-->

Latest Post

SUMBAR - MEDIAPORTALANDA - Kapolres Bukittinggi AKBP Wahyuni Sri Lestari, S.Ik memimpin konferensi pers di aula Mapolres Bukittinggi, Sabtu (27/8) tentang pengungkapan perkara perjudian yang terjadi di wilayah hukumnya. 


Didampingi Wakapolres Kompol Suyatno, S.Ik, Kasi Humas AKP R.H. Sitinjak, SH dan KBO Satreskrim Iptu Herwin, SH, AKBP Wahyuni menjelaskan bahwa selama bulan Agustus ini Polres Bukittinggi bersama Polsek jajaran telah berhasil mengungkap dan menangkap perjudian baik darat maupun online.

Bahkan, hingga tadi malam jajaran Reskrim juga telah menangkap pelaku perjudian tersebut sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang tersangka, dengan Laporan Polisi sebanyak 10 (sepuluh) buah.


"Sebagai Kapolres, punya komitmen tidak akan memberikan ruang kepada segala bentuk perjudian, tetap berantas perjudian dalam bentuk apapun," jelasnya. 


AKBP Wahyuni Sri Lastari, mengucapkan terima kasih kepada seluruh lapisan masyarakat maupun media yang telah memberikan informasi tentang perjudian ini kepada personilnya, baik secara langsung maupun melalui telepon 110. 


Selanjutnya Wakapolres Bukittinggi Kompol Suyatno bersama KBO Satreskrim Iptu Herwin, menerangkan, perjudian tersebut masing-masing 10 Laporan Polisi dimaksud, yakni pertama tanggal 7 Agustus 2022 di Nagari Kamang Mudik, Kecamatan Magek, Kabupaten Agam, perjudian online jenis Togel dengan seorang tersangka laki-laki J (46).


Kedua, pada tanggal 11 Agustus 2022 di Jalan Adinegoro Tanah Jua Kota Bukittinggi, perjudian online jenis Togel dengan seorang tersangka laki-laki AG (50).


Ketiga, tanggal 11 Agustus 2022 di Jalan Adinegoro Tanah Jua Kota Bukittinggi, perjudian online jenis Togel dengan seorang tersangka laki-laki R (55).


Keempat, tanggal 12 Agustus 2022 di Simpang Simarasok, Nagari Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, perjudian online Togel dan rolet dengan 5 (lima) orang tersangka laki-laki AP (36), A (54), I (44), MY (49), ZH (55).


Kelima, tanggal 12 Agustus 2022 di Jorong Galuang, Nagari Sungai Puar, Kecamatan  Sungai Puar, Kabupaten Agam, perjudian darat jenis Kartu Remi dengan 4 (empat) orang tersangka laki-laki DS (31), Y (48), H (55), S (59).


Keenam, tanggal 12 Agustus 2022 di Jorong Galuang, Nagari Sungai Puar, Kecamatan Sungai Puar, Kabupaten Agam, perjudian darat jenis Kartu Remi dengan 4 (empat) orang tersangka laki-laki M (81), H (44), S (38), SK (70).


Ketujuh, pada tanggal 13 Agustus 2022 di Jorong Aia Tabik, Nagari Kamang Magek, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, perjudian online Togel dengan  tersangka laki-laki RR (24).


Kedelapan, tanggal 25 Agustus 2022 di Kelurahan Pakan Kurai Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, perjudian online jenis Slot dengan tersangka laki-laki F (18).


"Kesembilan, tanggal 25 Agustus 2022 di Kelurahan Campago Ipuh, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi, perjudian online jenis Slot dengan tersangka laki-laki AN (38). 


Kesepuluh, tanggal 26 Agustus 2022 di Jorong Pahambatan, Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, perjudian online jenis Ludo King dengan 4(empat) orang tersangka laki-laki FT (21), RH (25), F (27), HF (22).


"Kepada para tersangka semuanya dijerat dengan melanggar pasal 303 KUHP, dengan ancaman penjara paling lama sepuluh tahun penjara," demikian ucap Wakapolres mengahirinya. (*)

Ketua LSP Pers Indonesia Heintje G. Mandagi. (Photo Ist)


JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Sidang perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan segera diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 31 Agustus 2022 mendatang. Setelah melewati sidang yang berkepanjangan putusan perkara ini akhirnya akan segera dibacakan Majelis Hakim MK. 


Putusan MK terhadap uji materi Pasal 15 Ayat (2) Huruf f dan Ayat (5) UU Pers ini tentu sangat dinanti-nanti oleh seluruh insan pers tanah air yang berada di luar konstituen Dewan Pers. 

Betapa tidak, hak konstitusional wartawan yang tergabung dalam organisasi-organisasi pers untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers, menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, telah dirampas dan direnggut secara sepihak oleh institusi Dewan Pers sendiri melalui kaki tangan organisasi-organisasi pers berlabel Konstituen. 


