-->

Latest Post

Photo Istimewa

MPA -- Presiden Joko Widodo membuka Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 yang diadakan di Istana Negara pada Senin, 2 September 2019. Acara tersebut dihadiri oleh kurang lebih 250 pemerhati hukum tata negara dari seluruh Indonesia.

Di hadapan para pemerhati hukum tata negara tersebut, Kepala Negara saat memberikan sambutan melontarkan sebuah pertanyaan yang relevan dengan kondisi global saat ini. Yakni, bagaimana hukum tata negara dan administrasi negara menyambut perubahan global yang sedemikian cepat.

"Bagaimana respons hukum tata negara dan hukum administrasi negara kita terhadap dunia yang sekarang ini sudah sangat berubah?" tanya Presiden.

Di era perubahan ini, menurut Presiden, sering ditemukan perubahan-perubahan dalam berbagai bidang yang belum mampu dijangkau secara cepat oleh regulasi. Hal tersebut tak hanya terjadi di Indonesia saja, banyak negara juga membicarakan hal yang sama.

"Kemarin di Osaka, di G20, berbicara satu saja belum bisa ada yang memberi contoh mengenai hukum untuk pajak digital. Ini baru satu, belum nanti yang lain-lain. Ini pun masih perdebatan semua negara bagaimana memajaki sistem online," ucapnya.

Hal-hal seperti itu yang dikatakan oleh Presiden harus segera direspons, termasuk oleh kalangan hukum tata negara dan administrasi negara. Regulasi dan hukum, kata Presiden, harus responsif dan mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang ada.

"Hukum kita, termasuk hukum tata negara, harus responsif, harus fleksibel, terhadap perubahan-perubahan ini. Hukum tata negara kita harus membuka ruang-ruang terobosan dan mendorong lompatan-lompatan," tuturnya.

Dalam pemerintahan, Presiden Joko Widodo sering mengalami sendiri betapa regulasi atau hukum yang ada malah justru mempersulit diri sendiri. Sejumlah rencana maupun keputusan untuk merespons perubahan justru terbentur oleh aturan maupun hukum yang dalam sejumlah kesempatan dikatakan olehnya berbelit-belit.

Hal inilah yang diminta Presiden untuk dipikirkan bersama sehingga ke depan hukum dapat memberikan fleksibilitas bagi kita dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat.

"Perubahan yang sangat cepat ingin kita respons dengan pelaksanaan di lapangan yang cepat (tapi) tidak bisa juga karena hukum kita yang mengatur yang itu tidak memungkinkan saya jalankan," kata Presiden.

Persaingan yang muncul akibat perubahan cepat tersebut tak bisa dipandang remeh. Ia menegaskan, saat ini untuk dapat memenangkan persaingan dibutuhkan kecepatan suatu negara dalam merespons perubahan. Maka, Indonesia butuh hukum tata negara yang memberikan ruang fleksibilitas yang lincah.

"Kita membutuhkan hukum tata negara yang memandu kita untuk berjalan cepat dan selamat. Cepat tapi selamat. Enggak bisa hanya dapat selamatnya tapi enggak cepat, (bisa) ditinggal kita," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, perlu dikaji pula bagaimana cara terbait untuk mengatur hubungan antarlembaga pemerintahan baik secara vertikal maupun horizontal sehingga muncul adanya kepaduan dan kecepatan dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah.

"Saya berharap konferensi ini benar-benar melihat jauh ke depan. Kita membutuhkan inovasi-inovasi gagasan dari bapak/ibu para pakar sehingga tata negara dan administrasi negara kita dapat membuat bangsa kita bergerak dalam membangun Indonesia maju ke depan," tandasnya.

Untuk diketahui, turut hadir dalam konferensi tahunan tersebut di antaranya ialah Prof. Dr. Moh. Mahfud MD selaku Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN HAN), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.


Jakarta, 2 September 2019
Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Erlin Suastini


Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Gubernur BI Agus Martowardojo.

MPA, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ia pernah mendapatkan peringatan dari mantan gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo saat mempertimbangkan opsi penyelamatan PT Bank Century pada 2008 silam. Kala itu, Agus masih menjabat sebagai CEO PT Bank Mandiri (Persero).

Sebelumnya, penyelamatan Bank Century melalui dana talangan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) di kemudian hari dipersoalkan dan menjadi salah satu skandal keuangan besar di Indonesia. Penyelamatan itu dilakukan karena status bank yang dianggap sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Dalam kasus Bank Century, KPK menjerat mantan Deputi Gubernur BI Bidang IV Kebijakan Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya atas tuduhan korupsi dana talangan sebesar Rp6,7 triliun yang dinilai merugikan negara. Budi kemudian dihukum 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.

