-->

Articles by "Tajuk"

Showing posts with label Tajuk. Show all posts

Oleh: Zahwa Vieny Adha (Mahasiswa Departemen Fisika, Universitas Andalas), Photo ilustrasi .

Banyak pakar iklim yang mengatakan bahwa tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat sepanjang sejarah. Menurut Climate Change Service (5/7/2023), bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) pada tahun 2023 merupakan musim terpanas yang pernah tercatat secara global dengan suhu rata-rata 16,77°C, sekitar 0,66°C di atas rata-rata musim panas tahun lainnya dan 0,33°C lebih hangat daripada tahun sebelumnya. JJA tahun 2023 juga memecahkan rekor sebagai musim panas yang memiliki suhu permukaan laut tertinggi yang memecahkan rekor global. Semakin panasnya bumi, diduga sebagai tanda adanya perubahan iklim secara global.

Definisi Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan salah satu isu cukup hangat dan semakin banyak untuk dibicarakan dalam beberapa dekade terakhir. Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Awalnya, perubahan ini terjadi secara terkendali dan sangat lambat. Namun, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia—terutama kegiatan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas—telah mempengaruhi pola cuaca dalam skala regional bahkan global. Aktivitas manusia ini menjadi penyebab utama perubahan iklim yang tidak terkendali. 

Secara langsung, perubahan iklim berdampak pada pemanasan global. Pemanasan global adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata bumi. Pemanasan ini merupakan awal dari perubahan iklim yang drastis.

Perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia, perumahan, keselamatan dan pekerjaan. Beberapa dari kelompok masyarakat sudah lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti masyarakat yang tinggal di negara kepulauan kecil. Kondisi seperti kenaikan permukaan air laut dan intrusi air asin telah mencapai titik di mana seluruh masyarakat harus pindah. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan membuat masyarakat berisiko mengalami kelaparan. Dilansir dari Brookings (25/07/2019), di masa depan, jumlah ‘pengungsi iklim’ diperkirakan akan meningkat.

Penyebab Pemanasan Global

Penyebab utama pemanasan global adalah emisi gas rumah kaca (GRK). GRK, seperti ‘rumah kaca’ pada umumnya, merupakan jenis gas yang dapat menyimpan panas di atmosfer bumi sehingga memainkan peran penting dalam perubahan iklim global. Secara umum, Bumi menerima radiasi cahaya matahari setiap harinya. Namun, kelebihan produksi gas tersebut di atmosfer dapat menghambat panas yang keluar, sehingga menyebabkan peningkatan suhu Bumi secara keseluruhan.

GRK yang utama yang menjadi penyebab pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Penggunaan bahan bakar fosil di kehidupan sehari-jari dan deforestasi menjadi kegiatan manusia utama yang memproduksi kedua jenis GRK tersebut. 

Dampak Pemanasan Global

Sebagian besar orang berpikir bahwa pemanasan global hanya berdampak pada peningkatan suhu secara global. Namun, kenaikan suhu secara global hanyalah awal dari mulainya malapetaka. Hal ini dikarenakan Bumi adalah suatu sistem di mana semuanya terhubung. Perubahan yang terjadi pada satu system fisis bumi dapat memengaruhi system lainnya, apalagi perubahan pada suhu sebagai parameter yang penting dalam analisis cuaca dan iklim. Tidak hanya masalah suhu, pemanasan global juga terbukti memunculkan masalah baru seperti kekeringan hebat, kelangkaan dan penurunan kualitas air, maraknya kebakaran hutan, mencairnya sebagian es di kutub sehingga naiknya permukaan laut, bencana alam seperti banjir, dan yang tak kalah penting perubahan pola cuaca seperti meningkatnya intensitas hujan, atau yang lebih dikenal sebagai hujan ekstrem.


Hubungan Pemanasan Global dan Kejadian Hujan Ekstrem

Salah satu dampak paling nyata dari pemanasan global adalah banyak muncul hujan ekstrem. Dosen fisika atmosfer di Universitas Andalas, Prof. Dr. techn. Marzuki (31/08/2023) mengungkap bahwa kejadian pemanasan global berdampak langsung pada semakin meningkatnya frekuensi, durasi dan intensitas curah hujan di berbagai belahan dunia. Hal ini bermula ketika pemanasan global memungkinkan peningkatan suhu permukaan yang kemudian menyebabkan peningkatan laju penguapan permukaan, terlebih negara di kawasan tropis yang menerima panas matahari yang banyak setiap harinya di sepanjang tahun. Indonesia sebagai negara di Kawasan tropis dan juga dikelilingi oleh lautan luas, pastinya akan memiliki penguapan besar dari lautan. Penguapan ini secara terus menerus akan berdampak pada konveksi gabungan antara daratan-lautan yang intens. Pada akhirnya, konveksi ini akan membentuk kawanan awan yang nantinya dapat menghasilkan curah hujan berintensitas tinggi (hujan ekstrem) bahkan yang berdurasi lama. Tidak hanya itu, peningkatan suhu permukaan laut juga dapat menghasilkan perubahan dalam cuaca laut, termasuk intensifikasi badai tropis. Badai yang lebih kuat dapat menghasilkan hujan ekstrem yang lebih besar, terlebih saat mencapai daratan.

Dampak Hujan Ekstrem yang Meningkat

Peningkatan hujan ekstrem memiliki dampak yang signifikan dan beragam pada berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan. Adapun dampak hujan ekstrem yang meningkat adalah munculnya bencana alam seperti banjir dan longsor, kerusakan infrastruktur seperti jembatan, jalan raya, dan bendungan, serta terganggunya ekosistem air tawar dan air laut sehingga mengancam keanekaragaman hayati. Tidak hanya itu, dampak tersebut pun dapat memberikan dampak turunan seperti kerugian materil dan non-materil yang di rasakan oleh korban bencana alam seperti banjir dan longsor.

