-->

Latest Post


MPA,SUMBAR -- Rencana yang bergulir sejak beberapa bulan lalu, yakni akan didirikannya Politeknik Pertambangan di Sawahlunto, nampaknya akan terwujud dalam waktu dekat. Keberadaan Politeknik Tambang itu sudah dalam tahapan menunggu verifikasi dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

"Sesuai janji saya ketika berkunjung ke Balai Diklat Tambang Bawah Tanah (BDTBT) Sungai Durian Sawahlunto dulu, di sana akan kita bangun Politeknik Pertambangan. Itu jadi, sedang berproses. Laporan terkini yang saya terima sekarang itu dalam tahapan verifikasi dari Kemenristekdikti," sebut Wakil Menteri ESDM, Archandra Tahar, Minggu (24/2/2019) di Sawahlunto, seusai meresmikan penggunaan bantuan lampu penerangan jalan umum tenaga surya.

Keterangan itu disampaikan Archandra menjawab Walikota Sawahlunto, Deri Asta, yang dalam sambutannya sempat bertanya tindak lanjut dari Kementerian ESDM terkait Politeknik Tambang di 'Kota Arang'.

Ditanya akan memakan waktu berapa lama lagi tahapan verifikasi tersebut, Archandra mengatakan bahwa tentu diusahakan secepatnya.

"Mohon bersabar dulu, kita ikuti alur prosesnya. Pastinya kita juga ingin selesai dengan cepat. Yang pasti kan kepastiannya sudah ada, tinggal tahapannya mungkin ada beberapa lagi," ungkap Archandra.

Walikota Deri Asta menyebut, pembangunan Politeknik Tambang di Sawahlunto sangat potensial, sebab didukung dengan kecocokan dan keunggulan - keunggulan pertambangan batubara di 'Kota Arang' itu.

"Kita ini kota tambang sejak kolonial Belanda. Nilai batubara kita sangat bagus kalorinya dibandingkan batubara dari daerah lain. Fasilitas sarana prasarana pertambangan juga terbilang lengkap di sini, punya kekayaan sejarah juga," papar Deri menyampaikan sejumlah potensi tambang Sawahlunto untuk pendirian kampus tambang itu.

Pun, keberadaan Universitas (dalam hal ini politeknik) akan memberikan pula dampak positif pada perkembangan ekonomi dan aspek lainnya bagi masyarakat.

"Ini manfaat bagi kedua belah pihak. Bagi mahasiswa, lokasi pertambangan di Sawahlunto tentu bahan belajar, bahan penelitian yang lengkap dan menarik. Sementara bagi masyarakat, tentu akan memperoleh dampak ekonomi dari belanja mahasiswa, penginapan (kost) dan lainnya," ujar Deri.

(rel/ar/ede)


MPA,JAKARTA - Sejumlah warga masyarakat adat dari Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, mendatangi Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jl. Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin, 25 Februari 2019. Rombongan masyarakat adat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Adat Sarmi, Johan Yaas, bersama Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sarmi, Zakarias J. Sakweray. Turut mendampingi juga, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Yakonias Wabrar.

Dalam keterangannya, ketua rombongan mengatakan bahwa tujuan mereka mendatangi KPU Pusat adalah untuk mengadukan dan meminta kebijakan KPU Pusat atas hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi yang dinilai oleh masyarakat Sarmi sangat jauh dari harapan. "Kami mewakili seluruh masyarakat Sarmi menolak hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi periode 2018-2023. Oleh karena itu, kami meminta agar KPU Pusat mengambil kebijakan menganulir hasil pemilihan tersebut hingga dilakukannya proses pemilihan komisioner yang baru," ujar Johan Yaas yang juga adalah Sautemto (kepala suku) Sobey, salah satu suku di Sarmi.

Salah satu alasan utama penolakan masyarakat adat Sarmi, lanjut Johan Yaas, bahwa para komisioner terpilih itu 90 persennya bukan masyarakat asli Sarmi, plus tidak adanya keterwakilan perempuan. "Hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi sangat tidak berpihak kepada rakyat yang ada di Sarmi. Bahkan 70 persen dari yang dipilih panelis itu tidak berdomisili di Sarmi. 90 persennya bukan orang asli Sarmi. Mereka pencari jabatan dari daerah lain dengan memanfaatkan koneksi di KPUD Provinsi saja," imbuh Johan Yaas yang adalah purnawirawan TNI-AD dari Satuan Komando ini.

