-->

Latest Post


MPA,PADANG - Wali Kota Padang Mahyeldi menyatakan kesiapannya diperiksa KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan BIN untuk memenuhi salah satu syarat menerima tanda jasa dan tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan 2019 dari Presiden RI.
Hal itu dikatakan Mahyeldi pada tim verifikasi BKKBN Pusat saat melakukan audiensi peninjauan lapangan calon penerima Satyalancana Pembangunan 2019 di Palanta Kediaman Wali Kota Padang, Jalan A. Yani, Rabu (24/4/2019).
“Prinsip dasar kita dalam bekerja adalah untuk melayani masyarakat. Kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, dan kerja tuntas. Bukan untuk meraih penghargaan. Jikalau ada apresiasi dari hasil pekerjaan kita, itu adalah bonus. Dan kita harus bersyukur dan mengucapkan terimakasih”, ungkap Mahyeldi di kesempatan itu.
Sementara itu, Ketua Tim Penilai dari BKKN Pusat, Aida Kusuma mengatakan, Satyalancana Pembangunan bukanlah penghargaan biasa, tetapi merupakan tanda jasa dan tanda pengormatan dari Presiden RI. Untuk itu, tanda jasa dan tanda penghormatan ini harus diberikan kepada orang yang benar-benar bersih dari perbuatan melawan hukum, baik itu korupsi, maupun tindak pidana atau perdata lainnya.
“Walaupun orang tersebut sukses dalam pembangunan, tapi kepribadiannya tidak bagus, tentunya akan merusak tanda jasa dan tanda kehormatan ini. Oleh sebab itu, dokumen pendukung dari KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan BIN juga kita perlukan dalam penilaian ini”, ujar Aida
“Dulu sekali ada kasus, masyarakat menolak seseorang menerima tanda kehormatan karena orang tersebut tidak layak untuk menerimanya. Padahal tanda kehormatan telah diberikan. Dan kita tidak ingin hal itu terjadi lagi”, tambahnya lagi.
Di kesempatan yang sama, Mardalena dari BKKBN Perwakilan Sumbar, mengatakan, dipilihnya Wali Kota Padang Mahyeldi, satu-satunya kepala daerah di Sumbar, sebagai calon penerima Satyalancana Pembangunan 2019 telah melalui seleksi dan proses yang panjang. BKKBN Sumbar mengusulkan karena prestasi dan komitmen Wali Kota Mahyeldi terhadap program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga di Kota Padang.
“Track record beliau sudah jelas. Berbagai prestasi pun sudah diraih. Ada kampung KB percontohan nasional, program 18-21, pesantren ramadhan, bebas iklan rokok, kelas Ibu Muda, pembinaan anak jalan, dan masih banyak indikator lainnya. Tentunya, semua itu dilakukan secara lintas sektoral dan melibatkan banyak pihak”, terang Mardalena.
Ekspos dan audiensi Wali Kota Padang Mahyeldi dengan tim verifikasi BKKBN Pusat dalam rangka peninjauan lapangan calon penerima Satyalancana Pembangunan 2019 juga diikuti Dandim 0312 Padang, perwakilan Polresta Padang, SKPD Pemko Padang, penyuluh KB dan perwakilan masyarakat. (*)
Pewarta: Ulil Amri Abdi/ Faisal Siregar


MPA,TANJUNGPINANG – Sekda Kota Padang Amasrul mengatakan, diangkatnya tema alokasi dana kelurahan pada Rakerwil I Apeksi menjadi starting point bagi anggota Apeksi Wilayah I untuk memaksimalkan peran kelurahan dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat.
“Dana kelurahan ini harus dilaksanakan dengan baik dan dengan aturan yang jelas”, ujar Amasrul pada acara pembukaan Rakerwil I Apeksi di di Hotel CK Tanjung Pinang, Rabu (24/4/2019).
Lebih lanjut dijelaskan, pada Rakerwil I, Pemko Padang akan membahas beberapa persoalan dan kendala dalam pengunaan dana kelurahan. Termasuk persoalan kekurangan pegawai, PPK,KPA dan bendaharawan.
“Pegawai kelurahan yang diterima pada tahun 1981 di Kota Padang sudah pada pensiun. Saat ini, kita butuh regulasi dari pusat untuk penerimaan pegawai kelurahan. Agar pengelolaan dana kelurahan bisa dilakukan dengan maksimal”, tambah Amasrul.
Sementara itu, Ketua Apeksi Airin Rachmi Diany, mengatakan, singkronisasi tentang alokasi dana kelurahan dari APBN untuk seluruh kota harus dilakukan. Menurutnya, dana kelurahan yang saat ini diterima masih kecil dari yang diharapkan. Yaitu Rp300 juta per kelurahan, ke depan bisa sama seperti dana desa yang kini dikelola di setiap kabupaten.
“Pada Rakorwil 1 ini dana kelurahan harus tuntas kita bahas. Begitu juga dengan pemaparan pemerintah kota tentang inovasi pelayanan publik, yang sudah dicapai,” tutur Walikota Tangerang Selatan ini.
Ia menambahkan, perjuangan APEKSI terhadap dana kelurahan sebagai pemenuhan sarana penunjang infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat ke depan.
“Sebenarnya tidak ada bedanya pembangunan di desa maupun di kelurahan dalam rangka pemerataan. Saya rasa pemenuhan infrastruktur masyarakat di kelurahan juga perlu ditingkatkan,” ungkapnya.
Rakerwil I APEKSI Regional I Sumatera juga menghadirkan pihak Kemendagri RI yang mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, agar penggunaan dana kelurahan sesuai dengan aturan.
Pada Rakerwil I tersebut juga diadakan beberapa kegiatan lainnya, antara lain; city expo, pawai budaya, pagelaran kesenian, dan penanaman pohon khas daerah. Dari Kota Padang diikuti oleh beberapa pimpinan SKPD (*)
Pewarta: Ady Syaflian
Editor: Ulil Amri Abdi

MPA,JAKARTA – Pasca pelaksanaan pemilu serentak saat ini, perhatian publik lebih banyak fokus ke hasil perhitungan suara pasangan calon presiden. Hal itu mengakibatkan persoalan perolehan suara di kalangan calon legislatif terabaikan. Padahal, keduanya sangat penting, mengingat kedua lembaga, DPR RI dan Kepresidenan, harus dijabat oleh para petinggi negara yang jujur, kredibel dan memiliki kapasitas yang teruji untuk menjadi bagian dari pengelola negara.

