-->

Latest Post

Oleh: Prof Yudhie Haryono

Ini adalah kekuatan. Pemberian alam raya. Juga kuasa untuk menumbuhkannya. Dari diri-diri yang sadar. Diri yang mencintai sambil menjaga sesama dan lingkungannya.

Maka, di bumi nusantara, pemberani yang sebenarnya adalah mereka yang tak lekas patah hati, tetapi bertahan dengan menghadapi setiap ujian, cobaan, cercaan dan hinaan. Itulah mental merdeka, mandiri, daulatif, modern, martabatif dan menzaman. Mereka lalu bergerak melaju menuju stasiun yang sama.

Akhirnya, budaya di nusantara kita fokuskan pada peningkatan modal sosial, mentalitas inovatif-kreatif-produktif, tradisi berfikir rasional, meta scient, filsafat, etos kerja, ideologi keadilan, karakter konstitusional dan local wisdom.

Pra nusantara adalah peradaban Atlantik. Ia adalah keindahan yang menghiasi akal manusia dan semesta. Sedang nusantara adalah keajaiban yang menguliti kejeniusan bola dunia. Maka, memandang keduanya, kita sangat berharap waktu berhenti. Agar tak ada lagi jejak kemunculan kepariaan.

Tetapi yang terjadi adalah peradaban terusan: Indonesia. Dan, menyentuh indonesia seperti menyentuh sesuatu yang rapuh tapi sangat berharga. Mudah pecah. Selebihnya, sejarah penghuninya adalah jejak tak berupa yang iringi perih takdir warganya.

Di Republik Indonesia ini, Tuhan terlalu jauh dan Presiden terlalu lugu. Padahal, Hegel bilang, "was bekannt ist, darum nicht erkannt." Apa yang dikenali akrab belum tentu dimengerti secara logis. Pemerintah kita bukan hanya tak akrab (dengan rakyat) tapi juga tak dikenali (kecuali oleh elite yang koruptif, predatoris dan kleptokratis).

Maka untuk saat ini, rasanya kita sudah gagal bernegara Pancasila dan berkoperasi dalam segala hal. Lalu memilih demokrasi (liberal-kriminal) yang bertugas meneguhkan kekayaan orang kaya dan mengkonsolidasikan kemiskinan orang miskin.(*)

Oleh Prof. Yudhie Haryono

Apa refleksi dan proyeksi kita pada diskursus reformasi? Menjelang 22 tahun usia reformasi, ternyata kita belum punya "sistem peringatan dini (early warning system)" dan "protokol krisis (crisis protocol)" kenegaraan guna memastikan keamanan, ketahanan plus kemartabatan negara dan warganegaranya di dunia.

Jika sistem peringatan dini merupakan serangkaian cara kerja jenius untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian krisis kenegaraan, maka protokol krisis merupakan metoda mengatasi krisis kenegaraan. Melalui dua alat itu (early warning system dan crisis protocol – red) tentu terwujud adanya informasi soal ancaman terhadap tata nilai (Pancasila), ancaman terhadap tata manajemen (Konstitusi) dan ancaman terhadap tata agensi (TNI, Polri dan lembaga yang khusus).

Mengapa kealpaan itu terjadi? Adalah karena dua hal: 1) Kita kalah dalam the battle of legislation, terutama saat amandemen UUD45 dan turunannya; dan 2) Kita kehilangan nilai-nilai dan cita-cita nasional.

Kekalahan dalam the battle of legislation (perang perundangan) – red) mengakibatkan kehilangan diskursus Negara Pancasila dan Demokrasi Pancasila. Yang tumbuh adalah negara dan demokrasi liberal, bahkan kriminal.

Dalam demokrasi ini, pemikir kenegaraan Hatta Taliwang (2018) menengarai sedikitnya ada lima cacatnya:

1) Biaya pilpres langsung secara ekonomi sangat mahal. Cek berapa uang yang harus dikeluarkan APBN yang terus meningkat dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.