Upaya Mengurangi Dampak Pemanasan Global 

Meskipun pemanasan global merupakan tantangan yang serius dan kompleks, ada sejumlah harapan dan langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan. Upaya mengurangi dampak pemanasan global melibatkan serangkaian tindakan penting, termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan memprioritaskan energi terbarukan, meningkatkan efisiensi energi, dan menggalakkan transportasi berkelanjutan. Selain itu, melindungi hutan dan menggalakkan penanaman pohon, mendorong pertanian berkelanjutan dan mengurangi konsumsi daging, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim dan pentingnya mengurangi jejak karbon pribadi. Kerjasama internasional juga menjadi kunci dalam upaya ini. Negara-negara bersatu untuk mencapai tujuan global dalam menghadapi pemanasan global.Dengan kesadaran masyarakat yang meningkat, pengurangan emisi industri, pengelolaan yang bijak terhadap sumber daya alam, dan partisipasi aktif masyarakat global, kita dapat bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Saat ini adalah waktu yang krusial untuk bertindak, dan setiap tindakan kecil yang dilakukan bersama memiliki dampak besar dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. **

Oleh: Idwar


Hanya hitungan bulan, lebih kurang 1 tahun lagi ajang pesta rakyat bakal dimulai, calon - calon yang akan bertarung sudah mempersiapkan diri untuk maju menjadi Wakil Rakyat. Seperti biasanya, masing-masing calon sudah memperlihatkan wajah-wajahnya di baliho.


Salah seorang pemerhati politik menyatakan meskipun demikian, yang nama nya bertarung sudah ada trik-trik mereka untuk mengambil simpati masyarakat pemilih. Untuk itu, masyarakat harus jeli dalam menentukan sikap, siapa-siapa yang akan di percayai mewakili suaranya di DPR/DPRD tersebut.


Sudah ada semacam pelajaran sebelumnya, mereka yang terpilih tidak dapat mewakili aspirasi kita di DPR tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara mendapat uang yang telah dikeluarkan selama kampanye. Ini tidak bisa dipungkiri, memang itu ada nya selama ini katanya.


Pesta Rakyat bukan lagi untuk Rakyat, pesta Demokrasi hanya untuk ambisi, setelah pesta selesai, mereka tidak kenal lagi sama pemelihnya. Setelah lima tahun menikmati duduk di kursi empuk, kini mereka mulai turun, atau yang biasa disebut, mereka mulai jemput bola. 


Berbagai trik dan gaya dilakukan, seperti 

mengubar janji, agar masyarakat bisa memilihnya kembali. Begitu tujuan mereka tercapai, mereka hilang bak ditelan bumi, mereka tak kenal lagi sama masyarakat, terkadang pura - pura tidak kenal bahkan, sampai memblokir hp orang- orang tersebut.


Kini, senyum mulai menghiasi para bacaleg setiap berjumpa warga, lah tiba masanya bacaleg yang ikut diajang pemilihan tersebut selalu ramah dan murah senyum pada masyarakat. Akankah masih seramah saat minta dipilih jika sudah berada disinggah sananya. Selama ini, realitanya usai duduk, kata kenal hilang, yang ada hanya jarak, ini sudah sering terjadi di setiap 5 tahun.


Kemudian, dimasa anggaran tiba baru mereka turun untuk menemui warga, itupun dalam bentuk menjemput aspirasi, begitu juga saat menurunkan dana Pokok Pikiran (Pokir). Dalam bentuk pembangunan infrastruktur di dapil- dapil nya. Photo terpampang di lokasi pekerjaan.


Apalagi di saat bulan Ramadhan masuk, mereka hadir di mesjid dalam acara safari Ramadhan, hanya untuk mengambil simpati Rakyat semata. Memasuki tahun politik ini, masyarakat telah cerdik dalam memilih calon nya dan berkata, ambil uangnya, pilih yang kita sukai, sesuai hati nurani kita.


Suasana kampung kian semarak, di hiasi dengan spanduk, baliho dan bermacam gaya di sertai dengan senyuman, suasana Ramadhan semakin ramai dengan bertaburan imsakiyah, yang di bagi - bagikan ke masyarakat dengan menempelkan fotonya di Imsakiyah. Ada-ada saja. Judulnya: "Kini Datang Lagi Setelah Duduk di Kursi Empuk Lalu Menghilang Hingga 5 Tahun Kedepan", ungkapnya.

Azmi Syahputra Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Photo Ist.


Keberanian dan ketegasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur Mia Amiati terkait pencopotan jabatan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Madiun, Andi Irfan Syafruddin layak diapresiasi sekaligus keberhasilan, ini nyata langkah konkrit, fokus pada tindakan tegas terhadap jaksa yang tidak berintegritas di jajarannya, begitu ada bukti klarifikasi dan fakta hasil pemeriksaan urin bahwa Kepala Kejaksaan Negeri Madiun melakukan pungli dan positif narkoba langsung di copot dari jabatannya. 


Ini menjadi bukti bahwa pimpinan kejaksaan terus melakukan pengawasan, independent, profesional, objektif, keputusan yang terukur berdasarkan fakta dan bukti atas perbuatan  pelaku.


Ini kok penegak hukum tidak mau belajar dari kejadian yang pernah terjadi, tidak kapok-kapok, dimana kepala kejaksaan negeri Madiun  yang baru 4 bulan jabatannya ini melakukan perbuatan yang menyalahgunakan jabatannya, melakukan hal yang bertentangan dan menciderai nilai luhur Tri Krama Adhyaksa kejaksaan dimana ia diduga melakukan pungli dan diperparah positif narkoba. Sehingga, atas perbuatannya tersebut diperlukan tindakan tegas, dimana perilakunya nyata telah berbuat curang termasuk melakukan tindak pidana.