Belakangan ini, misalnya, santer beredar khabar tentang deal-deal bisnis berupa jual-beli suara yang diperoleh antar calon legislatif (caleg). Bagi para kandidat yang mendapatkan jumlah suara kecil berupaya ‘menjual’ jumlah suaranya kepada caleg yang berpeluang mendapatkan kursi namun suaranya masih belum mencukupi. Kondisi ini kurang mendapat perhatian publik, termasuk oleh media massa.

“Jika ini dibiarkan terjadi, sulit dibayangkan betapa buruknya hasil demokrasi kita dalam pemilu kali ini,” ujar Wilson Lalengke, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, ketika dimintai pendapatnya terkait fenomena tersebut, Selasa, 23 April 2019.

Lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini mensinyalir bahwa pola jual-beli suara antar caleg itu sering terjadi di masa lalu, dan sudah mulai terdengar hari-hari belakangan ini. “Bahkan ada informasi yang masuk menyebutkan oknum caleg menyediakan dana 2 miliar untuk membeli suara dari caleg-caleg yang perolehan suaranya kecil di dapil tertentu di Sumatera,” imbuh Wilson yang juga adalah Ketua Umum PPWI itu.

Menurutnya, perilaku caleg yang melakukan deal-deal bisnis suara semacam ini merupakan salah satu bentuk money politic atau politik uang. “Pembelian suara rakyat itu bukan hanya sebatas pada serangan fajar yang dilakukan sebelum pencoblosan. Ketika seorang caleg menyerahkan perolehan suaranya kepada caleg lain dengan imbalan uang, itu merupakan money politic. Harus diwaspadai dan diproses oleh pihak terkait jika ada yang begitu,” jelas Wilson.

Bahkan, menurutnya, caleg yang melakukan jual-beli suara, baik sipenjual maupun pembeli suara, lebih buruk moralitasnya dibandingkan dengan caleg dan warga pemilih yang terlibat money politic serangan fajar. “Moralitas oknum-oknum caleg yang terlibat jual-beli suara itu jauh lebih buruk dari warga yang terlibat serangan fajar. Mengapa? Karena oknum-oknum itu nyata-nyata menghianati kepercayaan rakyat yang telah memberikan suaranya kepada mereka, dan memperlakukan sejumlah suara rakyat itu sebagai komoditi bisnis belaka,” tegas peraih gelar Masters of Art (MA) bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, itu.

Akibatnya, lanjut Wilson, sebagian anggota legislatif yang dihasilkan oleh pemilu 2019 nanti merupakan pejabat bermoral rendahan, tidak amanah, dan cenderung koruptif dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota dewan. “Bagaimana tidak? Caleg model begini pasti beranggapan bahwa dia duduk di Senayan bukan karena kepercayaan rakyat, tapi karena investasi dana besar yang sudah dikeluarkannya. Mereka adalah anggota dewan bermoral rendahan, produk demokrasi dagang sapi,” ujar Wilson lagi.

Apa yang harus dilakukan? “Harus dicegah, jika ada caleg terindikasi melakukan jaul-beli suara antar caleg, harus diusut dan diproses. Caleg yang beli suara dari caleg atau partai lainnya harus didiskualifikasi, dicoret dari daftar calon anggota dewan terpilih. Sanksinya harus tegas seperti itu, jika kita ingin menciptakan Lembaga DPR RI, DPD RI, dan DPR Daerah yang baik, bermutu, dan produktif bagi rakyat,” tambah Wilson.

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan warga masyarakat dalam mengantisipasi munculnya para pelaku jual-beli suara caleg, menurut Wilson, antara lain sebagai berikut:

1. Tingkatkan dan perkuat monitoring rekapitulasi suara di semua tingkatkan, mulai dari TPS/KPPS, PPS, PPK, KPU Kota/Kabupaten, KPU Provinsi hingga ke KPU Pusat. Harus dipastikan bahwa rekap jumlah suara di tiap tingkat itu sesuai dengan Formulir C1.

2. Mengupayakan penerbitan press release (siaran pers) berita hasil rekapitulasi suara di tiap tingkatkan, minimal mulai dari tingkat PPS, baik oleh petugas pemungutan suara dan saksi, pemantau, media, maupun pihak berkepentingan lainnya.

3. Membuat laporan ke Panwaslu/Bawaslu jika terjadi hal-hal yang terindikasi curang, jual-beli suara, pengalihan suara caleg, dan lain-lain, untuk diproses sesuai koridor hukum yang berlaku.

4. Setiap caleg perlu menjaga komunikasi dengan pimpinan partai masing-masing agar perolehan suara para caleg terkait di dapil masing-masing dikontrol ketat. Dengan demikian, suara para caleg tidak mudah berpindah ke caleg lainnya, baik ke sesama caleg di internal maupun ke partai lainnya. (APL/Red)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.