2) Biaya sosial dan psikologis juga mahal sekali. Banjir konflik, hoax, fitnah, perceraian, perkelahian dan kematian petugas yang berjumlah ratusan.

3) Tidak menghasilkan pemerintahan yang fokus selesaikan problem rakyat. Mereka fokus mengembalikan modal dan mencari modal baru buat pemilu berikutnya.

4) Soal presiden threshold (PT) lama, dimana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) telah meninggal yang masih dihitung dan digunakan. Sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Tentu ini cacat hukum, cacat akal sehat, dan cacat moral.

5) Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih 31 juta yang misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis dan mengkhianati Pancasila dan konstitusi.

Apa akibat lanjutan dari kekalahan dalam the battle of legislation? Lahirnya pemimpin rapuh bahkan khianat Pancasila. Mengutip tesis Wirdhani Asri (2019), "Kepemimpinan nasional rapuh karena kita melakukan rekrutmen pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang mensyaratkan kesetaraan pendidikan dan penghasilan. Karena tidak ada kesetaraan pendidikan dan penghasilan maka timbul tradisi transaksional yang sudah terjadi di negeri ini."

Tentu saja, melahirkan pemerintahan via demokrasi liberal adalah kejahatan tak termaafkan. Tetapi, membiarkan pemerintahan itu tumbuh menjadi orde kleptokrasi jauh lebih berdosa besar.

Pertanyaanya kemudian adalah, "Apa produk terbaik dari demokrasi neoliberal?" Tak ragu kita menjawabnya, "ketimpangan sosial." Korban terbesarnya adalah masyarakat urban. Dan, mereka pula yang kini paling menderita di seputar kota-kota besar di Indonesia: miskin, digusur, diusir dan tak ada perlindungan negara.

Tentu ketimpangan sosial adalah pengkhianatan terbesar dari janji kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima dalam pancasila.

Riset-riset soal kekalahan dalam perang undang-undang ini juga memberikan bukti tambahan berupa hilangnya nilai-nilai nasional yang melahirkan kehilangan cita-cita nasional. Keduanya memicu lahirnya kealpaan perasaan adanya ancaman nasional sehingga tak punya badan keamanan nasional: punahlah sishankamrata dan tradisi keamanan nasional.

Soal serius "ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan)" terhadap negara dan warganya, tentu saja ilmu ini tak diukir di atas batu. Maka, ia tak pasti. Berbeda dengan matematika, ATHG diukir di atas air. Sehingga yang muncul adalah asumsi-asumsi. Tentu berdasarkan data, kejeniusan dan yurisprudensi.

Saat kita tak punya deteksi dini dan protokolnya; tak menyadari ATHG-nya, virus demokrasi liberal menghasilkan anak haram "negara swasta" yang berfilosofi pasar adalah tuhan yang maha esa. Di negara seperti itu kita menghadapi delapan problem besar:
1) Absennya diskursus Negara Pancasila;
2) Absennya mentalitas Indonesia;
3) Absennya sekolahan Indonesia;
4) Absennya kurikulum Indonesia;
5) Absennya referensial Indonesia;
6) Absennya UU Indonesia;
7) Berkuasanya oligarki;
8) Defisit para pahlawan dan ksatria.

Padahal, Indonesia itu terang. Kitalah yang menggelapkannya. Indonesia itu kaya. Kitalah yang memiskinkannya. Indonesia itu damai. Kitalah yang mengkroditkannya. Kita terang, kaya dan damai karena prinsip Negara Pancasila itu bunyinya: "sovereignty of the people, and sovereignty of the government." Jadi, rakyat dulu yang berdaulat, baru pemerintah dan lainnya.

