-->

Latest Post

Ketua DPR Puan Maharani cek ruang Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen yang akan menjadi tempat Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, Kamis (13/8/2020). (Foto: Sindonews).

MPA, JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani menghadiri geladi bersih sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR-DPD, serta Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Sidang tahunan pada Jumat (14/8/2020) besok akan dihadiri Presiden Joko Widodo.

Puan disambut Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto saat tiba di Ruang Sidang Paripurna. Usai meninjau persiapan di lantai dasar, termasuk lokasi untuk foto bersama, Puan naik ke lantai 3 untuk mengikuti jalannya geladi bersih.

Saat Puan tiba di ruang sidang, Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti sudah bersiap. Ketiganya pun berbincang sejenak sebelum berlatih untuk sidang tahunan besok.

“Silakan Ibu Puan sebagai tuan rumah,” kata Bambang Soesatyo menyambut Puan, Kamis (13/8/2020).

Turut hadir di dalam gladi bersih tersebut Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dan Rachmad Gobel, serta Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah dan Arsul Sani. Agenda Sidang Tahunan tersebut digelar bersamaan dengan Sidang Bersama DPR dan DPD, serta pidato kenegaraan Presiden Jokowi dalam menyampaikan RAPBN 2021.

Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB. Setelah itu, dilanjutkan dengan pidato nota keuangan pemerintah dalam rangka RAPBN 2021, mulai pukul 14.00-16.00 WIB.

Sidang diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan dilanjutkan dengan pembukaan Sidang Tahunan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Setelah itu Sidang Bersama DPR dan DPD yang akan dibuka oleh Ketua DPR Puan Maharani. Sidang kali ini berbeda dengan sebelumnya karena digelar pada saat pandemi Covid-19 dan menerapkan protokol kesehatan ketat.(*)


Sumber :  inews.id

Photo Istimewa

MPA, PADANG - Pengawasan dan pemeriksaan (Wasrik) rutin Itwasum Polri TA 2020 di Polda Sumbar telah berakhir pada Rabu (12/8). Berakhirnya kegiatan tersebut, ditandai dengan pelaksanaan Taklimat Akhir Wasrik, Kamis (13/8) di ruang Jenderal Hoegeng Mapolda Sumbar.

Kegiatan ini dihadiri oleh Kapolda Sumbar Irjen Pol Drs Toni Harmanto MH, Wakapolda Sumbar Brigjen Pol Edi Mardianto, S.Ik. M.Si, Irwil IV Itwasum Polri Brigjen Pol Ade Rahmat Suhendi, dengan diikuti oleh Pejabat Utama Polda Sumbar, para Kapolres sejajaran Polda Sumbar (melalui vicon) dan tim Wasrik Itwasum Polri.
  
Selaku obyek wasrik, Kapolda memahami bahwa pengawasan dan pemeriksaan merupakan salah satu fungsi manajemen kepolisian yang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan dilakukan untuk memastikan akuntabilitas aparatur Polri yang jujur dan bersih, guna mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dapat berakibat pada kerugian keuangan negara maupun menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
  
Dari penyampaian Pernyataan Hasil Pemeriksaan (PHP) yang dibacakan Irwil IV Itwasum Polri, telah mengungkapkan hasil kinerja Polda Sumbar yang sesungguhnya, baik di bidang Manajemen Operasional, bidang SDM, bidang Sarpras maupun bidang Garku khususnya pada aspek pelaksanaan dan pengendalian ternyata masih terdapat temuan–temuan yang harus ditindaklanjuti dan perlu untuk dilakukan perbaikan-perbaikan.

 "Saya berkeyakinan bahwa kekurangan–kekurangan tersebut tidak dilakukan secara sengaja. Sebab pada kenyataannya dalam melaksanakan tupoksinya para penanggung jawab kegiatan telah berupaya semaksimal mungkin mengelola kendala menjadi sebuah peluang di dala penyelenggaraan kinerja yang berakuntabilitas," kata Irjen Pol Toni Harmanto dalam sambutannya.
  
Lanjutnya, sebagaimana komitmen pada saat Taklimat Awal, Polda Sumbar siap untuk memperbaiki dan menindaklanjuti seluruh rekomendasi Tim Wasrik Itwasum Polri. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, Kapolda memerintahkan kepada para Kasatker dan Kasatwil yang menjadi obyek wasrik untuk segera menindaklanjuti hasil temuan secara profesional dan proporsional sesuai rekomendasi dan ketentuan yang berlaku.

