-->

Latest Post



Oleh: Wilson Lalengke

MPA,JAKARTA - Penangkapan Robertus Robet, yang lebih tepat disebut sebagai aksi penculikan sang dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), oleh segerombolan polisi baru-baru ini akibat menyampaikan orasi yang diduga berisi pernyataan penghinaan kepada institusi TNI merupakan salah satu puncak dari fenomena gunung es penghianatan terhadap eksistensi kemanusiaan warga manusia di negeri ini. Bagaimana tidak, pengambilan paksa aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah malam buta itu ibarat sebuah penyerbuan terhadap seorang terduga teroris yang amat membahayakan. Kondisi tersebut menunjukkan adanya keadaan traumatik akut di bangsa ini terhadap masa lalu, yang berakibat kegalauan menghadapi masa depan. Sayangnya, sikap pemerintah dalam menyikapi keadaan ketakutan itu adalah dengan mengekang dan menindas kebebasan berpikir dan berbicara warga negaranya.

Sebelumnya, ratusan warga lainnya juga mendapat perlakuan yang sebangun walau tidak persis sama. Rocky Gerung harus berkali-kali menghadap penyidik karena ocehan 'akal sehat' yang dinilai berisi ujaran kebencian, fitnah, dan penyesatan publik. Ahmad Dani, Gus Nur, Syafi'i Ma'arif, Abu Janda, Deni Siregar, Buni Yani hingga Basuki Tjahaja Purnama adalah beberapa tokoh yang dipaksa menghadapi ancaman hukum karena ucapan dan pernyataan mereka di depan publik. Di kalangan wartawan dan masyarakat umum, begitu banyak mereka susul-menyusul keluar-masuk jeruji hanya karena tulisan dan opini mereka yang dianggap menghina, mencemarkan nama baik, dan sejenisnya.

Bersyukur, Robertus Robet akhirnya dilepaskan sebagai dampak dari tekanan publik yang begitu luas terhadap aparat kepolisian untuk tidak berlaku represif terhadap warga masyarakat yang menyampaikan pendapat dan aspirasinya di depan umum. Namun, aparat kelihatannya kurang kerja, sehingga proyek berikutnya adalah memburu penyebar video yang berisi rekaman orasi sang orator Kamisan Robertus Robet itu. Sesuatu yang tentu saja menjadi ancaman bagi dunia jurnalisme di tanah air.

Dari perspektif kajian filsafat, proses berpikir dan mengkomunikasikan hasil pikiran merupakan kodrat manusiawi seseorang. Peradaban hanya dimungkinkan muncul, hidup dan berkembang, karena aranya usaha berpikir manusia. Tanpa adanya pikiran dan hasil-hasil berpikir manusia, mustahil ada peradaban di atas dunia ini.

Peradaban bisa berkembang dan maju, hingga mencapai tingkat peradaban moderen saat ini, hanya mungkin dicapai melalui upaya berpikir manusia yang bebas dan kreatif, yang cenderung liar. Berpikir out of the box atau berpikir di luar jalur kebiasaan umum seringkali menghasilkan penemuan dan inovasi di berbagai bidang, yang ketika diimplementasikan dalam kehidupan, hasilnya mempermudah kegiatan manusia. Tidak heran, jika kita melihat bahwa negara yang membiarkan, bahkan menjaga kebebasan berpikir setiap warga negaranya, selalu melaju maju dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya, negara yang menghambat dan melarang warganya untuk bebas berpikir, selamanya akan terkebelakang, untuk selanjutnya hanya menjadi obyek jajahan ~ fisik dan ekonomi ~ bangsa lain.

Otak dianugerahkan Pencipta kepada manusia agar digunakan untuk berpikir. Sejatinya, setiap organ di tubuh manusia itu harus digunakan dalam keseharian selama hidupnya. Secara alami, organ tubuh yang jarang digunakan atau digerakkan, lambat-laun akan menyusut, bahkan mati. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk selalu menggunakan dan/atau menggerakkan segenap anggota badannya.
Demikian halnya otak manusia, ia harus digunakan untuk berpikir dan berpikir, sepanjang hidupnya. Area jangkauan pikir manusia sesungguhnya tidak terbatas, seluas semesta itu sendiri. Bahkan, pada fase-fase tertentu, daya jangkau pikiran manusia dapat menembus areal di luar alam makro kosmos yang tanpa batas ruang dan waktu. Para nabi dipercaya merupakan sekelompok kecil manusia yang masuk kategori ini.

