-->

Latest Post

MPA, JAKARTA - Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers yang dilayangkan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dan Persatuan Pewarta Wartawan Indonesia (PPWI) beberapa waktu lalu, hari ini Rabu, 9 Mei 2018, resmi disidangkan pada pukul 14.00 WIB dari jadwal sebelumnya pukul 09.00 WIB pagi. Sidang yang dipimpin majelis hakim Abdul Kohar, SH, MH hanya berlangsung sekitar 10 menit saja karena pihak Dewan Pers selaku tergugat ttidak hadir tanpa alasan.



Kuasa hukum yang hadir mewakili penggugat, Dolfie Rompas dan Asterina Batubara secara resmi menyerahkan bukti surat kuasa penggugat atas nama Ketua Umum DPP SPRI, Hence Mandagi, dan Ketua Umum DPN PPWI, Wilson Lalengke. Ketua Majelis Hakim selanjutnya mengecek melalui staf pengadilan tentang apakah surat panggilan bersidang kepada Dewan Pers sudah diterima instansi tersebut, ternyata dipastikan suratnya sudah diterima oleh pihak Dewan Pers.

Majelis hakim kemudian menutup sidang dengan memutuskan bahwa sidang perdana ini dinyatakan sah, dan akan melayangkan panggilan kedua kepada Dewan Pers untuk hadir pada persidangan kedua nanti. Sidang berikutnya diputuskan akan digelar pada hari Senin, 21 Mei 2018 mendatang.

Usai persidangan, kepada sejumlah awak media, kuasa hukum penggugat Dolfie Rompas menjelaskan maksud gugatan tersebut dilayangkan adalah untuk meminta agar aturan Dewan Pers tentang Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus dicabut karena bertentangan dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan.

“Pelaksanaan UKW yang dilakukan Dewan Pers dengan menunjuk lembaga yang sangat tekhnis yaitu Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) hanya dengan Surat Keputusan Dewan Pers tanpa melalui mekanisme UU yang berlaku, tindakan ini bertentangan dengan pasal 18 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan. Lembaga yang berhak memberi lisensi terhadap LSP menurut UU adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi,” urai Dolfie Rompas.

Rompas juga menegaskan bahwa gugatan ini penting dilakukan agar pers Indonesia nantinya bebas dari upaya kriminalisasi. “Beberapa kebijakan Dewan Pers di lapangan telah menjadi pintu masuk adanya kriminalisasi terhadap para wartawan. Bahkan, pada beberapa kasus terlihat bahwa Dewan Pers secara sengaja mendorong kriminalisasi wartawan dengan memberikan rekomendasi agar warga pengadu melaporkan wartawan ke polisi,” imbuh Dolfie.

Sementara, Ketum DPP SPRI mengatakan, pihaknya melayangkan gugatan karena sekarang ini Dewan Pers sudah menjelma menjadi Departemen Penerangan jaman orde baru. Aturan kewajiban verifikasi terhadap perusahaan pers dan organisasi pers, menurut Mandagi, adalah tindakan yang tidak ubahnya seperti kewajiban Surat Ijin Usaha Penerbitan atau SIUP di era Departemen Penerangan sebagai syarat pendirian media, yang sekarang implementasinya berbentuk verifikasi media versi Dewan Pers.

“Kedua kebijakan Dewan Pers tersebut berpotensi mengancam wartawan yang belum ikut UKW dan media yang belum diverfikasi dapat dikriminalisasi," tegas Mandagi kepada awak media.

Terbukti, lanjut Mandagi, Dewan Pers pernah membuat rekomendasi kepada pengadu agar meneruskan perkara pers ke aparat kepolisian karena pertimbangannya bahwa wartawan yang membuat berita belum ikut UKW dan medianya belum diverifikasi. “Gugatan ini bertujuan untuk melindungi kebebasan pers agar wartawan tidak terkena jerat hukum dalam menjalankan tugas jurnalistiknya,” pungkasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum DPN PPWI Wilson Lalengke mengatakan, dirinya sudah menduga Dewan Pers tidak akan hadir pada sidang hari ini. “Saya yakin Dewan Pers sadar akan kesalahan yang dibuatnya. Seharusnya dia mengakui kesalahannya dan membatalkan sendiri kebijakan yang salah kaprah itu. Ini lebih baik daripada nanti pengadilan yang menggugurkan kebijakan-kebijakan Dewan Pers yang bukan merupakan kewenangannya,” ujar jebolan Lemhanas ini kepada awak media.
L
Lalengkejuga menghimbau kepada Dewan Pers agar tidak mangkir pada panggilan sidang kedua mendatang. “Seharusnya Dewan Pers memberi contoh yang baik dengan menghadiri sidang,” tegasnya lagi. (Sumber kopi).


