-->

Latest Post


Oleh: Wilson Lalengke

Jakarta - Seorang Profesor Mahfud MD beberapa waktu lalu sempat menjadi bulan-bulanan, dibully sana-sini, karena pernyataan beliau yang sedikit pedas bagi sebagian orang. Statement Prof Mahfud soal _“hard liner province”_ atau provinsi garis keras yang menjadi basis kemenangan pasangan calon nomor 02 di Pilpres lalu telah memicu ketegangan sosial-politik di beberapa daerah yang tersentil. Bahkan, Senator DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi, bersuara keras dan memaksa sang Profesor yang merupakan ‘ahlinya ahli’ hukum Indonesia itu meminta maaf kepada publik. Dengan rendah hati, Profesor itupun meminta maaf (https://news.detik.com/berita/d-4531490/ucapan-provinsi-garis-keras-disoal-mahfud-md-minta-maaf).

Tidak berhitung bulan, pernyataan Mahfud MD itu kini mewujud. Gaung genderang referendum, yang bagi pengusungnya hakekatnya adalah pernyataan keinginan merdeka, lepas dari keterikatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai ditabuh. Setidaknya, Aceh dengan ide Darul Nanggroe Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera dengan ide Republik Andalas Merdeka, telah menjadi wacana yang tiba-tiba menyeruak di ruang baca kita. Pada tingkat tertentu, tentunya fakta itu dapat menjadi bukti pembenar atas apa yang disinyalir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD akhir April lalu.

Ketika yang menjadi obyek ucapan Profesor Mahfud adalah keterkaitan _hard liners_ dengan paslon nomor 02, maka semestinya pernyataan itu juga mewakili fenomena _hard liners province_ tertentu lainnya dengan paslon nomor 01. Sebab, siapa yang bisa menduga sifat “garis keras” beberapa daerah pendukung paslon nomor 01 tidak bergolak jika junjungannya kalah atau dikalahkan pada Pilpres 17 April 2019 lalu? Sangat terbuka kemungkinan rakyat Sulawesi Utara meminta referendum (baca: merdeka) jika paslonnya dikalahkan. Demikian juga Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Belum lagi “garis keras” kelompok Nahdatul Ulama dengan Banser dan Anshor-nya, yang dapat saja berubah menjadi pembelot NKRI akibat jagoannya gagal. _Who knows?_

Pertikaian yang berujung ke pemisahan diri menjadi sebuah negeri yang berdaulat di jaman kerajaan di nusantara dan banyak bagian negara lainnya dahulu kala, umumnya dipicu oleh ketidakpuasan sekelompok rakyat dan pimpinan wilayahnya terhadap rajanya. Raja yang menjalankan pemerintahan absolut, otoriter, diktator, dan bahkan semau-pribadinya sendiri, telah menjadi faktor pendorong utama bagi rakyat untuk memperjuangkan kehidupan yang bebas dari pemerintahan raja tersebut. Sayangnya, muara dari hampir semua perjuangan itu adalah memisahkan diri ke dalam suatu negeri merdeka, berdaulat, yang tidak dalam lingkaran pemerintahan di kerajaan awalnya.

Revolusi Perancis (1789–1799) menjadi tonggak sejarah yang merupakan momok menakutkan bagi raja-raja di masa itu, terutama di daratan Eropa. Pemberontakan rakyat Perancis terhadap Raja Louis XVI telah melahirkan sebuah negara Republik Perancis pada Desember 1792.  Pemikiran-pemikiran konservatif yang terkait dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan gereja, dihancurkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Untuk meredam gejolak serupa terjadi di negara-negara kerajaan lainnya di Eropa, masing-masing raja menyusun strategi pemerintahan mereka sesuai dengan keinginan rakyatnya. Pada poin inilah, ide tentang demokrasi yang diperkenalkan oleh masyarakat Yunani kuno (Athena tahun 508 SM) mendapat tempat terhormat untuk dikaji dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern.

