-->

Latest Post

Photo Istimewa

MPA, PADANG - Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Padang Hendri Septa menegaskan, akan meninjau ulang kembali Surat Edaran (SE) Wali Kota Padang Nomor.870.743/BPBD-Pdg/X/2020 Tentang Larangan Pesta Perkawinan dan Batasan Bagi Pelaku Usaha, jika angka kasus positif Covid-19 di Kota Padang menurun menjelang 9 November 2020 mendatang.


"Masih ada sekitar empat minggu mulai berlakunya edaran tersebut, jika kasus positif Covid-19 di Kota Padang menurun, maka kita akan tinjau ulang lagi SE tersebut," ujar Hendri Septa sewaktu bertemu dan dengar pendapat dengan sejumlah para pelaku usaha pariwisata, hotel, wedding dan seniman serta pihak terkait lainnya di Kota Padang, di Aula Abu Bakar Ja'ar, Kamis (15/10/2020).


Plt Wako Hendri Septa menjelaskan, SE Wali Kota Padang tersebut dikeluarkan melihat tingginya peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Padang. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Padang, https://dinkes.padang.go.id, pada 14 Oktober 2020 tercatat jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 4.971 kasus. 


Jika dirinci terjadi penambahan kasus positif baru setiap hari yang melebihi 100, bahkan melebihi diangka 200. Seperti pada 10 Oktober terdapat 119 kasus, 11 Oktober 229 kasus, 12 Oktober 123 kasus, 13 Oktober 152 kasus positif dan 14 Oktober 291 kasus positif baru, bahkan hari lebih 200 kasus.


"Dengan jumlah kasus positif yang begitu signifikan peningkatannya, maka Kota Padang sekarang berada pada zona merah. Dan Kota Padang juga telah dinyatakan oleh Pemerintah Pusat menjadi 10 kota terparah penyebaran Covid-19 di Indonesia," jelasnya.


Lebih jauh dijelaskan, tidak hanya peningkatan jumlah kasus positif baru, jumlah angka kematian karena Covid-19 juga meningkat. Pada 14 Oktober 2020 tercatat jumlah kasus kematian di Kota Padang sudah 92 orang. Terjadi peningkatan sekitar 1 sampai 2 orang setiap harinya.  


"Jika hal ini terus dibiarkan ada kekhawatiran kondisi Kota Padang akan semakin buruk. Kita juga tidak ingin kembali pada masa beberapa bulan lalu dimana diterapkan PSBB. Untuk itu kita Pemerintah Kota Padang perlu membuat dan mengeluarkan aturan yang semata-mata demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Kota Padang," jelasnya.


Surat Edaran Wali Kota Padang Nomor.870.743/BPBD-Pdg/X/2020 Tentang Larangan Pesta Perkawinan dan Batasan Bagi Pelaku Usaha akan mulai diterapkan pada 9 November 2020.


Plt Wako berharap, para pelaku usaha di Kota Padang dapat menjadi mitra dalam menyampaikan pesan-pesan pemerintah untuk memberikan arahan kepada masyarakat banyak tentang pencegahan Covid-19. 


"Alhamdulillah, pada pertemuan kali ini kita telah mendapatkan pemahaman dan komitmen bersama untuk bersama-sama menekan angka penyebaran virus Corona di Kota Padang yaitu dengan memasifkan sosialisasi protokol Kesehatan Covid-19. Dan insya allah kita berharap terjadi penurunan kasus Covid-19 yang signifikan," jelasnya. 


Turut hadir, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Edi Hasymi, Kepala Dinas Kesehatan Fery Mulyani, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Arfian, Kabag Hukum Yopi dan Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Amrizal Rengganis.


Pada kesempatan tersebut dari pelaku usaha pariwisata dan perhotelan hadir, mewakili Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI),  mewakili Indonesian Hotel General Manager Association (IGMHA), Aspirapi, IMAIng, Hikasmi dan mewakili para Seniman. (Mul/Ady/Prokopim).

Photo Istimewa


MPA, PADANG - Plt Wali Kota Padang Hendri Septa menyampaikan beberapa hal seputar kondisi Kota Padang terkini beserta berbagai upaya yang tengah dilakukan dalam penanganan dan pengendalian Covid-19 yang tengah mewabah di daerah tersebut.