Prinsip itu menghasilkan Sistem Negara Pancasila (SNP) sebagai ”cara pandang sendiri” dalam ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan – red) untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Sistem disebut sebagai “jalan tengah” dari sistem kapitalisme dan komunisme. SNP, sebagaimana dimaknai para pendiri NKRI, merupakan “sistem sendiri”, yang dalam prakteknya direkonstruksi dengan pelacakan historis dan elaboratif dari sudut filsafat ilmu, dengan tiga tahap pembahasan: asal-usul penalaran, arah haluan, dan penerapannya. Harapannya, kita punya tradisi Keindonesiaan, Kemakmuran, dan Kemartabatan (3K) khas Indonesia.

Dus, berpancasila hari ini mestinya bergotong-royong menghadapi krisis ipoleksosbudhankam. Sikap itu adalah menyayangi, bukan menyaingi; mendidik, bukan membidik; merangkul, bukan memukul; membina, bukan menghina; mencurahkan, bukan memurahkan; mencari solusi, bukan mencari sensasi; membutuhkan, bukan meruntuhkan; menghargai, bukan melukai; membela, bukan mencela.

Karena itu, mestinya extra pancasila nulla verum. Tak ada kebenaran dalam ber-Indonesia kecuali dengan ber-Pancasila. Jika Pancasila tidak dijadikan sumber ber-Indonesia, kita akan jauh dari cita-cita bernegara.

Di sini, menghadirkan kembali Pancasila dalam berbangsa, bernegara, berdemokrasi, berekonomi, dan lain-lain menjadi sangat penting demi Kemerdekaan, Keindonesiaan, Kemakmuran, Keadilan dan Kemartabatan (5K) terealisasi di kehidupan kita. Tentu juga agar ketahanan, kedaulatan dan kemandirian berbangsa dan bernegara terasa kuat dan jaya.

Sayangnya, yang terjadi adalah rabun sejarah, khianat konstitusi, dibutakan ambisi, dijebak kekuasaan dan dihancurkan oleh KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme – red).

Ini adalah kisah lima tahap politisi kita. Adakah teladan elite politik yang mampu melewati lima tahap itu dalam kehidupan kita? Rasanya kita perlu memformat ulang tata nilai, tata manajemen dan tata agensi (perkaderan) yang selama ini makin rusak oleh pelapukan zaman. Format soal deteksi dini dan protokol krisis harus segera dilakukan.

Pengalaman krisis keuangan yang dialami dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan otoritas dunia akan pentingnya sebuah protokol krisis; peta-jalan solusi; cahaya kunci dan tahap-tahap yang harus dilalui.

Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan yang menjelaskan praktek-praktek (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal.

Sedangkan protokol krisis merupakan usaha memformat sistem kenegaraan dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) untuk memastikan bantuan bagi para otoritas kenegaraan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat.

Tentu saja, deteksi dini dan protokol krisis ini harus berlandaskan Pancasila. Sebab, mengutip Alexander Agung (2018), "jika pancasila itu adalah local genius, maka makna keberadaannya bisa dikonfirmasi pada aspek-aspek esoterik dari budaya lokal yang ada: misalnya semangat budaya gotong-royong, semangat kekeluargaan atau tenggang rasa."

Persoalannya sekarang struktur sosial kita sudah mengalami pergeseran yang menjurus pada kehidupan individualis. Ketika struktur sosial kita telah berubah, maka modus interaksi kita juga bergeser dan berubah.

Tetapi, yang paling aneh adalah sikap paradoks pemerintahan kita. Di satu sisi mereka mengklaim paling pancasilais dan bertekad mempertahankannya, tetapi pada saat yang sama menyiapkan sarana dan legislasi yang melumpuhkannya.

Belum terlihat upaya untuk merevitalisasi (kecuali membuat BPIP) dan mencari jalan untuk menghancurkan virus yang sedemikian hebat menghancurkan kita. Sehingga, bisa saja yang menjadi musuh pancasila sebenarnya berasal dari tempat dimana ia diaku-aku tanpa dilaksanakan.

