Bumi Membaik Selama Pandemi COVID-19, Bolehkah Tenang?
Photo Ilustrasi
MPA - Semenjak pandemi COVID-19 merebak,
beberapa negara di dunia menerapkan karantina wilayah untuk mengurangi risiko
penularan. Kebijakan ini memaksa warga untuk tetap tinggal di rumah dan
menghindari berkumpul dengan banyak orang. Sekolah-sekolah, tempat hiburan juga
ditutup, beberapa perusahaan menerapkan Bekerja Dari Rumah (BDR), begitu juga
dengan transportasi umum, jumlah dan waktu operasionalnya dibatasi.
Banyak yang mengatakan, kalau langkah ini akan membuat
kondisi Bumi menjadi lebih baik dan sehat. Pencemaran udara di Tiongkok dan
Italia dilaporkan berkurang, bahkan menurut laporan terbaru, emisi karbon dunia
mengalami penurunan terbesar sejak Perang Dunia II.
Dalam diskusi daring bertajuk "Pro Kontra COVID-19
Sebagai Obat Bumi" yang diselenggarakan #SayaPilihBumipada Sabtu
(4/4/2020) lalu, Dwi Sasetyaningtyas, founder Sustaination mengatakan bahwa
meski kondisi Bumi membaik, tapi ini bukan hal yang benar.
"Ada yang salah dengan situasi saat ini karena tingkat
polusi dan emisi global yang menurun, bukan karena kebijakan tertentu, tapi karena
industri berhenti beroperasi akibat wabah COVID-19," ungkapnya.
Tak dapat dipungkiri, Tyas sebagai pegiat lingkungan, awalnya
melihat sisi positif dari pandemi COVID-19. Namun, setelah melihat dampaknya
secara luas, hal ini justru membuatnya khawatir.
"Banyak manusia kehilangan nyawa dan ekonomi kita pun terpengaruh.
Kita pasti ingin lingkungan lebih baik, tapi juga ingin beraktivitas dengan
normal. Butuh supporting policy untuk mengatasi masalah iklim, bukan karena
wabah yang mengorbankan nyawa manusia dan disertai dengan krisis ekonomi,"
paparnya.
Tyas menambahkan, situasi yang terjadi saat ini mungkin bisa
dijadikan pelajaran. Bahwasanya, jika kita mampu menjaga Bumi dan tidak
serakah, maka alam pun akan memberikan hasil yang baik, seperti udara segar
misalnya.
Kondisi Bumi yang sedang memulihkan dirinya sendiri ini, menurut
Tyas, bisa menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan restart button.
"Kita bisa mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.
Saat ini, ketika banyak melakukan aktivitas di rumah, maka bisa dimanfaatkan
untuk belajar memilah sampah sendiri di rumah dan membuat kompos. Mungkin saja,
setelah pandemi berakhir, muncul kesadaran pada setiap individu untuk lebih
menjaga alam," paparnya.
Meski begitu, tak dapat dipungkiri, ada ketakutan mengenai
kondisi Bumi yang akan kembali seperti sebelum wabah terjadi. Pasalnya,
kegiatan produksi bisa jadi meningkat berkali-kali lipat untuk mengejar
ketertinggalan.
.
Oleh sebab itu, Tyas berharap, perubahan gaya hidup ini tidak
hanya melibatkan individu saja, tapi juga kepedulian dari pemerintah dan
industri. "Aku ingin proses produksi yang berjalan, selaras dengan alam
sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Jangan lagi kembali ke
aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan polusi," paparnya.
Pada akhirnya, Tyas mengajak semua orang untuk bersama-sama merefleksi diri di
situasi seperti ini dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama
dan menjaga kelestarian alam setelah wabah ini berakhir. (*)
Sumber : Nationalgeographic.co.id