Padahal, hak konstitusional adalah hak yang dimiliki oleh setiap warga negara sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negaranya. Keberadaan hak konstitusional merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin pemenuhan dan perlindungannya dalam konstitusi negara.


Namun sayangnya, hak konstitusional itu derunggut secara licik oleh petinggi organisasi pers melalui kaki-tangannya di Dewan Pers dengan cara menghilangkan hak wartawan untuk memilih dan dipilih dengan cara menetapkan peraturan organisasi konstituen Dewan Pers.


Wartawan Indonesia yang menjadi anggota organisasi non konstituen Dewan Pers kehilangan hak konstitusionalnya karena disingkirkan oleh sistem regulasi yang dibuat sepihak oleh oknum-oknum pimpinan organisasi pers dan para anggota Dewan Pers sebelumnya untuk menguasai Dewan Pers. 


Akibatnya, tak sedikit wartawan senior berpengalaman dari daerah dan pusat yang berasal dari organisasi pers berbadan hukum harus kehilangan haknya untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers karena label ‘haram’ konstituen Dewan Pers. Hak konstitusional wartawan inilah yang ‘dirampas’ oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya. 


Padahal, dalam sidang Uji Materi di MK, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo selaku pihak pemerintah telah menyampaikan keterangan secara tertulis dan tegas bahwa dewan Pers bukan regulator melainkan hanya fasilitator. 


Jika alasan Dewan Pers menerbitkan peraturan (Regulasi) sebagai bentuk implementasi dari kata memfasilitasi berdasarkan hasil kesepakatan bersama atau konsensus organisasi-organisasi pers, maka pendapat itu melanggar UU Pers itu sendiri yang hanya memberi fungsi kepada Dewan Pers sebagai Fasilitator bukan Regulator.


Dan pada prakteknya Dewan Pers menerbitkan Regulasi berdasarkan sederet Peraturan maka Dewan Pers sudah beralih fungsi menjadi Regulator Pers Indonesia. Padahal, fungsi dan kewenangan Regulator itu ada pada organisasi-organisasi pers sesuai UU Pers. 


Namun betapa bodoh dan naifnya, organisasi-organisasi pers selama ini dibiarkan menjadi objekan Dewan Pers. Sesungguhnya Wartawan tidak bisa terpisahkan dari organisasi pers. Sehingga domain regulator pers harusnya dikembalikan kepada wartawan.


Saat ini domain regulator diserahkan kepada Anggota Dewan Pers yang di dalamnya ada anggota yang bukan wartawan. Dan selama ini orang-orang itu merasa orang yang paling berkuasa mengatur-ngatur wartawan Indonesia. 


Memag benar UU Pers memberi ruang kepada Tokoh Masyarakat untuk menjadi Anggota Dewan Pers karena bertujuan agar Wartawan bisa difasilitasi oleh tokoh masyarakat bersama dengan wartawan senior dalam menjalankan fungsinya mengatur ruang lingkup pers. Bukan sebaliknya, Dewan Pers justeru berubah peran mengatur wartawan dan organisasi pers. 


UU Pers sudah jelas mengatur domain pihak-pihak yang terlibat dalam ruang lingkup pers pada Pasal 1 Ketentuan Umum. Pada pasal ketentuan umum ini Dewan Pers tidak dimasukan oleh penyusun UU Pers karena sejarah kelam masa lalu sengaja dihindari agar wartawan bisa mendapat jaminan kebebasan pers agar tidak diatur-atur oleh pihak di luar itu. 


Makanya keberadaan Dewan Pers hanya disisip pada Pasal 15 UU Pers dengan tujuan hanya untuk memberi fungsi memfasilitasi wartawan dan organisasi pers terjamin kemerdekaan persnya dalam menyusun regulasi dan meningkatkan kualitasnya. 


Kata kasarnya, saat itu pers Indonesia dikasih hadiah ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ yang wujudnya bernama Dewan Pers, oleh para penyusun UU Pers. Jadi ‘Big Bos’ sesungguhnya berdasarkan sejarah pers, pasca Dewan Pers dan Departemen Penerangan dibubarkan, adalah Wartawan, Perusahaan Pers, dan Organisasi Pers sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UU Pers. 


Pada prakteknya, saat ini si ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ itu sudah menguasai rumah majikan dengan alasan anggota keluarga menyetujui si ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ itu menjadi tuan tanah dan majikan baru regulator peraturan pers. 


Di dunia ini hanya di Indonesia sebuah profesi diatur-atur oleh lembaga yang tidak berwenang selaku regulator dan oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang pers. Coba bayangkan jika organisasi Kedokteran diatur-atur oleh orang yang bukan dokter, atau organisasi pengacara diatur-atur oleh orang yang bukan pengacara, apa jadinya diperlakukan demikian ? 


Yang berhak mengatur ruang lingkup pers harusnya orang-orang yang berkecimpung di dunia pers. Dalam hal ini adalah organisasi pers. 