"Singkat kata, ia (Agus) sebetulnya memberikan peringatan kepada saya bahwa ini (masalah Bank Century) bukan hanya masalah bank saja tetapi ada masalah governance (tata kelola)," ujar Sri Mulyani saat menghadiri peluncurun buku biografi 'Agus Martowardojo Sang Pembawa Perubahan' di Gedung Thamrin Bank Indonesian (BI), Senin (2/9).

Pada krisis keuangan 2008, sambung Sri, terdapat dua bank yang berada dalam pengawasan karena dalam kondisi tidak sehat. Bank tersebut adalah anak usaha BI di Belanda Bank Indover dan Bank Century.

Ia mendapatkan kabar Bank Century terbelit krisis dan ditakutkan berdampak sistemik pada saat ia mempersiapkan pertemuan G20 di Washington DC, AS, pada 2008 lalu.

Setelah pulang, ia bertanya terkait kondisi Bank Century kepada orang-orang yang memahami dunia perbankan, salah satunya Agus. Masukan itu diperlukannya karena kala itu ia mengurusi banyak hal, salah satunya harga minyak dunia yang melesat hingga US$100 per barel.

"Saya tanya kepada begawan-begawan perbankan, ceritalah banyak cerita di belakangnya mengenai Century itu seperti apa," ujarnya.

Dalam mengambil keputusan penyelamatan Bank Century, sambung ia, pengambil keputusan memilih opsi yang paling rendah biayanya di tengah gejolak perekonomian dan krisis kepercayaan.Terlebih, kala itu, pemerintah belum mengadopsi kebijakan penjaminan 100 persen dana nasabah di bank (blanket guarantee).

Salah satu opsinya adalah bank yang dalam kondisi sehat mengambil alih bank yang dalam kondisi 'sakit'. Ia pun menanyakan opini Agus soal hal itu dan mendapatkan peringatan dari mantan Dirut Mandiri tersebut.

"Beliau (Agus) mungkin melihat saya kasihan ada menteri keuangan yang mesti dikasih tahu bahwa ini ada bank yang banyak sekali history di belakang," paparnya.

Bagi Sri Mulyani, Agus adalah sosok yang profesional, berintegritas, dan mengedepankan tata kelola yang baik. Nilai-nilai itu sama dengan yang dianut oleh mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
"Makanya, dia (Agus) mengingatkan," ujarnya.




Artikel ini terbit lebih dulu di CNN Indonesia
Dengan judul : Kisah Sri Mulyani 'Dinasihati' Agus Martowardojo Soal Century



MPA, NUNUKAN - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta kepada lembaga penyiaran publik (LPP) maupun lembaga penyiaran swasta (LPS) serta jurnalis untuk mengedepankan persatuan NKRI terkait dengan konflik di Papua. Serta, menggunakan tokoh-tokoh Papua yang mengedepankan perdamaian sebagai narasumber.

“Jadi gini, jurnalis yang harus dikedepankan adalah jurnalis damai. Intinya jangan jurnalis yang memprovokasi karena berpotensi menimbulkan dampak kerusuhan yang lebih luas. Potensi ya,” imbau Ketua KPI Agung Suprio kepada wartawan di Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), Senin (2/9/2019).

“Oleh karena itu, KPI mengimbau agar penyiaran atau liputan di Papua harus mengedepankan kepentingan publik yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah menjaga keutuhan NKRI,” tambahnya.

Agung enggan menanggapi soal akses internet yang dibatasi oleh pemerintah di Papua. Namun, ia juga meminta agar tokoh-tokoh Papua yang mendukung perdamaian dan persatuan bisa diberikan panggung sebagai narasumber.

“Ya kami ingin televisi memberikan porsi narasumber kepada mereka yang memberikan perspektif perdamaian dalam banyak hal dan menjaga keutuhan NKRI,” pinta Agung.

Senada, Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo menegaskan agar jurnalis dan media harus sangat berhati-hati dan harus mengedepankan prinsip perdamaian. Jangan sampai memicu saudara-saudara yang ada di Papua dan juga daerah lainnya bergerak dan akhirnya memicu konflik.

“Prinsipnya, harus memberi kedamaian. Terutama sodara kita yang di provinsi lain, tidak di Papua. Jangan bikin sesuatu yang picu mereka gerak,”tuturnya.

Menurut Hadi, hal ini juga sudah disampaikan kepada para Pimpinan Redaksi (Pimred) media-media nasional bersama dengan Dewan Pers, mereka semua sepakat untuk mengedepankan kepentingan persatuan Indonesia.

“Bukan berarti kami membatasi untuk meliput, nggak. Konsep kebebasan pers nggak boleh dikekang, kami setuju. Tapi kebebasan yang bertanggung jawab untuk Merah Putih. Mudah-mudahan segera ada penyelesaian,” harapnya.



Dilansir dari Sindonews.com
Dengan judul Artikel : Soal Papua, KPI Minta TV dan Jurnalis Kedepankan Kepentingan NKRI


Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.