Sehingga Pencopotan dan proses pidana tepat dilakukan maka terapkan delik tindak pidana korupsi pemerasan bagi pejabat kejaksaan ini, hal ini  ditujukan tidak hanya sebagai efek jera, efek edukasi melainkan juga bertujuan untuk menciptakan aparatur kejaksaan yang bersih serta terjaganya integritas korp adhyaksa dari kejahatan pungli termasuk kejahatan narkotika.**


Photo ist 


Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yakni sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila yang memiliki nilai-nilai universal bangsa-bangsa di dunia seperti Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Demokrasi, dan Nilai Keadilan Sosial. Pendiri bangsa Indonesia Soekarno menyebut kelima nilai tersebut sebagai way of life (pedoman hidup) bangsa Indonesia.

Lebih jauh Kaelan memaparkan, Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pedoman hidup (way of life), identitas bangsa Indonesia (The Indonesian identity), filosofi dasar Negara (the philosophy of state), ideologi bangsa dan negara Indonesia (an ideology of nation and Indonesian state).

Selanjutnya menurut Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar negara (philosophische grondslag), ideologi Negara (staatidee), dan cita hukum (rechtsidee). 

Cita hukum Pancasila merupakan hakikat aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber nilai, norma, kaidah, moral, dan hukum Negara, yang meliputi baik hukum tertulis (positive law) maupun hukum tidak tertulis (living law). 

Penegakan hukum humanis yang dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Kejaksaan, bukanlah sekedar ide atau gagasan, tetapi sebagai aktualisasi nilai-nilai Pancasila. 

Sebagai sistem nilai yang hidup dalam masyarakat, penegakan hukum yang dilaksanakan oleh setiap insan Adhyaksa harus mengandung Nilai Ketuhanan. Artinya, keputusan apapun yang dilaksanakan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa, apalagi keputusan-keputusan hukum itu berdampak luas kepada masyarakat dan negara. Selain itu, keputusan-keputusan yang diambil harus dilandasi nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Implementasi penegakan hukum humanis harus mengandung nilai persatuan, kebersamaan, gotong royong dan teposiloro. Jadi, keputusan hukum harus diperuntukkan untuk kepentingan bersama. 

Lebih lanjut, Jaksa Agung ST Burhanuddin memaparkan nilai demokrasi dalam hukum tidak bersumber dari penguasa, tetapi lebih dari, oleh, dan untuk masyarakat sebagai ujung tombak dari implementasi nilai-nilai demokrasi, serta yang paling penting sebagai landasan perwujudan penegakan hukum harus mampu memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, bangsa dan Negara. Oleh karena kedudukan Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah mewakili, jadi bukan saja mewakili korban, tetapi juga mewakili  masyarakat, pemerintah dan Negara. 

Spirit Pancasila dalam penegakan hukum humanis telah mampu mengelaborasi antara hukum modern yang kekinian dan harus dituangkan dalam hukum tertulis (positive law). Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), bukan saja diakui sebagai bagian dari hukum nasional, tetapi diakui sebagai hukum yang dapat diterapkan dalam kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari. 

Keberadaan Pancasila bukan saja sebagai spirit penegakan hukum humanis, tetapi mampu mempersatukan anak bangsa di tengah perkembangan transformasi digital yang kian mengglobal. Di berbagai perbedaan yang kita miliki, Pancasila menjadi akar pemersatu. Maka dari itu, patut kita syukuri dan maknai hari lahir Pancasila ini untuk terus meningkatkan jiwa Pancasila sebagai akar budaya dan jati diri bangsa Indonesia. (K.3.3.1)



Oleh :

Hence Mandagi

Ketua Umum Serikat Pers RI 


Kericuhan Dewan Pers dan para konstituennya saat pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang media berkelanjutan, sempat menjadi tranding topic di kalangan insan pers tanah air. Selain memalukan, Dewan Pers dan konstituen mempertontonkan silang pendapat para elit pers bak ‘perang Bharatayuda’ di depan pejabat Kementrian Kominfo dan Kemenkopolhukam. 


Entah kepentingan kelompok pers mana yang tengah diperjuangkan dua kelompok elit pers yang biasanya terlihat mesra ini. 


Yang pasti, ada 'bau-bau' kepentingan oligarki tercium di tengah pembahasan Perpres ini. Kue belanja iklan yang hanya 15 persen dari total belanja iklan nasional itu, diakal-akalin dengan kemasan isu monopoli 60 persen belanja iklan oleh perusahaan platform digital asing, sehingga urgensi perpres perlu dikebut. 


Padahal yang justeru memonopoli belanja iklan di Indonesia adalah media televisi nasional yang menguasai 78 persen dari total belanja iklan nasional. 


Pihak Dewan Pers sendiri sudah menyetor kepada Kemenkominfo Draft Rancangan Peraturan Presiden tahun 2023 tentang "TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAAN PLATFORM DIGITAL UNTUK MENDUKUNG JURNALISME BERKUALITAS." 


Kemenkominfo yang dikejar setoran makin bergairah dan tancap gas untuk memenuhi perintah deadline dari Presiden RI Joko Widodo agar perpres tersebut jangan lewat sebulan setelah perwakilan pers bertemu Kominfo. 


Perpres media berkelanjutan ini pun dikebut meski mendapat penolakan keras dari berbagai pihak termasuk  oleh sejumlah konstituen Dewan Pers sendiri. 


Ramai diberitakan, Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia -SMSI, Firdaus mengingatkan pihak pemerintah agar dalam penyusunan draf publisher right platform digital, tetap memperhatikan masukan-masukan Ketua Dewan Pers sebelumnya, almarhum Azyumardi Azra. 


Dia menandaskan, agar jangan ada agenda terselubung untuk membunuh perusahaan pers start up yang sekarang berkembang dan 2000 perusahaan di antaranya di bawah binaan SMSI. 