Jadi Dewan Pers kedudukannya merupakan lembaga independen dan berfungsi sebagai fasilitator bukan regulator bagi insan pers. Jika Dewan Pers menerbitkan Regulasi berupa Peraturan Dewan Pers maka lembaga ini bukan lagi fasilitator atau lembaga independen melainkan Lembaga Regulator bagi insan pers tanah air. 


Sangat disayangkan, ada Ketua Umum oragnisasi pers ‘Old School’ secara terang-terangan berkicau di media menuding Pelaksanaan UKW yang sah adalah lewat Dewan Pers. Dan pelaksanaan UKW di luar lembaga Dewan Pers adalah abal-abal. 


Sang ketum organisasi pers ‘jadul’ ini mengkalim UKW versi Dewan Pers lebih sah dari Sertifikasi Kompetensi Wartawan versi Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia yang didirikan Serikat Pers Republik Indonesia berlisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi. 


Sertifikat yang berlogo burung Garuda Pancasila versi LSP Pers Indonesia dan BNSP dituding abal-abal. Sementara UKW ilegal versi Dewan Pers oleh Lembaga Penguji ilegal diklaim sah karena dasar penafsiran Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers. 


Rupanya si Ketum Organisasi ‘Jadul’ itu tidak mengerti bahwa UU Pers merupakan merupakan lex specialis dari KUH Pidana bukan kepada UU Ketenagakerjaan. Lex Specialis UU Pers untuk melindungi karya jurnalistik wartawan dan media agar tidak dikriminalisasi. 

Namun bicara profesi harus tetap mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan. KPK dan Polri aja tunduk pada peraturan BNSP dengan pendirian LSP KPK dan LSP Polri. 

Terlebih, di dalam UU Pers tidak ada pasal yang mengatur secara eksplisit tentang pelaksanaan UKW bahkan SKW. Bunyi Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. 


Pasal ini jelas mengatur fungsi Dewan Pers hanya memberi fasilitas kepada organisasi-organisasi pers untuk : menyusun peraturan dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Jadi menyusun peraturan dan meningkatkan kualitas profesi itu domainnya organisasi-oragnisasi pers bukan fungsi Dewan Pers sebagaimana dikalim selama ini. 


Makanya, dalam uji materi di MK, pemohon menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf f harus dimaknai 'dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers'. Sebab selama ini fungsi tersebut dimaknai oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers


Selanjutnya Pasal 15 ayat (5) harusnya dimaknai ‘Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis.’


Jika tidak dimaknai demikian, maka hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Karena pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers merupakan upaya hukum yang dijamin secara konstitusional, dalam rangka mengupayakan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, termasuk wartawan. 


Sebagai penulis yang kebetulan juga menjadi pemohon pada Uji Materi Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers di MK, tetap berharap MK bisa memutuskan secara profesional tanpa ada tekanan dari pihak manapun juga. 


Sehingga publik pers berharap MK membuat keputusan yang dapat mengembalikan hak regulator kepada organisasi-organisasi pers dan wartawan. ***

JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Sebagai bentuk transparansi, sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Ferdy Sambo dihadiri langsung oleh Kompolnas. 


Demikian antara lain disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan usai sidang etik Ferdy Sambo di Gedung TNCC, Mabes Polri, Jakarta Selatan Jumat (26/8). 

“Selama proses sidang KEP tadi dihadiri oleh Kompolnas RI sebagai bentuk transparansi, objektifitas, serta akuntabilitas Polri,” kata Dedi. 


Adapun sidang ini dipimpin oleh Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri Komjen Ahmad Dofiri dan beranggotakan Wakil Inspektorat Pengawas Umum (Wairwasum) Irjen Tornagogo Sihombing, Kadiv Propam Irjen Syahardiantono, Gubernur PTIK Irjen Yazid Fanani dan Irjen Rudolf Albert Rodja. 


Sidang yang digelar selama hampir 16 jam itu telah memutuskan secara kolektif kolegial memutuskan untuk memberikan tiga sanksi kepada Ferdy Sambo, salah satunya Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH). 


Adapun sanksi lainnya ialah sanksi etika, yaitu tindakan Ferdy Sambo melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J merupakan perbuatan tercela dan sanksi adminitrasi berupa penempatan khusus dalam tempat khusus selama 20 hari. 


“Kemudian Pemberhentian Dengan Tidak Hormat atau PTDH sebagai anggota Polri,” tekan Dedi. 


Disisi lain, Dedi menyampaikan terima kasih kepada publik yang memberikan perhatian lebih untuk mengawal kinerja tim khusus (timsus) yang dibentuk Kapolri sehingga kasus ini bisa terungkap sesuai dengan fakta yang ada. 


“Ini merupakan komitmen bapak Kapolri agar Timsus bekerja secara transparan, objektif dan akuntabel,” pungkasnya. **

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.