Sebagaimana diketahui, Kota Padang saat ini telah dinyatakan termasuk dari 12 daerah prioritas penangan Covid-19 se-Indonesia. Hal ini dikarenakan kota yang memiliki jumlah penduduk hampir 1 Juta jiwa itu belum mampu keluar dari zona merah sejak beberapa bulan belakangan. Kasus warga yang terpapar positif Covid-19 pun dari hari ke hari terus menanjak naik cukup signifikan.


Demikian dikatakan Plt Wali Kota Padang Hendri Septa kepada wartawan dalam kegiatan diseminasi informasi bersama Diskominfo Kota Padang secara virtual, Kamis (15/10/2020).


Dalam kesempatan itu Plt Wako didampingi Kasat Pol PP Alfiadi, Kabag Hukum Yopi Krislova, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Henry Gani serta Kadiskominfo Rudy Rinaldi.


"Kemarin Rabu (14/10/2020) jumlah warga Kota Padang yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 272 orang. Hari ini Kamis (15/10/2020) bertambah sebanyak 250 orang lagi. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi kita di Kota Padang," ungkapnya lirih.


Oleh karena itu, Hendri pun telah menekankan jajarannya harus lebih maksimal lagi dalam berbagai upaya dan melakukan langkah terbaik untuk menekan laju penyebaran Covid-19 tersebut.


"Kalau pun tidak bisa merubah zona merah menjadi zona kuning minimal kita bisa zona orange dalam beberapa waktu ke depan. Kita berharap semua elemen masyarakat bahu-membahu bersama pemerintah dalam hal ini," ujarnya.


Ia menambahkan, menilik awal mula pandemi di Kota Padang Pemko Padang sudah melakukan beberapa upaya penanganan penyebaran Covid-19. Mulai dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), melahirkan Peraturan Wali Kota (Perwako) No.49 Tahun 2020 tentang Pola Hidup Baru Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), hingga teranyar dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) No.6 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19.


"Kita juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) Wali Kota Padang tentang Larangan Pesta Perkawinan dan Batasan Bagi Pelaku Usaha per tanggal 12 Oktober 2020. Hal ini merupakan tindakan yang mesti dilakukan guna menekan laju penyebaran Covid-19 yang semakin tinggi. Ada 6 (poin-red) yang mesti disikapi di dalam Surat Edaran tersebut," imbuhnya.


Dijelaskan, Dari 6 poin pada Surat Edaran tersebut poin pertama terdapat larangan menggelar pesta perkawinan baik di gedung/convention center atau di rumah terhitung semenjak 9 November 2020. 


"Jadi, bagi masyarakat yang ingin melakukan perkawinan cukup melaksanakan akad nikah di kantor KUA, rumah ibadah atau di rumah dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Jika dilanggar ada sanksi yang akan diberikan," tukuknya.


Meski telah dikeluarkan, ungkap Hendri, pihaknya tetap akan meninjau ulang kembali Surat Edaran Wali Kota Padang itu. Apakah kasus positif Covid-19 di Kota Padang menurun menjelang 9 November 2020 mendatang. 


"Masih ada sekitar empat minggu mulai berlakunya Surat Edaran tersebut, jika kasus positif Covid-19 di Kota Padang menurun, maka kita akan tinjau ulang lagi," tutur Hendri Septa mengakhiri. (David/Prokopim)

Photo Istimewa


MPA, JAKARTA — Pandemi Covid-19 menjadi semacam ujian bagi setiap negara yang terdampak dan pemerintahan yang berkuasa. Sepintas ada kesan, negara dengan sistem politik relatif tertutup lebih mampu menghadapi situasi krisis kesehatan yang diakibatkan penyebaran virus mematikan ini.


Pemerintahan di negara-negara tersebut dapat mengambil tindakan yang tepat dalam waktu cepat untuk meminimalisir jumlah korban.


Demikian dikatakan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, ketika berbicara dalam diskusi virtual Medan Urban Forum bertema “Pemulihan Demokrasi Indonesia” yang diselenggarakan Rabu malam (14/10) melalui ruang digital Zoom.