 "Kepada seluruh pembina fungsi tingkat Polda, agar membantu penyelesaian tindak lanjut atas temuan-temuan sesuai bidang fungsi masing-masing dan kepada Irwasda Polda Sumbar agar memonitor dan memastikan penuntasan tindak lanjut para obyek wasrik," ujarnya
  
Kemudian atas nama kesatuan dan pribadi, Kapolda menyampaikan banyak terima kasih kepada Tim Wasrik Itwasum Polri yang telah membantu dalam memposisikan diri sebagai konsultan untuk memberikan dorongan moril, petunjuk, maupun masukan yang bersifat membangun selama pelaksanaan wasrik.

"Permohonan maaf bilamana selama melaksanakan tugas di Polda Sumbar, terdapat hal-hal yang kurang berkenan baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja," pungkasnya.
  
Sebelumnya, Kapolda Sumbar bersama Irwil IV Itwasum Polri Brigjen Pol Ade Rahmat Suhendi melakukan penandatanganan Pernyataan Hasil Pemeriksaan (PHP) sekaligus menyerahkan PHP dan tabulasi hasil wasrik.(*) 

Sumber Biddhumas Polda Sumbar

Oleh :  Andi Fery, (Alumni The Flinders University of South Australia) 

Suatu waktu, penulis pernah mengurus surat menyurat di lembaga pemerintahan tertentu. Ketika akan memulainya, upaya pertama yang harus dilakukan adalah meminta tanda tangani seorang pejabat bersangkutan. Karena itu, penulis pun menemui pejabat setingkat di bawahnya untuk mendapatkan persetujuan. Setelah beberapa menit bicara serta mengetahui maksud penulis, Sang Pejabat itu berkata, ”Saya menolak untuk membubuhkan paraf saya di surat anda untuk ditanda tangani lebih lanjut,” kata ia disertai wajah sinisnya.

Pelayanan yang kurang mengenakan itu membuat penulis memberanikan diri untuk bertanya, apa dasar kuat yang menyebabkan pejabat tersebut tidak menyetujuinya. Anehnya, tanpa memberikan alasan atau memberitahukan kesalahan yang telah diperbuat, dia justru malah menjawab, “Tidak bisa saja karna saya tidak mau, dan tanpa paraf saya surat Anda tidak akan dapat ditanda tangani.”

Mendapati jawaban ala preman begitu, penulis mohon diri, karena tidak akan ada solusi yang didapati apalagi pelayanan terbaik. 

Beberapa jam setelah kejadian di kantor pemerintahan ( birokrasi ) tersebut, penulis pun bertemu dan mencoba berdiskusi dengan beberapa teman yang di antaranya ada juga nan bekerja di Kantor Pemerintahan. Salah seorang dari mereka menyarankan penulis agar mencari  “orang dalam” supaya urusan tersebut kelar dengan cepat dan efisien. Menurutnya tanpa “orang dalam” dirasa mengurus apa pun terkait surat menyurat kita akan menemui kesulitan dan akan dipimpong kesana kemari. 

Mengingat saran sang teman tersebut, penulis pun berpikir dan melakukan “deep analysis” sekaligus bertanya terhadap diri sendiri, bahwa apakah Birokrasi hanya dibuat untuk yang punya orang dalam? Atau birokrasi dibuat untuk melayani semua orang tanpa pandang bulu. 

Kalau memang Birokrasi ini adalah untuk memberikan pelayanan kepada semua lapisan masyarakat, lalu kenapa ada istilah orang dalam dan artinya juga saat itu penulis di posisikan sebagai orang luar, karena diperlakukan tidak baik dengan adanya tindakan yang tidak bersahabat ala preman tersebut.

Padahal menurut Michael G. Roskin, dkk dalam bukunya yang berjudul Political Science, mereka mendefenisikan, bahwa birokrasi merupakan setiap organisasi yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, yang fungsi utamanya adalah untuk meng-interpretasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers).