Kota-kota di Yunani kuno yang disebut Polis, menyelenggarakan pemerintahannya dengan sistim demokrasi langsung. Pelibatan rakyat secara langsung dalam pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan umum yang substansinya sama dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai referendum. Dalam sistim demokrasi langsung ala Polis Yunani kuno, rakyat hanya disuguhkan dua alternatif pilihan: “Ya” dan “Tidak”. Contoh, jika pemerintah kota ingin menerapkan aturan atau kebijakan untuk mengeksekusi mati seorang yang diduga penjahat, pemerintah akan mengundang rakyat untuk memberikan suaranya, dengan sebuah pertanyaan: apakah Anda setuju si A dieksekusi mati akibat dugaan kejahatan yang dilakukannya? Rakyat cukup menjawab “Ya” atau “Tidak”.

Pemikiran demokrasi kuno itu diadopsi oleh hampir seluruh negara kerajaan di Eropa untuk menjadi bagian dari sistim pemerintahannya. Ide demokrasi ini selanjutnya berkembang ke dalam bentuknya seperti yang dikenal saat ini, melalui pemilihan umum (pemilu). Sejak berakhirnya perang dunia kedua (1939-1945), sistem pemerintahan demokrasi dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan terbaik bagi sebuah negara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa setiap negara baru yang lahir pasca 1945, hampir seluruhnya berbentuk pemerintahan republik.

Di Indonesia, awalnya pemilu dilaksanakan hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan diberikan mandat memilih presiden dan wakil presiden, juga calon gubernur dan wakil gubernur, hingga seterusnya calon bupati/walikota dan wakilnya. Para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu itu juga akan bertugas menjalankan fungsi-fungsi legislatif lainnya, yakni membuat undang-undang, mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan membuat perencanaan anggaran negara. Dalam delapan kali pemilu (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), rakyat pemilih hanya masuk ke tempat pemungutan suara untuk memilih wakil-wakilnya (anggota DPR dan DPRD).

Sejak pemilu 2004, berdasarkan UUD 1945 yang sudah diamandemen, pemilu juga dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dalam 4 kali pemilu di orde reformasi, Indonesia telah melahirkan 2 presiden dengan latar belakang dan karakter kepemimpinan yang berbeda. Hal ini tentu saja menarik untuk dijadikan bahan perenungan, kajian, dan tulisan. Namun, mari kita kembali ke laptop, sesuai judul tulisan ini.

Hakekatnya, salah satu fungsi sistim pemerintahan demokrasi, baik untuk pemilihan perwakilan rakyat, pemilihan presiden, maupun penyampaian aspirasi melalui mekanisme demokrasi, adalah untuk meredam perpecahan dalam masyarakat sebuah negara berdaulat. Demokrasi dipandang sebagai sebuah sistim pemerintahan yang menyatupadukan rakyat melalui sebuah mekanisme penyaluran aspirasi yang sama, di saat yang sama, dengan pilihan-pilihan dan aturan yang disepakati bersama (egalite). Disamping persamaan, penyampaian aspirasi dilaksanakan secara langsung oleh masing-masing rakyat pemilih dengan kebebasan penuh, tanpa tekanan dan paksaan. Bahkan untuk tidak datang ke tempat pemungutan suarapun alias golput, semua rakyat bebas tanpa ancaman sanksi apapun (liberte).

Suara-suara sumbang bernuansa separatisme yang muncul usai momentum demokrasi dilaksanakan biasanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap hasil pelaksanaan demokrasi (baca: pemilu). Sekelompok rakyat pemilih yang kalah akan mengambil sikap skeptis terhadap hasil demokrasi yang dicapai, yang akhirnya memicu sistim berpikir komunalnya untuk lebih memilih sikap denial (penolakan) daripada memberikan endorsement (persetujuan).

