-->

Latest Post


MPA, KOPI - Jakarta (08 Juli 2019) - Hasil pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah menemukan bahwa Pelecehan Seksual sebagai salah satu jenis kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, melainkan juga non fisik. Temuan tersebut muncul dari kasus-kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan dan ke berbagai lembaga pengada-layanan di Indonesia.

Pelecehan seksual non fisik diantaranya adalah intimidasi, ancaman, dan ujaran yang bersifat seksual baik secara langsung ataupun menggunakan media sosial, yang berakibat pada kerugian/penderitaan korban (rasa terhina dan direndahkan martabat kemanusiaannya). Dampak psikis tersebut dengan serta merta dapat mempengaruhi kondisi fisik korban, bahkan dapat berlanjut kepada dampak secara ekonomi dan sosial, jika korban tidak dipulihkan.

Hanya sedikit korban yang berani melaporkan bentuk kekerasan seksual ini, karena minimnya perlindungan hukum dan masih kuatnya budaya yang menempatkan pelecehan seksual sebagai sebuah kewajaran. Situasi ini menyebabkan korban pelecehan seksual (terutama non fisik) rentan dikriminalkan atas upayanya mengungkap kejahatan.

Baiq Nuril (BN) adalah salah satu korban yang dimaksudkan di atas. BN mencoba dan berupaya keras mencari keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya, termasuk dalam hal ini merekam pelecehan seksual yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu untuk melaporkan tindakan kekerasan, dibutuhkan pembuktian, apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan dan berkuasa atas dirinya. Ketika rekaman tersebut disebarluaskan oleh pihak lain yang menjanjikan membantu BN mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke DPR, BN dilaporkan melanggar UU ITE. Sementara pihak lain yang menyebarluaskan rekaman tersebut, tidak dilaporkan.

Meski pengadilan tingkat pertama menyatakan BN tidak bersalah, namun Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia menetapkan BN bersalah dan menghukumnya dengan penjara 6 bulan dan denda 500 juta rupiah. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan BN-pun harus kandas, ditolak oleh lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.

Meski menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di intervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan denga Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini. Padahal, PERMA 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. PERMA ini adalah sebuah langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaraan (seluruh warga negara) di hadapan hukum.

Komnas Perempuan juga menyesalkan POLRI (dalam hal ini POLDA NTB) atas dihentikannya penyidikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan BN, karena ketidakmampuan menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam penyidikan kasus BN ini. Ketika POLRI hanya memahami perbuatan cabul seharusnya perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik, maka korban dari kasus-kasus kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual non fisik, tidak akan pernah terlindungi.

Pengabaian atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh Mahkamah Agung dan ketidakmampuan POLRI dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul, telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kondisi ini juga disebabkan keterbatasan sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual sehingga memberikan peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual.

Keterbatasan sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum Acara) sebagai standar yang harus dijalankan peradilan, sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan. Termasuk dalam hal ini, keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya kepada perempuan.

BN adalah korban berlapis dari kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dan dari ketidakmampuan negara melindunginya. Kriminalisasi pada BN menjadi preseden buruk bagi hilangnya rasa aman bagi perempuan dan absennya negara dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya pelecehan seksual.

*Untuk itu Komnas Perempuan meminta:*

1. DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan memastikan ke sembilan jenis kekerasan seksual termasuk Pelecehan Seksual dalam RUU tersebut tetap dapat dipertahankan;

2. Presiden RI untuk memberikan Amnesti kepada BN sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual (belum memberikan kesetaraan perlindungan), sebagaimana prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam Konstitusi dan prinsip due dilligence yang ada dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984;

3. Hakim Pengawas Mahkamah Agung (MA) mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan PERMA 3/2017 di lingkup pengadilan, sejak dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA;

4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) dan Dinas PPPA setempat mengupayakan pemulihan dan pendampingan kepada BN, khususnya kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil;

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk mengeluarkan kebijakan zero tolerance kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual di lingkup Kemendikbud; dan merekomendasikan kepada para pendidik pada institusi formal dan non formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual.

_Sumber: Komnas Perempuan (Azriana, Pimpinan: 0811672441; Mariana Amiruddin, Sub Komisi Pemantauan: 081210331189 3; Sri Nurherwati, Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan: 082210434703)_


MPA,JAKARTA - Supadiyanto, S.Sos.I, M.I.Kom, salah satu peserta seleksi calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyampaikan keberatannya atas proses seleksi karena Panitia Seleksi diduga melakukan pelanggaran, baik secara administratif maupun teknis pelaksaan tes. 

Supadiyanto menyampaikan keberatan atau protesnya itu melalui video yang dikirimkan ke redaksi media ini dan beberapa media lainnya, Rabu, 10 Juli 2019.

Dalam paparannya, Dosen Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta itu membeberkan beberapa fakta pelanggaran perundangan dan peraturan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan DPR-RI. Supadiyanto juga menginformasikan bahwa dirinya sudah melaporkan temuannya ke Ombudsman Republik Indonesia terkait maladministrasi dan dugaan kecurangan yang dilakukan dalam proses seleksi anggota KPI Pusat periode 2019-2022 itu.