Teguh yang juga dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mencontohkan keputusan Republik Rakyat China menutup kota Wuhan di Provinsi Hubei yang menjadi pusat penyebaran SARS Cov-2 itu pada bulan Januari lalu. Keputusan itu tepat dalam rangka mencegah penyebaran virus corona di tengah penduduk Wuhan, dan menjadi model penanganan Covid-19 yang umum.


Begitu China menutup Wuhan, sambung Teguh, Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara juga menutup semua perbatasannya dengan China dan Rusia.


Bagi Korea Utara langkah China menutup Wuhan adalah sinyal kuat bahwa SARS Cov-2 jauh lebih berbahaya dan mematikan dibandingkan virus corona yang pernah menyebar sebelumnya di Asia Timur, baik SARS di tahun 2002-2003 maupun MERS di tahun 2014-2015.


Hasilnya, kini hanya ada 300 kasus Covid-19 aktif di seluruh China. Angka ini tentu jauh sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk China yang sekitar 1,3 miliar jiwa.


Sementara, sambungnya, dalam upacara peringatan HUT ke-75 Partai Pekerja Korea beberapa hari lalu selain memamerkan persenjataan canggih yang dimiliki Korea Utara, Kim Jong Un juga memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka sejauh ini masih dapat mencegah SARS Cov-2 memasuki negeri itu.


Republik Sosialis Vietnam juga langsung menutup perbatasan dengan China dan memberlakukan protokol yang sangat ketat sesaat setelah China menutup Wuhan. Sampai awal Juli lalu jumlah korban meninggal dunia akibat Covid-19 di Vietnam bisa ditekan di angka nol, walau belakangan Covid-19 mulai merenggut nyawa warga Vietnam sekiatr 35 jiwa.


Namun Teguh mengingatkan, ini bukan berarti sistem politik tertutup yang dianut negara-negara itu lebih efektif dibandingkan sistem politik terbuka yang dianut negara-negara demokratis. Dia mengatakan, Jerman, Korea Selatan, dan Selandia Baru yang dikenal sebagai negara dengan sistem politik terbuka juga relatif berhasil menanggulangi Covid-19.


Teguh mencatat, keseriusan dan kesungguhan pemerintah adalah kata kunci dalam penanganan Covid-19. Selain upaya yang dilakukan pemerintah, peran serta masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan juga menjadi faktor lain yang menentukan.


Negara-negara di Asia Timur khususnya memiliki “keuntungan” tersendiri karena berpengalaman bersentuhan dengan virus corona.


Pengalaman ini membuat negara-negara di kawasan itu, apakah yang memiliki sistem politik tertutup seperti China dan Korea Utara, atau yang memiliki sistem politik terbuka seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, sejak beberapa waktu lalu telah mengembangkan pusat-pusat penelitian untuk mempelajari virus corona. Dengan demikian, ketika virus corona baru menghumbalang di akhir 2019, pemerintahan di negara-negara kawasan itu dapat melakukan upaya penanganan dengan cepat dan relatif tepat.


Lebih dari itu, pemerintah China, contohnya, juga beberapa langkah di depan dalam upaya menemukan vaksin anti Covid-19.


Di sisi lain, masyarakat di negara-negara itu pun sudah terbiasa dengan berbagai protokol kesehatan yang ketat. Membawa hand sanitizer dan mengenakan masker, misalnya, telah menjadi trend di kalangan generasi muda di China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, jauh sebelum SARS Cov-2 merebak.


Terkait dengan sistem politik secara umum, Teguh mengatakan, setiap negara secara “alamiah” akan mengembangkan sistem politik yang dirasa cocok dan sesuai dengannya. Bagaimanapun juga sistem politik adalah produk budaya yang tumbuh dan berkembang.


Kemunduran Demokrasi dan “Militerisme”


Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Warjio, yang menjadi pembicara pertama dalam diskusi itu mencatat tiga isu besar yang muncul dalam praktik demokrasi di era Covid-19.


Ketiganya adalah persoalan HAM, kemunduran demokrasi, dan “militerisme” atau penggunaan simbol-simbol dan tindakan-tindakan militeristik yang untuk waktu yang lama diidentikkan dengan simbol dan tindakan institusi militer.