Sayangnya, Dewan Pers dan Kemenkominfo tak menghiraukan semua masukan dan penolakan. Malah pembahasan terus berlanjut di lokasi berbeda. Bak pepatah kuno, ‘anjing menggonggong khafila berlalu’. 


Terlepas dari ‘perang saudara’ Dewan Pers dan para konstituennya, ada persoalan lain yang lebih substansial dari wacana penerbitan Perpres media berkelanjutan ini. 


Bahayanya, Perpres ini bakal mencederai dan menghianati perjuangan kemerdekaan pers tahun 1999. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 lahir dengan semangat swa regulasi demi menjamin kemerdekaan pers. 


Oleh sebab itu, tidak ada turunan peraturan ketika UU Pers ini disahkan pada tahun 1999. Karena pada paragraf akhir dalam bagian Penjelasan Bab I Ketentuan Umum disebutkan : "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya." 


Dasar hukum dalam menerbitkan Perpres dengan nama kerennya Publisher Rights ini, salah satunya adalah UU Pers di samping UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tentunya Perpres ini jadi sangat bertentangan dengan UU Pers itu sendiri. 


Parahnya, pada draft perpres yang diajukan Dewan Pers, terdapat banyak pasal yang justeru telah menempatkan Dewan Pers sebagai regulator bukan lagi sebagai fasilitator atau lembaga independen sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dan itu jelas telah merubah fungsi Dewan Pers menjadi Lembaga Pemerintahan yang mengatur perijinan atau regulasi. 


Jika Perpres ini disahkan Presiden, maka pemerintah menempatkan Dewan Pers bukan lagi lembaga independen melainkan sebagai lembaga pemerintah. 


Pada draft perpres yang diajukan Dewan Pers, Pasal 5 ayat (1) disebutkan : "Perusahaan Platform Digital ditetapkan oleh Dewan Pers berdasarkan  kehadiran signifikan dari Perusahaan Platofrm Digital di Indonesia." 


Kemudian muncul lagi di Pasal 6 : "Tata cara dan mekanisme pengukuran kehadiran signifikan Persuahaan Platform Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan oleh Dewan Pers." 


Sementara pada Pasal 8 Ayat (1) disebutkan : "Perusahaan pers yang berhak mengajukan permohonan kepada Dewan Pers atas pelaksanaan tanggung jawab Perusahaan Platform Digital adalah Perusahaan Pers yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers." Dan Ayat (2) :  "Perusahaan Pers yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers dapat mengajukan permohonan verifikasi kepada Dewan Pers." 


Pada bagian akhir dibuat aturan bahwa untuk mewujudkan kesepakatan bagi hasil antara perushaaan pers dan Perrusahaan Platform Digital, Dewan Pers lah yang yang membuat atau membentuk pelaksana. 


Mencermati kondisi ini, Dewan Pers dan Pemerintah mungkin lagi terserang penyakit "amnesia". Karena baru-baru ini ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar tahun 1945. 


Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim MK menyatakan, beberapa ketentuan dalam UU 40/1999 yang mengatur jaminan kebebasan pers yaitu : poin ke sembilan, “Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di bidang pers dengan memberikan ruang bagi organisasi-organisasi pers dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di bidang pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers yang independen.” 


Pada bagian penting pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim MK mengutip keterangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, bahwa ketentuan UU Pers memiliki makna bahwa fungsi Dewan Pers adalah sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator). 


Mahkamah mempertimbangkan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan kemerdekaan pers maka peraturan di bidang pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun dari Dewan Pers itu sendiri. 


Dengan adanya putusan MK tersebut, jika Perpres dipaksakan maka akan bertentangan dengan putusan MK. Karena pemerintah melakukan intervensi dengan membuat Peraturan Presiden sebagai regulasi buat pers. 


Presiden, Kementrian Kominfo, dan Dewan Pers harusnya menghormati putusan MK dan menjadikannya sebagai dasar pembentukan peraturan di bidang pers adalah swa regulasi atau hanya organisasi pers yang berhak menyusun peraturan pers. 


Dewan Pers saja tidak boleh membuat atau menentukan sendiri isi peraturan pers menurut UU Pers, namun Presiden justeru hendak membuat peraturan pers. 


Kondisi ini memang tidak mengejutkan. Sebab selama ini pers Indonesia seolah-olah hanya milik elit pers. Tak heran Dewan Pers sering menjadi sasaran kritik pergerakan kebebasan pers. 


Regulasi media yang akan dibuat lewat Perpres media berkelanjutan itu pada intinya akan mengatur penyaluran iklan dari Perusahaan Platform Digital ke perusahaan pers. 


Selama ini platform digital milik asing menyalurkan iklan ke perusahaan pers secara langsung tanpa perantara. Meskipun penghasilan media online dari bekerjasama dengan Platform Digital asing sangat minim, namun pembagiannya cukup merata di seluruh Indonesia. Atau ada ratusan ribu media online yang bergerak di bidang pers maupun non pers, yang menerima iklan dari platform digital asing.


Tak ada regulasi yang mengatur kerjasama tersebut. Penghasilan media tergantung dari kekuatan berita yang dipublish, apakah dibaca orang atau tidak. Sayangnya, penghasilan media yang sangat kecil dari paltform digital asing itu pun nantinya bakal dikuasai kelompok elit pers di Dewan Pers lewat pemberlakuan Perpres media berkelanjutan. 


Menyikapi kondisi ini, penulis menyarakan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, sebaiknya pemerintah membuat regulasi jangan tangung-tanggung. Gunakan saja dasar UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga tidak perlu menggunakan UU Pers. Selain itu sebaiknya pemerintah menggunakan UU Kamar Dagang dan Industri, sebagai tambahan dasar hukum Perpres. 


Sebagai masukan bagi pemerintah, monopoli belanja iklan nasional oleh perusahaan lembaga penyiaran atau TV nasional justeru harus dibuatkan regulasi agar tidak ada praktek monopoli. 