Sementara itu, Zakarias J Sakweray mengungkapkan kesedihan hatinya melihat hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi yang dinilainya mencederai eksistensi masyarakat adatnya. "Saya amat keberatan dengan hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi itu, terutama karena tidak ada keterwakilan perempuan Sarmi. Para wanita Sarmi adalah sumber generasi muda masyarakat adat, yang oleh karena itu harus dihargai dan dihormati. Mereka harus mendapatkan tempat di semua bidang dan lembaga di wilayah adatnya, tidak boleh diabaikan," tegas Zakarias.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Majelis Rakyat Papua, Yakonias Wabrar menyampaikan bahwa dirinya sangat mendukung adanya protes yang dilakukan masyarakat Sarmi terhadap hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi. "Saya sebagai Anggota MRP sangat mendukung adanya penolakan masyarakat Sarmi atas hasil pemilihan komisioner KPUD Sarmi, kita hadir di KPU Pusat hari ini untuk mendesak agar KPU Pusat memperhatikan sungguh-sungguh masalah ini dan mengambil kebijakan yang sesuai harapan masyarakat," jelas Yakonias yang juga menjabat sebagai Otate (kepala suku) masyarakat adat Isyirawa dan Armati, dua suku besar di Sarmi.

Bahkan, kata Yakonias, dirinya mempertaruhkan jabatannya sebagai Anggota MRP untuk perjuangan masyarakat adat Sarmi ini. "Saya diutus oleh seluruh masyarakat adat di Sarmi untuk menjadi Anggota MRP, yang dimaksudkan agar saya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat Sarmi. Jadi, saya tegaskan bahwa pemerintah harus mendengarkan dan memenuhi keinginan masyarakat, bukan kepentingan pihak lain," pungkas Yakonias.

Saat berita ini diturunkan, team perwakilan masyarakat adat Sarmi masih menunggu respon dari KPU Pusat. (APL/Red)



Oleh Wilson Lalengke

MPA.JAKARTA    Di masyarakat yang sudah maju, ketakutan terhadap pers dan media massa adalah sesuatu yang jadi bahan tertawaan. Justru sebaliknya, masyarakat di sana memandang pers dan publikasi adalah hal mutlak yang harus diberdayakan, dimanfaatkan dan disahabati oleh setiap orang yang ingin berhasil dalam hidupnya, di bidang apapun. Bahkan, warga masyarakat di seberang sana meyakini bahwa pers dan publikasi merupakan penentu nasib setiap orang. Oleh karena itu, pers dan media massa menjadi barang fungsional yang amat penting untuk dilakoni setiap orang secara bebas tanpa hambatan apapun dari pihak manapun, termasuk hambatan dari negara.

Di Indonesia, pers masih merupakan momok mengerikan bagi sebagian warga masyarakat. Terlebih lagi bagi para pejabat, aparat, dan pengemban kekuasaan negara. Apalagi terhadap pers yang independen dan merdeka, akan ditentang sekuat-kuatnya dengan berbagai alibi dan alasan, yang umumnya terkesan absurd. Masing-masing pasti punya alasan tertentu atas sikapnya menjauhi pers dan media massa. Namun, secara umum dapat disimpulkan bahwa ketakutan dan kekuatiran terhadap pers dan publikasi, khususnya bagi para pejabat dan sebangsanya, bersumber dari kesadaran diri atas “beban moral” yang disandangnya sejalan dengan amanah publik yang diembannya. Penyakit tidak jujur adalah salah satu sumber utama yang memicu ketakuatan seseorang saat berhadapan dengan media massa.

Parahnya, sidrom ketakutan itu juga diidap oleh oknum-oknum pejabat dewan pers, yang diberi amanah untuk mengembangkan kemerdekaan pers di negeri ini. Mereka akhirnya tidak lebih dari sekelompok anjing penjaga bagi para oknum tertentu yang merasa terganggu oleh kontrol masyarakat pers. Berbagai kasus pemenjaraan wartawan yang berawal dari delik pemberitaan di media massa di berbagai daerah di tanah air adalah bukti kongkrit atas kebiadaban oknum tertentu, yang diback-up oleh dewan pers, terhadap kemerdekaan pers.

Menyikapi “keterbelakangan mental” para oknum tertentu terhadap pers, media massa, dan publikasi yang bebas-merdeka, perlu kiranya dilakukan upaya yang terus-menerus dari para pekerja pers dan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat, terutama para pemangku kekuasaan tentang sistim kerja pers dan cara “menjinakkan” mahluk yang menakutkan ini. Salah satunya adalah dengan membumikan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang terkait dengan pers itu sendiri. Semua elemen rakyat, dari level teratas hingga ke kelompok rakyat jelata perlu mengerti, memahami, dan sedapat mungkin mengimplementasikan UU dan peraturan pers dalam kehidupan sehari-hari.

Saat ini, yang menjadi acuan dasar bagi perjuangan mewujudkan kemerdekaan pers di Indonesia adalah Pasal 28, Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UU NRI), plus seluruh penjabarannya dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pondasi dasar yang tertuang dalam konstitusi negara dan UU Pers itulah yang semestinya dipahamkan kepada semua orang, tidak hanya kepada masyarakat pekerja pers. Dengan demikian, setiap warga bisa mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku kesehariannya, terutama bagi mereka yang hidupnya dibiayai negara, agar terhindar dari terkaman pers yang menakutkan itu.