Warjio yang baru meluncurkan buku berjudul “Demokrasi di Era Covid-19” itu mengatakan, penggunaan kekuatan “darurat” menjadi setara dalam sistem demokrasi.


“Bukan hanya karena para pemimpin otoriter menuntutnya, tetapi karena warganegara yang takut mentolerirnya,” ujar Warjio.


Dia menambahkan, di negara-negara dengan risiko pandemi sedang atau tinggi, kelangsungan hidup demokratis bergantung pada masyarakat sipil yang waspada yang dapat mempengaruhi dan memantau pemerintah.


“Kita harus mengembangkan mekanisme baru yang sesuai dengan situasi pandemi. Seperti yang ditentukan oleh pengadilan konstitusi Jerman bahwa bentuk-bentuk terbatas dari protes publik harus tetap legal, selama mereka mematuhi protokol kesehatan,” ujarnya.


Juga disebutkan oleh Warjio, untuk melestarikan demokrasi selama krisis, tanggapan pemerintah terhadap aspirasi masyarakat harus “proporsional, perlu, dan tidak diskriminatif”.


“Pertarungan melawan virus tidak harus menjadi tujuan yang membenarkan segala cara. Hak asasi manusia harus dihormati. Sekalipun negara memiliki kompetensi yang terbatas dalam masalah medis, ia harus siap memerangi virus corona menggunakan cara yang sah. Ia juga harus membela hak asasi manusia dan demokrasi secara internasional jika harus ditanggapi dengan serius dalam masalah ini,” urainya lagi.


Jika tidak demikian, negara-negara non demokratis yang memanipulasi publik dengan informasi palsu akan mengeksploitasi kelemahan.


“Sehingga, misalnya, tidak ada lagi manipulasi pemilu, juga penyalagunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, partai dan kelompok dan meminggirkan kelompok lain atau bahkan keluarga melalui model politik dinasti,” demikian Warjio.


Demokrasi Tidak Boleh Mundur


Pentolan Intelektual Independen Indonesia (III) Shohibul Siregar mengatakan, relasi pandemi dan demokrasi menjadi pokok kajian strategis yang sangat memerlukan peran masyarakat sipil. Demokrasi tidak boleh mengalami kemunduran atau sengaja dimundurkan dalam bentuk apapun dengan berdalihkan pandemi.


“Salah satu pidato Presiden Joko Widodo tentang pandemi secara optimis menyatakan keinginan tidak sekedar pulih dari pandemi, melainkan memanfaatkan krisis untuk lompatan jauh ke depan. Sekali lagi, peran masyarakat sipil sangat penting,” ujar Shohibul dalam catatan akhirnya.


Dia menambahkan, dinamika demokrasi berjalan terus, dan evaluasi capaian demi capaian harus secara terbuka dilakukan untuk kemaslahatan bangsa di masa depan. Sementara berbagai praktik kenegaraan dan kebangsaan pasca amandemen UUD 1945 semakin terbuka untuk dipertanyakan.


“Gagasan besar yang melatari pendirian negara-bangsa ini tidak boleh berhenti pada upaya sebatas pengembangan asumsi-asumsi belaka, karena sangat diperlukan pengembangan sistem yang menjawab kebutuhan memfasilitasi kemampuan negara untuk menyejahterakan rakyat. Pakem religiusitas demokrasi terasa sangat perlu dihadirkan,” urainya.


Menurut Shohibul, hal-hal yang sangat krusial dan sangat mendesak pengaturannya saat ini antara lain adalah bagaimana menghadirkan negara untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai pasal 27 ayat (2) UUD 1945.


“Banyak hal yang berpengaruh terhadap tidak bertumbuh dan tidak berkembangnya demokrasi di suatu negara, di antaranya masalah pembiayaan partai yang tidak memungkinkannya mandiri dan memeroleh kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya,” masih katanya.


Selain itu, untuk kasus Indonesia diperlukan legal framework yang berwawasan sehat, yang antara lain di dalamnya terdapat jaminan pembiayaan paling tidak Rp 1 triliun setahun untuk setiap partai politik.[-]

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.