Otak yang dibiarkan berpikir bebas akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan cerdas. Otak yang demikian inilah yang kemudian dapat berimajinasi secara kreatif untuk kemudian tiba pada konstruksi hasil berpikir yang spektakuler, di luar dugaan, dan ajaib. Kemajuan teknologi yang demikian pesat di abad-abad terakhir ini merupakan hasil berpikir bebas manusia di negara-negara maju yang menjamin kebebasan berpikir warganya.

Penemuan-penemuan fantastis dalam bidang teknologi, misalnya, semuanya dihasilkan oleh orang-orang yang diberikan keleluasaan berpikir, sebebas-bebasnya. Bahkan, kebebasan berpikir mereka itu tidak hanya dijamin dan dijaga, tetapi lebih daripada itu diberikan fasilitas finansial, peralatan, dan dukungan teknis lainnya oleh negara. Hanya dengan demikian, inovasi-inovasi baru sebagai hasil olah pikir di berbagai bidang dapat dihasilkan.

Sementara itu, di negara yang memberlakukan pembatasan berpikir bagi warganya, dengan berbagai alibi dan alasan, hampir dipastikan peradaban bangsa ini tidak dapat bertumbuh, apalagi berkembang maju. Karena larangan berpikir itu, menyebabkan otaknya lambat-laun membeku, mengecil, dan akhirnya tidak lebih dari organ tubuh biasa yang tidak berfungsi semestinya. Jadilah warga negeri itu menjadi bangsa idiot.

Habibi tentunya sangat beruntung. Ia boleh menggunakan otaknya untuk berpikir sebebas mungkin, dan menghasilkan berpuluh-puluh penemuan yang dipatenkan, dan menjadi kebanggaan Indonesia. Namun, semua itu hanya dapat dia raih karena berkesempatan belajar dan bermukim di Jerman, salah satu negara yang menjamin kebebasan berpikir setiap manusia di wilayahnya. Jika Habibi tidak seberuntung itu, ia hanya akan jadi orang Indonesia kebanyakan yang jadi konsumen hasil kerja kebebasan berpikir bangsa lain belaka. (*)



Photo : Deputi III Kemenko Polhukam Yulizar Gaffar, Kuasa Hukum A. Gafar Rehalat dan wakil masyarakat 4 Desa di ruang pertemuan di Kemenko Polhukam pada hari Selasa, 5/2/2019.

MPA,JAKARTA - Terkait lahan yang dicaplok perusahaan, Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan melakukan pengaduan ke Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta Pusat pada hari Selasa 5/2/2019. Warga yang terhimpun dalam Forum FMGB mewakili masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban Lama, Desa Trimartani di Kecamatan Sungai Loban dan Desa Hati’if Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan mengadukan eks Perusahaan Pengusahaan Hutan milik Probosutejo yang sekarang menjadi PT. Hutan Rindang Banua (HRB) milik Sinarmas Group, United Fiber System Singapura dan PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB) karena lahan pertanian dan perkebunan masyarakat setempat dicaplok perusahaan tersebut. Luasan lahan yang diklaim telah diserobot pihak perusahaan secara rinci adalah: lahan Desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, Desa Sebamban Lama leluas 926 Ha, Desa Trimartani Seluas 40 Ha dan Desa Hati’if seluas 741 Ha.

Kuasa hukum Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) Abdul Gafar Rehalat mengatakan bahwa pertemuan dengan Kemenko Polhukam bertujuan untuk mengajukan permohonon perlindungan hukum atas berlakunya putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011 tanggal 12/2/2012. "Terkait dengan sengketa lahan tersebut maka kami menggunakan dasar hukum dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12/2/2012, maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lagi mengikat (tidak mempunyai dasar hukum) dan salah satu point putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam menentukan Pengukuhan Kawasan Hutan juga harus memperhatikan tata ruang wilayah, antara lain  memperhatikan kemungkinan adanya hak- hak perorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan  kerugian pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut," jelas Gafar kepada media seusai pertemuan dengan pihak Kemenko Polhukam.

"Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksananya Pasal 24 jo Pasal 76  PP No. 24 tahun 1997 tentang Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah juga sebagai dasar hukum klien kami," lanjut Gafar.

