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.

Fachrul Razi mengatakan Banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut, jelas dalam poin tersebut tertulis “Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”

Menurut Fachrul Razi, apabila salah satu pihak merasakan dirugikan, atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi. “Dan perlu saya tegaskan, Referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya. 

Dan ini menurut Fachrul Razi, ditegaskan dalam MoU Helsinki poin 2.1. bahwa Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. “Ingat, referendum ada dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal, hati hati!” tegas Fachrul Razi memberikan peringatan.

Intinya menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut. “Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutupnya. (RFZ/Red)


MPA.JAKARTA - Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP yang juga Pimpinan Komite I DPD RI meminta Pemerintah Pusat untuk bersikap dan memberikan perhatian serius jika saat ini rakyat Aceh meminta dilakukan Referendum secara resmi.

Wacana ini dinyatakan oleh Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, yang  mengeluarkan pendapat Agar ke depan Aceh minta referendum karena menurut Mualem, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Pendapat dan keinginan itu disampaikan Mualem dalam sambutannya pada peringatan Kesembilan Tahun (‪3 Juni 2010-3 Juni 2019‬), wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5/2019) malam.

Fachrul Razi menjelaskan bahwa penyataan Mualem bukanlah pernyataan biasa, dan ini serius dan memiliki arti penting. “Ini yang berbicara Mualem, jadi ini bukan wacana lagi tapi satu sikap politik yang tegas untuk menjawab quo vadis Aceh kedepan menghadapi Indonesia yang terus menuju pada kehancuran dan kegagalan dalam berdemokrasi,’ tegas Fachrul Razi.

Dirinya mengatakan bahwa Referendum adalah mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depannya. Menurutnya Referendum adalah solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara.  Referendum dapat diartikan penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum. Biasanya menurut Fachrul Razi, Referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri.

“Mengapa saya berbicara Referendum? Karena saya wakil Aceh di Pusat. Jika Rakyat Aceh menginginkan referendum, sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,’ tegas Fachrul Razi lagi. (FRZ/Red)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.