Menko Polhukam Wiranto, bersama Kepala BIN Jenderal Pol Budi Gunawan, dan Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahyanto, saat konferensi pers terkait kerusuhan dan penyanderaan di Mako Brimob. Foto/Istimewa/Dok

MPA, DEPOK - Menko Polhukam Wiranto mengatakan, sesuai Standar Prosedur Operasional (SOP) yang berlaku secara universal, aparat keamanan telah
memberikan ultimatum kepada para teroris untuk menyerah atau menghadapi risiko serbuan dengan batasan waktu tertentu.

"Pada kamis tanggal 10 Mei 2018 sebelum fajar mereka menyatakan menyerah tanpa syarat, satu persatu keluar dari posisi mereka menyerahkan diri kepada petugas dengan tanpa senjata sebanyak 145 orang," ungkap Wiranto saat jumpa pers di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, seperti dilansir Sindonews pada Kamis (10/5/2018).

Selanjutnya kata Wiranto, bagi sisa teroris yang tidak menyerah dilakukan serbuan oleh aparat keamanan di lokasi bertahan mereka, dalam kontak tembak yang berlangsung singkat 10 orang teroris menyerah dan dipindahkan ke Nusakambangan.

Dalam hal ini, Wiranto mengaku berterima kasih kepada seluruh mayarakat yang telah memberikan dukungan dan doa kepada pemerintah dan aparat keamanan sehingga mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan tenang, tanpa emosional dan tetap berlandaskan hukum yang berlaku.

Dia juga meminta seluruh masyarakat mendoakan arwah para petugas yang meninggal sebagai syuhada dalam menjalankan tugas negara. "Melanjutkan kebersamaan dan tekad kita untuk melawan aksi Terorisme dan Radikalisme yang masih ada dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia," pungkasnya.

Wiranto mengatakan, pelaku kerusuhan adalah terorisme dałam tahanan yang seharusnya sadar akan perbuatannya, justru melakukan kekejaman dengan merampas senjata, menyandera, menyiksa bahkan membunuh petugas dengan cara-cara keji melampaui batas-batas kemanusiaan.

"Sesuai dengan sikap pemerintah Indonesia yang telah berkali-kali disampaikan oleh Presiden Jokowi, bahwa dałam menghadapi terorisme selalu bersikap tegas tidak pandang bulu," ujar Wiranto.

Menurut Wiranto, melalui rapat koordinasi dari seluruh pemangku kepentingan, telah direncanakan serbuan untuk melucuti dan melumpuhkan para teroris yang telah diisolasi pada Å‚okasi tertentu.
(maf/ar)



Foto/SINDOnews/Dok


MPA, JAKARTA - Lima personel Polri yang gugur dalam kericuhan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, menderita luka senjata api dan tajam. Ini diketahui berdasarkan hasil autopsi tim forensik RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.  

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol M Iqbal mengatakan, berdasarkan hasil autopsi pada lima anggota Polri yang meninggal, semuanya rata-rata mengalami luka karena senjata.

"Dari lima rekan kami yang gugur ini, mayoritasnya terdapat luka di sekujur tubuh terkena senjata tajam di leher. Ada yang luka di kepala akibat tembakan, dada kanan. Luka mulai dari paha, lengan, dan jari," kata Iqbal pada wartawan, seperti dilansir SindoNews pada Rabu (9/5/2018).

Dia pun menyerahkan pada masyarakat untuk menyimpulkan tindakan para narapidana teroris itu merupakan perbuatan manusiawi atau tidak. Terkait hasil autopsi lebih lanjut nantinya bakal diterangkan secara rinci oleh tim dokter Labfor dari RS Polri.

Iqbal melanjutkan, terkait proses, saat ini masih terus dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan yang sesuai SOP. Seperti diketahui, terjadi kericuhan di Rutan Mako Brimob, Depok, antara narapidana teroris dengan anggota Brimob. Akibat kejadian itu, lima anggota Brimob gugur, sedang satu anggota Brimob saat ini disandera para narapidana.
(whb/ar)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.