Abdul Gafar Rehalat juga menjelaskan kronologis disertai dengan dasar dan alasan-alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam rujukan dasar hukum, antara lain surat pernyataan kronologis tanah-tanah tersebut, jauh sebelum Menteri Kehutanan menunjuk lahan tersebut masuk ke dalam kawasan Hutan Taman Industri pada tahun 1990-an diberikan konsensinya kepada PT. Menara Hutan Buana (PT. MHB) yang dimiliki Probosoetedjo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar di tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. "Perusahaan ini direncanakan menggarap kayu Akasia sebagai bahan baku industri bubur kertas dan pulp, yang semula bekerjasama dengan Inhutani, namun belakangan Probosutejo mengambil alih 40 % saham Inhutani dan menguasai 100% saham PT. MHB. Selanjutnya, PT. MHB dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2002 yang berujung perkara di PTUN yang akhirnya dimenangkan oleh pihak PT. MHB. Berdasarkan Surat Keputusan  Menteri Kehutanan tahun 1998, perusahaan PT. MHB  memperoleh izin HTI selama 43 tahun. Menangnya perkara di PTUN melawan Menteri Kehutanan pada tahun 2004, memuluskan Probosutejo untuk menjual (MHB) konsensi HTI nya itu kepada perusahaan asing yang sahamnya listing di Bursa Singapore bernama United  Fiber System (UFS) konsorsium 8 negara  yang memiliki usaha operasi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia, meliputi  PT. Hutan Rindang Banua (PT.HRB), PT. Mangium Anugrah Lestari (PT. MAL), dan PT. Marga Buana Bumi Mulia  (PT. MBBM). Kemudian SK Menhut tersebut diadakan perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 tentang Balik Nama Pengusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan kewajibannya dari PT. Menara Hutan Buana (MHB) kepada PT. Hutan Rindang Buana (HRB), anak perusahaan dari UFS," jelas Gafar sambil menunjukkan beberapa dokumen pendukung yang dimiliki.

Selanjutnya, Abdul Gafar Rehalat juga menuturkan bahwa di lahan yang sama PT. Borneo Indo Bara (BIB) yang dimiliki oleh PT. Golden Energy Mines (GEMS), anak perusahaan dari PT. Dian Swastika Sentosa (DSSA), untuk dapat mengeksploitasi batubara (sebagian) di atas bekas lahan-lahan perkebunan dan ladang warga masyarakat ke-4 desa tersebut, melakukan tukar guling sahamnya masing-masing dengan Unitied Fiber System (UFS). "Kedua perusahaan tersebut, terkait dengan tanah, hanya mengandalkan SK Menhut 'Produk Rezim Orde Baru', sedang pengaturan tanah dasar hukumnya harus berdasarkan UUPA. Mereka tidak memiliki hak atas tanah berdasar UUPA, semisal HGU atau Hak Pakai atas tanahnya. Itulah dungunya mereka dan arogansi 'Rezim Kehutanan' dengan istilah 'penunjukan kawasan'," papar Gafar.

Bahwa lahan bekas tanah perkebunan, sambung Gafar, milik masyarakat Desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, Desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, Desa Trimartani Seluas 40 Ha, Desa Hati’if seluas 741 Ha tersebut, sejak tahun 2012 sampai dengan saat ini telah diekspolitasi untuk usaha penambangan batubara. "Berkali-kali warga masyarakat menyampaikan keberatan dan menuntut adanya ganti-rugi atas lahan atau tanah tersebut, baik dari PT. Menara Hutan Buana maupun PT. Hutan Rindang Banua dan/atau PT. Borneo Indo Bara dengan sisten sewa lahan atau fee lahan," ujar Gafar.

Sementara itu, kata Gafar lagi, fakta hukumnya tanah-tanah perkebunan warga masyarakat tersebut saat ini secara melawan hak/hukum oleh PT. Borneo Indo Bara telah digunakan kegiatan penambangan batubara. "Alasannya bahwa areal lahan dimaksud adalah merupakan kawasan hutan tanaman industri milik PT. Kirana Khatulistiwa / PT. Hutan Rindang Banua (HRB)," tambah Gafar dengan mimik heran.

Saat ini warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban Lama, Desa Trimartani, Desa Hati’if menuntut kepada Menteri Kehutanan dan khususnya kepada PT. HRB dan PT. BIB (GEMS & UFS) melalui Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, agar tanah-tanah perkebunan miliknya dahulu itu dikembalikan dan keluarkan dari kawasan hutan menjadi tanah milik setiap warga sesuai dengan SKT-nya masing-masing pemilik. Surat pengaduan dilengkapi dokumen keabsahan kepemilikan lahan (SKT - red) telah disampaikan kepada Menko Polhukam.