Di negara ini ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang mengatur tentang upaya mengembangkan iklim usaha yang sehat, meningkatkan pembinaan dunia usaha, mengembangkan dan mendorong pemerataan kesempatan yang seluasluasnya bagi masyarakat pengusaha untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.


Dari pada pemerintah sibuk mencampuri urusan pers yang sudah menutup ruang bagi pihak luar menyusun peraturan pers termasuk pemerintah, lebih baik pemerintah mengurus pemerataan belanja iklan nasional yang kini dimonopoli oleh segelintir orang dan perusahaan yang berdomisili di Jakarta. 


Karena berbicara pelarangan persaingan usaha tidak sehat maka pengusaha yang melanggar ketentuan itu yang harus diatur, dalam hal ini perusahaan Agency Periklanan dan pengusaha platform digital, baik lokal maupun asing. Lembaga yang paling tepat melakukan itu berdasarkan aturan perundang-undangan adalah Kamar Dagang dan Industri atau KADIN. 


KADIN diberikan kewenangan oleh UU Kadin, pada Pasal 7 huruf (f), untuk melakukan kegiatan : “penyelenggaraan upaya memelihara kerukunan di satu pihak serta upaya mencegah yang tidak sehat di pihak lain di antara pengusaha Indonesia, dan mewujudkan kerjsama yang serasi antara usaha negara, koperasi, dan usaha swasta serta menciptakan pemerataan kesempatan berusaha.” 

Kemudian pada huruf (g) : “penyelenggaraan dan peningkatan hubungan dan kerja sama antara pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri seiring dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan di bidang ekonomi sesuai dengan tujuan Pembangunan Nasional,”


Dengan demikian, urusan perdagangan, perindustrian, dan jasa, menurut perundang-undangan adalah kewenangan KADIN bukan Dewan Pers. Akan sangat rancu dan aneh jika Dewan Pers ‘kegenitan’ ingin diberi kewenangan mengatur urusan perdagangan, perindustrian, dan jasa yang jelas-jelas merupakan domain KADIN. 


Dewan Pers hanya diberi fungsi oleh UU Pers sesuai pasal 15 Ayat 2. Di luar pasal itu Dewan Pers harusnya tau diri dan tidak boleh bermimpi menjadi regulator. 


Presiden memiliki niat yang tulus untuk membuat regulasi agar terjadi pemerataan perolehan iklan bagi perusahaan pers di seluruh Indonesia. Jadi informasi tentang monopoli belanja iklan nasional oleh Televisi Nasional juga perlu diketahui Presiden. 


Jangan-jangan selama ini Presiden tidak terinformasi soal belanja iklan nasional hanya dimonopoli oleh segelintir pengusaha di Jakarta saja. Perputaran uang di bisnis ini kini mencapai lebih dari Rp.200 triliun pertahun namun tidak ada satu lembaga pun di negeri ini yang berani mengutak-atik. 


UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sejatinya harus diberlakukan terhadap distribusi belanja iklan yang hanya terpusat di Kota Jakarta saja. Padahal pada ketentuan umum UU ini menyebutkan : “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”


Disebutkan pula dalam ketentuan umum UU ini tentang : “Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”


Pada bagian yang sama disebutkan pula : “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”


Yang melanggar pasal tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ada sanksi pidana dan denda yang cukup besar. 


Untuk mengatasi atau menghidari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka Pemerintah telah membuat UU Kadin untuk memberi peran strategis kepada KADIN dalam  memastikan tidak ada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lingkungan pengusaha dan perusahaan di Indonesia. 


Oleh karena yang ingin diatur Presiden adalah kerjasama perusahaan platform digital asing dengan perusahaan pers maka sistem yang berlaku adalah bisnis to bisnis. Jadi bukan menyangkut karya jurnalistik yang menjadi domain Dewan Pers dan organisasi pers. 


Bagaimana mungkin Dewan Pers mau mengatur pengusaha media tentang  tata cara perusahaannya berbisnis dengan perusahaan asing. Fungsi pengaturan bisnis to bisnis tidak ada dalam fungsi Dewan Pers pada UU Pers. 


Jika Presiden sampai memakai draft Perpres yang disodorin Dewan Pers maka itu berpotensi mencoreng prestasi gilang-gemilang Jokowi selama dua periode pemerintahannya. Presiden Jokowi tidak boleh dijebak dan diperhadapkan dengan dilema untuk mengeksekusi Perpres versi Dewan Pers. Ini namanya Rancangan Peraturan Presiden atau Ranperpes bisa jadi jebakan batman bagi Presiden Jokowi. 


Mayoritas pers di seluruh Indonesia justeru menunggu langkah berani Presiden Jokowi membuat regulasi agar belanja iklan nasional tidak hanya dimonopoli oleh segelintir orang saja. Presiden harus mampu memberdayakan KADIN dalam masalah monopoli belanja iklan media agar dapat membantu pengusaha media lokal yang merupakan mayoritas masyarakat pers yang selama ini terabaikan dan termarjinalisasi. 


Karena banyak pemilik atau pengusaha media yang bukan berprofesi sebagai wartawan sehingga tidak pas jika dipaksa berbisnis dengan menggunakan UU Pers. Organisasi Perusahaan Pers yang menjadi bagian dalam UU Pers  hanya berlaku untuk memastikan Perusahaan Pers menghasilkan karya jurnalistik yang bertanggunjawab dan mematuhi kode etik jurnalistik. 