Di samping itu idealnya Birokrasi adalah struktur yang memang dirancang sedemikian rupa, guna memungkinkan adanya pelaksanaan pelayanan publik (Civil Service) yang efektif dan efisien, serta dapat dipertanggung jawabkan dunia akhirat. 

Dari defenisi ini jelas  bahwa pejabat yang diangkat haruslah melaksanakan fungsinya sebagai pelayan publik dan tidak hanya untuk golongan tertentu, atau orang dekat saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Birokarasi hendaknya menjadi sarana seseorang untuk mendapatkan kemudahan dalam bentuk pelayanan publik. Tentu saja dengan tetap memenuhi aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Karena itulah apabila syaratnya sudah terpenuhi, maka tidak ada wewenang pejabat birokrasi untuk tidak memberikan pelayanan, sehingga tidak ada kesan bahwa pelayanan birokrasi itu “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan kalau bisa diperlambat kenapa harus dipercepat”. Tetapi sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat tidak ada kata untuk diloloskan sekali pun itu permintaan orang dalam. Sehingga dengan demikian, birokrasi tidak men-dzalimin pihak tertentu dan bertindak se-enaknya ala preman. 

Sebenarnya organisasi preman Columbia sekali pun masih punya aturan yang tidak boleh dilanggar oleh para anggotanya. Apalah lagi kalau sebuah lembaga organisasi birokarasi

Oleh karena itu, agar pelayan publik dapat berjalan dengan baik, maka semua pimpinan lembaga birokrasi dari level tertinggi sampai terendah, haruslah menjalankan apa yang disebut dengan istilah servant leader (pemimpin yang melayani bukan yang minta dilayani). Semboyan ini sering kali kita dengar memang,  tapi sayangnya hanya kerap dijadikan jargon saat akan ada Pemilu atau Pilkada saja.

Sungguh ironis memang. Padahal servant leader merupakan teori kepemimpinan yang sudah dicetuskan beberapa dekade lamanya, setidaknya secara ilmiah sudah ada lebih dari 42 tahun yang lalu, yakni dengan adanya buku yang ditulis oleh Robert K. Greenleaf,  dengan judul SERVANT LEADERSHIP – A JOURNEY INTO THE NATURE OF LEGITIMATE POWER AND GREATNESS, New York: Paulist Press, 1977). 

Konsep kepemimpinan itu tentunya mempunyai tujuan yang luhur dan telah dipraktekan dibanyak negara maju diberbagai belahan dunia. 

Negara maju akan lebih mengutamakan hasil kerja yang dapat dinikmati masyarakanya, ketimbang menonjolkan siapa yang mengerjakannya.

Karena itu hampir semua pelayanan dilakukan by sistem. Salah satu tujuannya adalah mempermudah pelayanan dan menghemat waktu, serta sumber daya yang ada. 

Sebagai contoh di Australia, surat-menyurat resmi kenegaraan mereka saja tidak ada yang pakai stempel dan apa lagi nomor surat,  cukup hanya dengan tanda tangan secara elektronik sehingga cukup dikirim elektronik juga via e-mail. Dengan demikian keterlambatan pengiriman bisa dikatakan tidak pernah terjadi. 
Namun di birokrasi kita, sering terjadi bahwa surat sampai ditujuan beberapa saat akan dimulai, atau bahkan setelah acara selesai. 

Para pejabat dan pemimpin di sana benar-benar membantu masyarakatnya, dengan syarat tidak keluar dari aturan-aturan yang berlaku. Tapi kalau tidak sesuai dengan syarat yang ada, malahan kita yang akan kena denda dengan jumlah yang cukup fantastis. 

Sebagai perbandingan misalnya, masyarakat disana akan dilayani untuk diambil sampahnya sampai kerumah-rumah berdasarkan jadwal yang telah ditentukan dengan menggunakan “dual control truck”, artinya dengan satu orang sopir mereka sudah dapat melayani hampir satu wilayah kecamatan dalam rentang satu hari saja, karena semuanya diangkat menggunakan robot, tapi kalau kita salah dalam meletakan sampah pada tong yang seharusnya, membuang pecahan kaca tidak pada tempat yang benar, maka kita akan didenda hingga mencapai 5 jutaan dan kalau sudah dapat surat denda tersebut maka harus di bayar dan tidak bisa meminta pertolongan kepada “orang dalam”.