Dari berita yang beredar, dilansir dari media Tribunnews menyatakan bahwa Adrianus Meliala, salah seorang anggota Ombudsman telah mendatangi Komisi I DPR RI untuk menyampaikan temuan Supadiyanto itu. Namun, gelagat yang terlihat, DPR RI tetap melanjutkan proses seleksi "fit and proper tes" dari tanggal 8 s/d 10 Juli 2019 dan mengabaikan rekomendasi Ombudsman.

Supadiyanto, yang juga adalah Ketua PPWI Jogyakarta ini, di akhir video press conference yang dilakukan dari kediamannya di Yogyakarta, mendesak agar DPR RI tidak melanjutkan proses seleksi calon anggota KPI Pusat dan membatalkan seluruh proses yang sudah dilakukan. Hal itu penting agar hasil seleksi nantinya tidak cacat hukum yang akan mempengaruhi legitimasi dan akuntabilitas anggota KPI Pusat terpilih.

Sebagaimana telah diberitakan di media ini sebelumnya bahwa Supadiyanto menunjukkan tidak kurang dari 17 hal penting yang menimbulkan tanda tanya besar tentang proses seleksi calon anggota KPI Pusat, yang harus dicermati dan dijawab oleh para pihak terkait, termasuk oleh DPR RI. Penjelasan dan uraian secara detil dari ketujuhbelas persoalan itu dapat disimak di tautan berikut ini.

Baca di sini: *Proses Tetap Berlanjut di DPR, Ini 17 Fakta Terkait Kisruh Seleksi KPI Pusat* (https://pewarta-indonesia.com/2019/07/proses-tetap-berlanjut-di-dpr-ini-17-fakta-terkait-kisruh-seleksi-kpi-pusat/)

_Catatan: video terlampir_


MPA,SUBULUSSALAM - Lima wartawan di Kabupaten Aceh Singkil, masing-masing Jakartawan Adhe Nugraha dari Metro TV, Idrus Syahputra dari Beritakini.com, Eva Basaria Situmorang dari RRI Studio Produksi Singkil, Dede Rosadi dari Serambi Indonesia dan Jamaluddin dari Singkilterkini.com menerima piagam penghargaan dari Polres Aceh Singkil atas dedikasi mereka sebagai mitra Polri selama ini. Piagam penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Kapolres Aceh Singkil, AKBP Andrianto Argamuda, S.I.K yang ikut disaksikan langsung oleh Forkopimda Aceh Singkil dan Kota Subulussalam, dan para tamu undangan yang ikut berhadir pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-73 yang berlangsung di Lapangan Beringin, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, Rabu, (10/7/2019).

Kapolres Aceh Singkil, AKBP Andrianto Argamuda mengatakan, penghargaan yang diberikan Polres Aceh Singkil kepada sejumlah wartawan sebagai bentuk apresiasi kepada media yang berdedikasi dalam menyampaikan tugas-tugas pokok Polri kepada masyarakat dan sebagai sumber informasi dalam rangka memelihara Kamtibmas. "Terima kasih kepada rekan-rekan wartawan yang telah bekerja sama selama ini, semoga sukses selalu," ujar AKBP Andrianto Argamuda.

Ia juga berharap, dengan adanya penghargaan tersebut, dapat memberikan motivasi yang lebih besar dalam melayani, khususnya memberikan informasi yang dibutuhkan publik. "Polri dan insan media adalah mitra kerja yang saling mengisi dan saling membutuhkan, kinerja polisi perlu dipublikasikan dan media juga membutuhkan informasi kinerja polisi," sebut Kapolres.

Selain menyerahkan piagam penghargaan kepada lima wartawan dari Kabupaten Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil AKBP Andrianto Argamuda juga menyerahkan piagam penghargaan kepada tiga wartawan dari Kota Subulussalam, Aceh. Ketiga wartawan tersebut masing-masing, Erdian JK dari Metro TV, Khalidin dari Serambi Indonesia, dan Sudirman dari Portalsatu.com.

Pada puncak peringatan HUT Bhayangkara itu, Polres Aceh Singkil juga memberikan penghargaan kepada elemen masyarakat lainnya, diantaranya kepada tokoh agama. Salah satu penerima penghargaan Polres adalah Ustadz Tarmizi Al Khalil, S.Pd.I atas dedikasinya yang telah membantu kepolisian dalam menyampaikan pesan-pesan Kamtibmas melalui ceramah agama kepada masyarakat.

Terpisah, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke mengucapkan selamat dan sukses untuk media Singkil Terkini. Tokoh pers nasional yang juga adalah penasehat media Singkil Terkini mengatakan bahwa dengan adanya penghargaan tersebut agar Singkil Terkini terus belajar, terus berkarya, dan terus berbakti bagi masyarakat Aceh Singkil maupun Indonesia melalui publikasi informasi yang benar, penting, dan bermanfaat bagi publik. 

"Sekali lagi, selamat untuk pimpinan media Singkil Terkini beserta seluruh pekerja media ini. Terima kasih," ujar Wilson melalui jaringan WhatsApp-nya, Rabu (10/7/2019) dari Jakarta. (JML/Red).

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.