Ketika pengusahanya atau perusahaan itu bersentuhan dengan bisnis maka aturan perundangan yang berlaku tentunya menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, dan perlindungan usahanya menggunakan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. ***

Oleh : Andarizal / Novri


Semerbak harumnya aroma pesta demokrasi rakyat 2024 kian mewangi di seantero jagat, termasuk daerah Sumatera Barat, Calon legislatif sudah mulai setor wajah. Bahkan ada yang turun kelapangan bertatap langsung dengan warga. Beragam gaya dilakukan, dengan bagi Sembako (Sembilan Bahan Pokok). Selama ini mereka entah kemana, sekarang terlihat akrab dan hadir di masyarakat. 


Kalender dan pamflet telah menghiasi sudut kota hingga kampung. Wajah terpampang di kalender dan baliho yang terpoles habis, pria terlihat gagah, wanita juga cantik. Bahkan, bentuknya jauh dari asli. Bak, lirik sebuah lagu yang dirilis pada tahun 1994 salah satu singel milik Dewi Yull "Kau Bukan Dirimu Lagi". Para Caleg memasang poto visual editing dengan gaya melibatkan saran fotografer. 


Bahkan, para caleg di baliho itu layaknya seperti artis iklan papan atas, diambil dari sudut yang sangat menarik. Bisa dipastikan, tak satupun Caleg yang memasang poto standar. Seperti untuk KTP, SIM atau ijazah. Para Caleg mengapitalisasi sudut wajah terbaik mereka. Termasuk pencahayaan dan editing photoshop. Itupun disertai senyuman dan pencahayaan yang cemerlang.


Ironisnya, selama ini tak pernah pakai peci, poto dipasang pun bernuansa Islami. Lengkap berlatar belakang mesjid dan berselempang kain sorban di dada, layaknya seorang buya. Padahal, selama ini kesehariannya biasa-biasa saja. Luar biasa, nuansa Pileg merubah segalanya, jauh dari wajah dan karakter asli, politik identitas demi satu tujuan, yaitu menarik simpatik warga.


Selain pencitraan lewat baliho, bertandang ke kedai duduk-duduk bersama warga juga dilakukan. Tak pernah shalat berjemaah di mesjid atau mushalla, sekarang datang paling cepat dan mengisi barisan Shaf paling terdepan. Sebelumnya, jarang bertegur sapa, sekarang senyum menghiasi pipi setiap bersua warga.


Uniknya, setiap ada acara di kampung tak pernah datang, apalagi menyumbang. Kegiatan gotong royong tak pernah hadir, sekarang tampil terdepan. Bahkan, masuk dan keluar got ikut goro dilakukan demi simpatik, kalau selama ini "saku-saku diatribut pakaian terjahit", kini sudah mulai royal. Perubahan 360 derjat dari sebelumnya ini dilakukan demi tujuan Pileg 2024 nanti.


Begitu juga petahana, selama ini menemui warga menjemput aspirasi, sekarang mulai sering kelapangan. Selama ini, turun reses dibiayai negara mendatangi warga, kini hampir tiap hari. Pokir dan Bansos membantu warga, sekarang mulai menggunakan uang pribadi untuk bagi Sembako maupun sumbangan lainnya. Yang jelas, agenda sekali lima tahun jelang dapat suara.


Hal ini terjadi sekali lima tahun mengiring pesta demokrasi. Pesta selesai, kembali ke pribadi semula dan menjadi diri sendiri. Bagi yang terpilih menikmati pesta dan susah lagi untuk ditemui. Begitu juga yang tak terpilih menghilang entah kemana, bahkan enggan menyapa warga. Entahlah, mungkin ini dilema, ada ada saja yang terjadi pada pesta demokrasi. Tapi, warga sekarang sudah cerdas untuk menilai. Sembako diterima, serangan pajar dinikmati, duduk diwarung, minum teh telur, juga didapat. Urusan pilih memilih belakangan, dan untuk finalnya nanti dibilik suara.

Penulis :

Heintje Mandagie

Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia


Hari Pers Nasional 2023 memunculkan kontroversi di kalangan insan pers tanah air pasca Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengungkapkan kesedihannya terkait 60 persen belanja iklan diambil oleh media digital, terutama oleh platform-platform asing. Atas dasar itu, Presiden Jokowi menyebutkan kalau dunia pers saat ini tidak sedang baik-baik saja. 


Pernyataan Presiden Jokowi ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat pers. Sebab ada dua data berbeda yang bergulir di masyarakat. Di HPN 2023 di Medan, Sumatera Utara, (9/2)2023), Presiden Jokowi mengungkap ada 60 persen belanja iklan diambil media digital, terutama platform asing.


Pada sisi ini, masyarakat pers seolah terhentak dan heboh dengan data belanja iklan media yang diambil platform asing tersebut. Di sisi lain, ada data pembanding mengenai total belanja iklan di Indonesia yang dapat dijadikan rujukan yakni  berdasarkan hasil riset PT The Nielsen Company Indonesia, sebuah perusahaan riset pasar global yang berkantor pusat di New York City, Amerika Serikat.


Berdasarkan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2022 lalu, bukan media digital yang meraih iklan 60 persen dari total belanja iklan sebagaimana disebutkan Presiden Jokowi, melainkan peraih iklan terbesar adalah media Televisi Nasional.  


Dalam rilis laporan tahunannya, Nielsen menghitung gross rate belanja iklan untuk televisi, channel digital, media cetak dan radio mencapai Rp 259 triliun sepanjang tahun 2021. Dalam laporan itu, disebutkan media televisi masih menjadi saluran iklan pilihan perusahaan pengguna jasa periklanan atau pengiklan dengan jumlah belanja iklan 78,2%. 


Belanja iklan untuk media digital hanya pada kisaran 15,9%, kemudian media cetak 5,5%, dan radio 0,4% dari total belanja iklan tahun 2021 sebesar Rp.259 Triliun.


Pada penghujung tahun 2022, Nielsen Indonesia juga mencatat belanja iklan pada semester I saja sudah mencapai Rp 135 triliun atau naik tujuh persen dari periode yang sama tahun 2021 yakni sebesar Rp 127 triliun. 