Semoga saja, tidak.(*)



KAB, SOLOK - Bakal Calon Bupati Solok, Birokrat Muda Hendra Saputra SH, M.Si menjadi khatib dalam ibadah shalat Jumat di Masjid Al-Makmur Sungai Jambur, IX Koto Sungai Lasi, Kabupaten Solok, Jumat siang (06/03/20).

Hend, demikian dia biasa disapa. Dalam pemaparan khotbahnya, Hendra Saputra berbicara bahwa menanamkan rasa takut kepada Allah SWT adalah cara utama untuk menumbuhkan ke-imanan dan ke-ikhlasan. Untuk itu, kita harus mendedikasikan diri dengan menanamkan kecintaan yang mendalam, setelah memahami kebesaran-NYA. Sebab tidak ada kekuatan lain, selain Allah SWT.

Hanya Allah SWTyang menciptakan alam semesta dari ketiadaan, dan yang memelihara makhluk hidup dengan penuh kasih. Rasa cinta yang mendalam dan rasa takut yang sangat kepada Allah, harus tertanam kuat dalam diri kita.

Takut kepada Allah dimaksudkan agar kita selalu ingat bahwa kehidupan di dunia ini suatu waktu bakal berakhir, dan semua manusia akan memperhitungkan perbuatannya di hadapan Allah SWT, paparnya.

Dengan selalu menyadari akan murkanya Allah, maka kesadaran untuk takut menghadapi siksaan Allah, menjadi lekat.

Yang terpenting, papar Birokrat Muda ini di khutbahnya itu. Dengan menahan diri dari berbagai kesesatan menyenangkan, berarti secara tegas kita telah menolak melakukan segala hal yang dilarang. Selanjutnya, kita tidak akan menyia nyiakan kesempatan dalam melaksanakan apapun yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Takut kepada Allah merupakan sifat hamba yang bertaqwa, dan itu merupakan bukti ke-imanannya kepada Allah. Orang yang memiliki ilmu tentang agama Allah, maka ia memahami benar akan kebesaran dan keperkasaanNYA.

Dalam menyikapi Virus Corona atau Covid-19 yang masih berkembang sekarang ini. Perlu untuk kita sadari bahwa Corona hanyalah makhluk Allah yang menguji keimanan kita kepadaNYA, tutur Hendra.

Bila kita sudah memiliki iman yang benar, maka segala tindakan yang dilakukan akan terkontrol dan terukur, misalnya dalam menghadapi Virus Corona. Sejatinya, kita musti tetap menjaga dan melindungi diri serta keluarga dengan tidak menghilangkan kepedulian terhadap sesama. Bila sudah demikian, maka yakinlah bahwa Covid-19 hanya seperti api tanpa memiliki udara, dan IsyaAllah ia akan padam sendiri.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersama dosa-dosanya seperti pohon mengugurkan daun-daunnya”, papar Hendra Saputra, dalam isi Khotbahnya itu.

Dengan meningkatkan rasa sabar selama berikhtiar dalam menghadapi suatu penyakit, InsyaAllah kita akan mendapatkan kesembuhan. Meng-optimalkan waktu sakit dengan banyak beristighfar serta berzikir menyebut atau mengingat Allah, maka kita telah tergolong hamba hambaNYA yang taat.

Selalu menjaga kebersihan serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit termasuk Virus Corona, musti kita lakukan.

Perlu difahami, bahwasanya Corona bukanlah Tuhan Baru yang membawa kita hidup seperti dalam ketakutan, sehingga menjadikan kegiatan ibadah kita, terganggu.

Virus Corona memang menjadi salah satu penyakit diantara banyak macam penyakit yang ada, namun kita telah mengetahui bahwa Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu dan DIA merupakan Zat yang menjadikan segala sesuatu tersebut dengan memiliki manfaat atau sebaliknya. Papar Balon Bupati Solok ini di akhir khotbahnya itu. (TIM).

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.