Skeptisisme semacam ini umumnya berkembang di negara-negara yang rakyatnya terdiri atas berbagai bangsa. Kekecewaan atas hasil pemilu yang tidak sesuai harapan mayoritas sebuah komunitas dapat menjadi pemicu naiknya adrenalin separatisme yang tumbuh berkembang berbasis kebangsaan di komunitas tersebut. Menilik dari besarnya jumlah pemilih paslon 02 yang kecewa karena kekalahan paslon pilihannya di Provinsi Aceh dan Sumatera Barat, termasuk daerah-daerah lain di sekitarnya, dapat kita maklumi bahwa genetika ke-Aceh-an bangsa Aceh, genetika ke-Minang-an masyarakat Minangkabau, genetika ke-Melayu-an bangsa Melayu, dan sejenisnya, mencuat ke permukaan menampakkan eksistensinya untuk tidak dipandang sebelah mata. Solusi reaktif yang muncul adalah berpisah dari NKRI melalui bahasa “referendum”. Hal serupa juga sangat mungkin terjadi jika paslon nomor 1 kalah, ego kebangsaan Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, dan bahkan Wong Solo dan Wong NU akan bereaksi dan memunculkan wacana beraroma separatisme.

Fenomena separatisme tersebut sesungguhnya kasat mata terjadi pada kasus perpecahan partai-partai politik di Indonesia selama ini. Para kandidat ketua partai bersama pendukungnya yang kalah dalam pemilihan ketua partai, lebih memilih memisahkan diri dari partainya dan mendirikan partai baru. Gerindra, misalnya, lahir setelah Prabowo gagal dalam Konvesi Capres Golkar 2004 dan Partai Nasdem didirikan setelah Surya Paloh digilas kalah oleh Aburizal Bakri saat pemilihan ketua partai Golkar tahun 1999. Termasuk juga, walau tidak persis sama, dengan Megawati yang mendirikan PDI-Perjuangan setelah kalah dalam Kongres PDI di Medan tahun 1996. Kasus serupa juga banyak terjadi di beberapa lembaga dan organisasi masyarakat, seperti Peradi yang pecah menjadi 3 organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia, PWI-Reformasi yang terpisah dari induknya, PWI, dan lain-lain. Sumuanya dipicu oleh kekalahan dalam proses pemilihan pemimpin organisasinya.

Jika ide demokrasi, yang terlahir kembali melalui Revolusi Perancis, dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan yang lebih baik dari sistem lainnya, mengapa hasil pemilu bisa menjadi trigger bagi munculnya ide pemisahan diri di kalangan kelompok yang kalah dalam pemilu? Jawabnya, karena ternyata pemilu kita hanya keras pada ide persamaan (egalite) dan kebebasan (liberte) dalam berdemokrasi, belum radikal pada ide persaudaraan (fraternite) yang harus melekat menyatu pada demokrasi itu sendiri. Mungkin hal ini yang lebih penting untuk diwacanakan oleh Profesor Mahfud MD dan para pemimpin bangsa kedepannya. (*)


MPA,PADANG - Pemerintah Kota Padang berencana membangun terminal tipe A di Anak Aia, Kecamatan Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat ( Sumbar).

Kebutuhan terminal tipe A di Padang sudah mendesak. Selain dikarenakan penggunaan bus yang kembali bergairah, selama bertahun-tahun Padang tidak memiliki terminal resmi.

Proses pembangunan terminal tipe A sudah dimulai sejak 2018.

"Kita akan segerakan pembebasan tanahnya. Kita sudah menyediakan sekitar 5 hektar lahan di Anak Aia dan ditargetkan tahun ini seluruh pembebasan tanahnya selesai," ujar Wali Kota Padang Mahyeldi di Balai Kota Padang, Rabu (29/5/2019).

Mahyeldi mengatakan, sambil berjalan juga akan melakukan pembangunan fisik terminal tersebut yang dilakukan Kementerian Perhubungan.

"Pembangunan fisiknya sudah dicanangkan pada 2018 lalu dan kita berharap 2020 nanti sudah selesai," tegasnya.

Mahyeldi merinci selain terminal, juga dibangun fasilitas pendukung seperti tempat uji kendaraan atau KIR serta kawasan komersial.

Terminal yang dibangun itu, kata Mahyeldi akan mampu melayani 500 unit angkutan kota dalam provinsi (AKDP) dan 150 angkutan kota antar provinsi (AKAP) yang melayani Padang menuju Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan sebaliknya.

"Saat ini, kita tidak lagi memiliki terminal bus karena lahan terminal yang lama sudah dijadikan areal perkantoran pemerintahan," ujarnya.