Perolehan itu masih dikuasai oleh, lagi-lagi, media televisi yang mendominasi sebesar 79,7 persen. Penyaluran belanja iklan melalui Media digital hanya sebesar 15,2 persen, media cetak 4,8 persen dan radio hanya 0,3 persen dari total belanja iklan semester pertama tahun 2022 senilai Rp 135 triliun. 


Berdasarkan data tersebut, makin jelas terungkap bahwa Belanja Iklan itu justeru dikuasai oleh media TV Nasional bukan media digital atau platform asing. 


Kontroversi dua data yang berbeda ini tentunya membuka mata publik pers tanah air untuk melihat dan menyikapi persoalan kondisi pers di Indonesia yang tidak baik-baik saja. Jangan-jangan Presiden Jokowi tidak terinformasi secara menyeluruh terkait kondisi penyaluran belanja iklan nasional yang secara detail dan transparan saat pidato presiden disusun untuk peringatan HPN 2023 di Kota Medan, (9/2/2023). 


Pada kondisi ini, penulis setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa Pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Namun kondisi itu bukan karena belanja iklan yang dikuasai 60 persen platform asing. Melainkan monopoli belanja iklan yang justeru dikuasai media TV nasional nyaris 80 persen setiap tahun yang mencapai angka di atas 100 sampai 200 triliun rupiah sejak tahun 2010. 


Yang saat ini diributkan sesungguhnya adalah angka 15 persen dari total belanja iklan yang diperoleh media digital, atau sekitar Rp.38 triliun. Dari angka tersebut, 60 persen katanya diambil platform asing atau sekitar Rp.22,8 Triliun.  


Bagaimana dengan 78 persen belanja iklan nasional yang dikuasai oleh media TV nasional sebesar kurang lebih Rp.200 triliun. Smester I tahun 2022 saja perusahaan media TV meraup Rp 127 triliun. Semua tau bahwa pemilik perusahaan TV nasional hanya terdiri dari segelintir orang saja. 


Monopoli belanja iklan ini justeru tidak dipermasalahkan pemerintah. Padahal, penyaluran belanja iklan ke media TV terlalu besar dan jelas-jelas terjadi dugaan monopoli atau dugaan kartel yang berpotensi melanggar Undang-Undang anti monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat. 


Menariknya, Lembaga riset Nielsen Indonesia mengklaim telah melakukan monitoring terhadap 15 stasiun televisi, 161 media cetak, 104 radio, 200 situs dan 3 media sosial. Ini artinya, puluhan ribu media online dan ribuan media cetak lokal tidak masuk dalam hitungan riset nielsen Indonesia.

 

Jadi total belanja iklan yang mencapai Rp.200 triliun lebih itu hanya dinikmati oleh para konglomerat media di Jakarta yang berjumlah tidak lebih dari 10 jari manusia. 


Bagaimana dengan puluhan ribu media lokal, online dan cetak, yang mengais rejeki dari platform asing dari total Rp.22.8 Triliun. Tentunya setuju jika Pemerintah Pusat membuat regulasi agar dana belanja iklan sebesar itu bisa turut dinikmati oleh media lokal. 


Rancangan Peraturan Presiden atau Perpres pertama yakni Publisher right atau Perpres tentang kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers. Rancangan Kedua yakni Perpres tentang tanggung jawab perusahaan platform digital. Kedua rancangan Perpres itu saat ini tengah digodok pemerintah untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas. 


Bagi penulis, Presiden justeru perlu membuat Perpres yang mengatur kerjasama Agency Periklanan dengan Perusahaan Pers agar tidak terjadi monopoli penyaluran belanja iklan hanya kepada media mainstream atau media arus utama nasional, khususnya media TV. 


Meskipun pilihan penyaluran belanja iklan oleh pengiklan menggunakan media TV sebagai pilihan utama, namun perlu juga dibuat regulasi Perpres yang mengatur itu, agar tidak hanya media digital yang diatur. 


Rancangan Perpres tentang kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers dan rancangan Kedua yakni Perpres tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas perlu dibarengi dengan Perpres yang mengatur penyaluran belanja iklan nasional yang anti monopoli. 


Yang paling utama adalah bagaimana pemerintah membuat regulasi agar ada pemerataan penyaluran belanja iklan karena selama ini hanya terpusat di Kota Jakarta saja. Dari Rp.200 triliun lebih total belanja iklan nasional, nyaris 90 persen hanya dinikmati perusahaan yang berdomisili di Jakarta. 


Padahal, produk yang diiklankan atau dipromosikan, sasaran konsumennya adalah masyarakat lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Anehnya perputaran uang hasil penjualan barang dan jasa tersebut seluruhnya tersedot ke DKI Jakarta. 


Anggaran belanja iklan nasional mestinya kembali ke daerah dalam bentuk pemerataan penyaluran belanja iklan daerah melalui perusahaan distributor atau perwakilan di setiap provinsi. 


Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan media dan perusahaan reklame di seluruh Indonesia ketika belanja iklan itu terdistribusi ke seluruh daerah. 


Perhitungannya mungkin tidak sampai merata secara keseluruhan, namun minimal bisa terdistribusi sebagian persen belanja iklan nasional itu ke seluruh Indonesia. Karena yang berbelanja produk barang dan jasa yang diiklankan adalah warga masyarakat atau konsumen lokal. 


Perusahaan pers lokal yang selama ini hanya berharap dari kerjasama dengan pemerintah daerah melalui penyaluran anggaran publikasi media, bisa mendapatkan peluang untuk meraup belanja iklan komersil dari belanja iklan. 


Jika regulasi ini bisa dibuat pemerintah pusat secara merata baik untuk media digital maupun media TV, maka peran strategis media lokal sebagai alat sosial kontor akan benar-benar terpenuhi. Selama ini media-media lokal mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi sosial kontrol media terhadap kebijakan pemerintah daerah karena sudah terikat dengan kontrak kerjasama media dengan pemda. 