Untuk menghindari pembahasan panjang atas pasal demi pasal UU Pers, kita coba belajar memahami pers dan publikasi, dari perspektif UU, dengan menelisik penjelasan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada bagian UMUM sebagaimana dituliskan lengkap berikut ini.

Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.

Kontrol masyarakat dimaksud antara lain: oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.

Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari penjelasan UU Pers pada bagian UMUM di atas, dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut:
1. Landasan utama UU Pers adalah Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Repulbik Indonesia, sebelum amandemen, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” (UU Pers lahir pada tahun 1999).

2. Walaupun landasan utama UU Pers hanyalah pasal 28 UUD NRI, namun karena UU Pers itu ditegaskan berorientasi untuk mewujudkan kehendak empat buah pasal Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (yang lahir pada tahun 1998) dan Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (yang lahir tahun 19948), maka jiwa dan semangat UU Pers sangat sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD NRI (yang lahir pada 18 Agustus 2000). Di bawah ini adalah bunyi pasal-pasal yang terkait dengan kemerdekaan pers sebagai berikut:

Pasal 14 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.”
Pasal 19 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 20 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
Pasal 21 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (Piagam HAM PBB): “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”

Pasal 28E ayat (3) UUD NRI: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 28F UUD NRI: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

3. Selain wujud implementasi kedaulatan rakyat dalam bentuk pemilihan umum dengan berbagai level dan variannya, kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, kedua wujud implementasi kedaulatan rakyat tersebut harus seiring-sejalan, dimana jaminan atas kemerdekaan pers akan menjadi penentu kualitas pemilihan umum. Kontrol sosial yang ketat terhadap setiap tahapan proses pemilihan umum oleh masyarakat pers menjadi pertaruhan yang amat menentukan keberhasilan mewujudkan pemilihan umum yang baik di suatu negara demokrasi seperti Indonesia.

4. Keberadaan pers yang merdeka sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Ini menjadi pesan amat penting bagi setiap orang yang diberi amanah memegang kekuasaan, di semua level dan jenis kekuasaan, bahwa mereka tidak diberi hak oleh negara untuk mengkerdilkan pers, semisal melalui perilaku menghambat kerja-kerja pers melalui penyiksaan, mengancam, jebak-menjebak pers, menyuap, dan kriminalisasi masyarakat pers. Para pemangku kepentingan kekuasaan negara telah diberikan fasilitas hidup oleh negara sebagai konsekwensi beban amanah yang diberikan rakyat, yang oleh karena itu mereka wajib menghormati dan tunduk-taat kepada sistim kontrol masyarakat pers yang independen, bebas, dan merdeka.

5. Masyarakat pekerja pers, baik profesional maupun non-profesional (pewarta warga), wajib melakukan kerja-kerja jurnalisme – yakni mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan informasi – secara profesional, berkualitas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalisme. Pengertian ‘secara profesional’ di sini adalah bahwa setiap orang yang melakukan fungsi jurnalistik harus memiliki kemampuan jurnalistik yang mumpuni, memahami sistim publikasi yang baik dan benar, dan memegang teguh kaidah-kaidah yang berlaku di dunia jurnalisme, yang kesemuanya itu ditujukan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas (terlepas dari apakah yang bersangkutan mendapatkan imbalan materi atau tidak sama sekali). Produk pers harus dihasilkan melalui proses jurnalisme yang serius, tidak asal-asalan, dan bertanggung jawab.

6. Dalam menjalankan tugasnya, pers wajib dapat dikontrol oleh publik. Fungsi kontrol itu tidak hanya dilakukan oleh orang, kelompok, dan/atau lingkungan yang menjadi obyek pemberitaan, namun juga oleh sesiapapun juga warga/komunitas pemerhati pers dan media massa, serta tokoh/individu. Dalam konteks ini sesungguhnya keberadaan dewan pers dan lembaga-lembaga pemantau pers serta individu (pakar/praktisi) menemukan posisi strategisnya di dunia pers. Oleh sebab itu, perlu didorong lahirnya lembaga-lembaga semacam dewan pers independen dan institusi pemantau media (media watch), baik skala nasional maupun lokal.

Pada akhirnya, pelibatan secara aktif masyarakat banyak terhadap dunia pers sangat diperlukan. Kepedulian, perhatian, dan peran serta setiap warga dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain melakukan kerja-kerja jurnalistik secara fungsional (tanpa harus meninggalkan pekerjaan/profesi utama), memantau perkembangan pers hingga ke tataran teknis proses pembuatan produk pers, mengawasi perilaku para pekerja pers, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari pada itu, masyarakat juga dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan peningkatan sumber daya manusia pers, serta menjembantani penyelesaian sengketa pers yang terjadi di masyarakat. Hanya dengan demikian kita mampu mewujudkan pers yang merdeka dan bertanggung-jawab di negeri ini. (*)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.