Adapun isi surat yang disampaikan kepada Kemenko Polhukam, tutur Gafar, berisi antara lain:

 I.  Melepaskan tanah-tanah klien kami sesuai dengan bidang peta dalam SKT tersebut di atas (Tanah Perkebunan Rakyat) dari Penunjukan Kawasan Hutan dan SK Menhut Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar juncto Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 yang merupakan produk Kroni Orde Baru tersebut yang merugikan masyarakat pemilik lahan kebun untuk selanjutnya dimasukan dalam Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA) untuk menjadi hak milik warga masyarakat sebagaimana disebutkan luasan dan lokasi berdasarkan bidang peta tanah masing-masing dalam surat keterangan perkebunan di atas.

II. Selama lahan-lahan milik klien kami tersebut terus digunakan kegiatan usaha penambangan dan menghasilkan produksi batubara, wajib melakukan ganti-rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa lahan (fee lahan) sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per Metrik Ton;

III. Melakukan ganti-rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa atas tanah-tanah hak/milik masyarakat yang digunakan jalan angkutan hauling batubara oleh PT. Borneo Indo Bara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) per MT/ bulan, terhadap tanah- tanah masyarakat yang telah digunakan jalan angkutan batubara di Desa Hati'if, pemekaran dari Desa Mangkalapi dan Desa Sebamban Baru sesuai dengan bukti masing-masing bidang peta SKT Perkebunan dan SPPFBT milik warga masyarakat di Desa Hati'if Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu.

Sebelumnya, warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban Lama, Desa Trimartani, Desa Hati’if yang berada di Kecamatan Sungai Loban bermaksud ingin melakukan aksi penutupan area tambang PT. BIB dan area kegiatan penanaman kembali hutan tanaman Industri PT. HRB yang saat ini sedang dikerjakan oleh kedua perusahaan tersebut. Jika hal tersebut terjadi dikawatirkan dapat menimbulkan bentrok dan persoalan hukum lain. Maka oleh karenanya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tahun politik ini sehingga diharapkan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI dapat segera membantu penyelesaian sengketa masyarakat dengan kedua perusahaan tersebut. (MRS/Red)



MPA,SERANG - Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Provinsi Banten (Satbrimob Polda Banten) bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten (BNNP Banten) melakukan penyuluhan bahaya penyalahgunaan narkoba, bertempat di Markas Satbrimob Polda Banten, Rabu, 6 Maret 2019. Tidak kurang dari 245 personil anggota Satbrimob Polda Banten mengikuti kegiatan tersebut.

Hadir memberikan materi penyuluhan, Kepala Seksi Pencegahan BNNP Banten, Ainul Mardhiah, S.K.M, dibantu oleh petugas tes urine, Asti Maulidiati, S.Pd dan Hapiki David. Dalam paparannya, Ainul Mardhiah yang berlatar-belakang Ilmu Kesehatan Masyarakat ini menyampaikan bahwa dalam rangka mencegah peredaran dan penyalahgunaan narkoba di masyarakat, setiap anggota polisi harus mengetahui dan memahami bentuk-bentuk barang haram tersebut, dan dampaknya bagi penggunanya. "Setiap anggota polisi harus tahu bentuk narkoba dan dampaknya bagi penggunanya," jelas Ibu Ainul, demikian ia sering disapa.

Polisi sebagai mitra BNN, tambah Ainul, semestinya steril dari praktek peredaran dan penyalahgunaan narkoba. "Polisi harus bersih dulu dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba, baru kemudian kita bisa bersama-sama BNN melakukan pemberantasan narkoba di masyarakat," imbuh mantan bidan ini.

Oleh karena itu, dalam acara penyuluhan tersebut, dirangkaikan sekaligus dengan pemeriksaan urine peserta. "Untuk mencegah penyalahgunaan narkoba di kalangan Satbrimob Polda Banten,  dilaksanakan tes urine bagi peserta, siap?" tanya Ainul yang dijawab serempak, "Siap!" oleh para peserta.

Selanjutnya, seusai penyuluhan, sebanyak 54 orang anggota Brimob peserta acara yang diambil secara acak mengikuti tes urine. Alhasil, dari pengetesan urine peserta yang menjadi sampel, tidak terdapat seorangpun yang terindikasi pengguna narkoba alias semuanya negatif.

Kegiatan yang bertujuan untuk penyebarluasan informasi mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba serta deteksi dini penyalahgunaan narkoba di lingkungan Mako Satbrimob Polda Banten itu berlangsung lancar sesuai rencana. (TEAM/Red)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.