Dewan Pers sebagi lembaga independen yang memiliki akses untuk memberi saran dan masukan kepada pemerintah pusat terkait rencana penerbitan Perpres di maksud, seharusnya lebih proaktif dan peka terhadap persoalan monopoli belanja iklan nasional oleh konglomerat media. 


Yang dilakukan sekarang ini oleh dewan Pers terkesan hanya untuk melindungi atau memperjuangkan kepentingan konglomerasi media yang terusik dengan platform media asing yang mendapatkan belanja iklan terbesar dari prosentasi belanja iklan 15 persen di media digital. 


Semoga saja Perpres yang diperjuangkan Dewan Pers itu untuk kepentingan  media online lokal dan bukan untuk kepentingan media arus utama yang masih menyasar atau mengincar penghasilan dari belanja iklan media digital yang 15 persen tersebut. ***

Penulis: Sesmi Permatasari,S.Pd

Ketua Fatayat NU Padang Pariaman


KEKUASAAN itu memikat, ia menyilaukan. Sejak zaman dahulu, kekuasaan menjadi objek perebutan banyak orang; penghianatan, penghinaan, bahkan kekuasaan bisa menghancurkan persaudaraan, sahabat, teman, keluarga sekalipun, hingga pembunuhan sesama saudara di istana kerajaan lazim dan terjadi secara bergantian, hanya untuk sebuah kekuasaan; yang didalamnya ada harta dan semua kelezatan dunia.


Beribu cara orang menginginkannya (kekuasaan.red). Dengan Ambisi yang begitu hebat merasuki jiwa, merebut kekuasaan begitu menggiurkan. Apapun, bisa dihalalkan oleh seseorang untuk mendapatkan kekuasaan, yang diidamkannya.


Kini, kekuasaan-kekuasaan itu semua, telah menjadi sejarah kejayaan dimasanya. Hanya seperti itu saja!


Kekuasaan identik dengan kepemimpinan, maka etika kepemimpinan yang kurang strategis, akan berdampak kepada apa yang ia pimpinan. Jika kepemimpinannya kuat dan memiliki sumber daya yang cukup, maka ia akan berkuasa dengan baik, selama kekuasaan itu tidak ada yang berupaya menjatuhkannya dari dalam. Nah, musuh kekuasaan, bukan dari luar, tapi dari dalam wilayah kekuasaan itu sendiri.


Ada pula kekuasaan yang tidak berbasis kerajaan, tidak berbasis wilayah atau tidak profit (keuntungan finansial, harta dan kelezatan dunia belaka), yang juga ternyata menjadi perebutan banyak orang saat ini, yaitu; organisasi.


Sebab, berkuasa di organisasi, ternyata dapat menumbuhkan kembangkan nama besar dan marwah seseorang dilingkungan organisasinya, hingga lintas organisasi/ sektoral.


Bedanya di organisasi, kekuasaan tidak seperti raja di kerajaan, kepala daerah di pemerintahan, presiden/ raja disebuah negara; di organisasi dipimpin oleh seorang ketua organisasi, yang memiliki sistem kolektif kolegial; musyawarah dan mufakat dengan perangkat/ pengurus organisasi lainnya, tidak abosolut sebagaimana seorang raja atau penguasa daerah.


Seorang ketua di organisasi bukan atasan dan bukan pula bos, yang memiliki keputusan yang mutlak. Tapi, di organisasi sudah memiliki aturan bersama yang sudah tertuang di AD ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga) dan dengan aturan itu organisasi berjalan, serta estafet dari generasi ke generasi.


Namun, yang paling penting di organisasi sebenarnya adalah soal kepemimpinan dan kepemimpinan memiliki seninya sendiri. Moral memberikan batas yang jelas dalam baik buruknya sebuah kepemimpinan, ini dapat di jadikan pedoman dalam suatu kepemimpinan, dimanapun ornisasinya. Karena seorang pemimpin tidak harus di juluki sebagai atasan, ataupun ketua dalam suatu organisasi.


Tetapi kepemimpinan adalah dimana kita dapat mengalah dalam suatu masalah dan mencoba untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut; win solution.


Pemimpin bukan hanya untuk bergagah-gagahan. Dimana setiap kita ada pertemuan, lantas dipuji dan dielu-elukan. Pemimpin harus punya tanggung jawab yang besar, utamanya; beretika dan bermoral.


Kepemimpinan yang dipaksakan, hanya akan menimbulkan keburukan; buruk bagi dirinya sendiri dan juga orang lain.


Seharusnya, jika ingin Seharusnya, jika ingin berpotensi bangunlah aset pada diri sendiri/ SDM (Sumber Daya Manusia), yaitu dengan cara meningkatkan kapasitas diri, bangun kemanusiaan yang besar, agar memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan masa depan diri sendiri, lalu bermanfaat untuk banyak orang.

 

Ironinya, tidak seperti yang diharapkan, banyak pemuda hari ini tidak tahu dengan aturan, ia ternyata hanya memikirkan bagaimana keinginannya terwujud dan mendapatkan kekuasaan yang didamba-dambakannya, tanpa memandang moral dan asas kepatutan.

 

Seharusnya, pemuda senantiasa dibimbing dan dibina untuk aktif memerankan fungsinya yaitu sebagai penggerak pembangunan dan sekaligus motor pembaharu dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan tercipta tatanan yang dibangun dengan pendekatan kemandirian dan ditopang sepenuhnya oleh pemuda tersebut.

 

Karena, pemuda itulah sebenarnya estafet kepemimpinan di negeri ini, baik itu di organisasi, negara dan minimal kepemimpinan didalam keluarganya. Maka, pemuda yang bermoral dan produktif, sejatinya adalah harapan masa depan negeri ini.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.