Lain lagi di segi infrastruktur jalan, tidak akan pernah kita temui lobang karena sekali berlobang, mereka langsung akan melakukan pengaspalan secepat kilat tanpa harus menunggu anggaran ketuk palu yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Yang lebih parah lagi di negara kita malah jalannya dilobangi di sana-sini dan dibiarkan beberapa lama tanpa ada perbaikan. 

Karena itulah pakar kepemimpinan Ken Blanchard menekankan bahwa servant leader, adalah pemimpin yang berani berkorban dan menyinsingkan lengan baju demi melayani serta melakukan apa saja yang merupakan perbuatan yang baik untuk menolong masyarkat agar mendapatkan kemudahan, yang diistilah kan oleh Blanchard dengan jargon  “Pemimpin harus bekerja untuk Masyarakat, dan bukan justru sebaliknya. Demikian tulis Indrapradja dalam artikel yang berjudul Pemimpin yang Melayani (Servant Leader) yang dimuat dalam Kompasiana.com (23 Maret 2014).  

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi pejabat birokrasi itu tidaklah mudah, karena harus merubah mindset yang selama ini sudah tertanam sejak lama bahkan sejak zaman kolonial. 

Tapi servant leader masih jauh dari penerapan yang ideal untuk di negara kita. Sebagai contoh kecil saja, masih seringnya kita temui banyaknya kendaraan pejabat-pejabat tertentu yang walaupun itu bukan plat merah, tapi malah ditempeli simbol-simbol tertentu di plat kendaraannya yang melambangkan bahwa mobil itu milik kalangan pejabat elit tertentu. 

Bila dikaitkan dengan defenisi pemimpin melayani di atas, pemakain simbol itu relevansinya apa? Minta priotas? Atau agar masyarakat takutkah?.

Selama kuliah disalah satu Negara Maju, penulis tidak pernah melihat kendaaraan pejabat Eksekutif Kampus, misalnya yang platnya menunjukan status yang berbeda dengan mahasiswa dari perkampungan sekali pun. Yang lebih hebat lagi, tempat parkirnya pun tidak dikasih merek khusus semisal “pejabat 1, pejabat 2 dan seterusnya inilah mungkin yang mereka sebut dengan pengamalan equality before law; semua sama di mata hukum. Jadi kita tidak tahu pejabatnya yang mana, tetapi mereka hadir saat diperlukan saja.  

Namun di negara kita malah terjadi kebalikan, kendaraan yang seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, sering digunakan untuk gagah-gagahan, dengan memberinya simbol-simbol tertentu dan tak jarang juga malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan atau golongan, dengan mengganti platnya yang merah jadi plat hitam atau sebaliknya, tergantung kepentingn. Inilah yang disebut licik dan culas itu, demikian ulas Ustadz DR. Dasa’ad Latif, Ph.D sang Da’i yang juga dosen Ilmu politik Universitas Hasannudin, Makasar dalam suatu ceramahnya. 

Pemimpin melayani, di negara kita memang sangat indah untuk didengar, namun masih sering digunakan sebagai pencitraan belaka yang pada tatanan prakteknya masih sangat jauh. 

Kalau kita perhatikan para pemimpin sekarang masih banyak yang minta dilayani daripada melayani, apalagi kalau mereka merasa ditentang atau diprotes, maka ego kepemimpinan negatifnya akan muncul. 

Pemimpin masih banyak yang alergi untuk ditentang atau dikonfrontasi. Maka munculah istilah “jangan pernah menentang matahari” (Irawanto, Ramsey, dan Tweed, 2012)

Bahkan yang lebih parah lagi, sering kita saksikan para pemimpin yang notabenenya adalah para pejabat berlomba-lomba untuk menonjolkan diri, bahwa merekalah yang berbuat. 

Hampir semua pemimpin menganggap dia lah yang berpengaruh, sehingga yang terjadi adalah pemimpin dan wakilnya pecah atau tak sejalan, karena sama-sama sering menepuk dada.

Ironisnya lagi, antara eksekutif dan legislatif tidak jarang terjadi tarik ulur dan merasa sama-sama berkuasa. Lalu kalau sudah begini bisakah kita sebut sebagai pemimpin yang melayani? Atau malah berbuat brutal ala PREMAN?.

Wassallam....

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.