Sumber artikel, kompas.com


MPA,TOBA SAMOSIR - Aliansi Relawan Pencinta lingkungan hidup danau toba menyelenggarakan deklarasi atau pernyataan resmi keberadaan organisasi tersebut di Hotel Toba, Parapat, Simalungun, Sumatra Utara, Selasa 28 Mei 2019.

Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak dari Kabupaten Simalungun, Kecamatan Parapat atau yang mewakili, Lurah Parapat, organisasi pemuda dalam hal ini Pemuda Pancasila, tokoh masyarakat, Polsekta Parapat, Koramil Parapat, Pengusaha dan PPWI Cabang Toba Samosir. Pada acara tersebut, semua pimpinan dan perwakilan lembaga/instansi turut memberikan kata sambutan.

Parningotan Manik dalam sambutannya menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya aliansi adalah untuk dapat berbuat yang terbaik untuk memajukan pariwisata di Danau Toba dan sekitar, sehingga lingkungan Danau Toba semakin bersih dan diminati masyarakat.

"Melalui organisasi ini juga untuk mengawasi kinerja pemerintah dan siap mendukung pemerintah dalam memajukan pariwisata di sekitar Danau Toba," ujar Parningotan Manik atau lebih dikenal dengan Remember Manik yang dipercayakan sebagai ketua aliansi ini untuk periode 2 tahun kedepan.

Setelah kata sambutan, sebagai tanda resminya keberadaan aliansi di Kota Wisata Parapat, Kabupaten Simalungun, ini dilakukan pemukulan gong yang dilakukan oleh Doni Sinaga selaku mewakili pemerintah kecamatan.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan panel diskusi tentang permasalahan yang ada di Parapat, yang dulu dikenal sebagai kota wisata atau tujuan wisata di Sumatera Utara, yang sekarang ini bagaikan mati suri.

Dalam paparan, penyaji mengatakan bahwa Parapat sekarang ini bukan lagi wilayah wisata tapi jadi lintasan wisatan bukan lagi tujuan.

Pelaku wisata yang ada di Parapat, selaku panelis I, Usman Pardede mengatakan bahwa Parapat dewasa ini sudah tidak diminati lagi akibat lingkungan hidup sudah tidak mendukung, banyak limbah sekarang langsung ke Danau Toba yang membuat Parapat sudah tidak nyaman.

"Maka jangan kita tunggu pemerintah untuk berbuat, mari kita lebih dahulu berbuat lalu apa yang kurang kita usulkan ke Pemerintah," sebutnya.

Sementara itu, panelis ke 2, Destian Simangunsong dari Pemerhati Lingkungan yang sekarang sedang mengambil strata 2 mengenai lingkungan mengatakan bahwa bumi ini adalah ibarat seorang "Ibu" yang menghidupi anak anaknya dan oleh sebab itu kita harus merawat ibu kita dan jangan menyakitinya.

"Dulunya Danau Toba ini telah dibuat aturannya oleh pemerintah harus disanggah oleh hutan lindung paling sedikit 180 ribu Ha, tapi apa yang terjadi dewasa ini hanya tinggal 60 ribu Ha. Ini akibat dari pemukiman dan perambah hutan," sebutnya.

Selanjutnya, panelis ke 3, Doharta Sirait yang bergelut dalam lingkungan hidup mengajak kepada semua pihak agar menjadikan 28 Mei ini menjadi momentum membangun ke-pedulian dan keramahan terhadap lingkungan dan Danau Toba agar Danau Toba, secara khusus Parapat, dapat kembali menjadi kota wisata. "Kitalah yang harus mengelolanya, bukan orang lain," tegasnya.

Dalam panel diskusi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pencemaran lingkungan terjadi di Parapat diakibatkan oleh limbah rumah tangga, hotel dan industri yang ada di sekitar Danau Toba.

"Kemudian, industri pariwisata harus dikelola secara profesional dan mandiri," demikian kesimpulan yang disimpulkan oleh moderator Ramlan Tampubolon. (WAH/JML/Red)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.