-->

Latest Post


MPA, PADANG -- H.Hendri Kepala Kantor Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat penuhi undangan mengisi acara Talkshow Kebangsaan “Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Memperkokoh NKRI” yang digagas Pimpinan Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Sumatera Barat, Jum’at (18/10), dengan tema Peran Kantor Wilayah Kementerian Agama Memberdayakan Ormas Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kegiatan dialog yang dibuka secara resmi oleh pengurus PBNU Pusat Kiyai H. Erman Suryaman sekaligus Caretaker PBNU Provinsi Sumatera Barat dihadiri tokoh-tokoh NU (rais) dan seluruh nahdiyin (sebutan kader NU) serta lembaga-lembaga terkait termasuk pihak tuan rumah, Rektor UNP H. Ganefri. 

H.Hendri mengawali paparannya dari Visi dan Misi Kanwil Kemenag Sumbar, mewujudkan  masyarakat Sumatera Barat yang taat beragama, rukun, cerdas dan sejahtera lahir batin dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong merupakan visi yang akan dicapai, dinyatakan dengan misi yang diemban.

“untuk mewujud visi kami menyiapkan misi, meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama, memantapkan kerukunan intra dan antar umat beragama, menyediakan pelayanan kehidupan beragama yang merata dan berkualitas, meningkatkan pemanfaatan dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi keagamaan, mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang berkualitas dan akuntabel, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan umum berciri agama, pendidikan agama pada satuan pendidikan umum, dan pendidikan keagamaan dan mewujudkan tatakelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan terpercaya” jelas H. Hendri.

Sebagai fasilitator umat, Kakanwil Kemenag Sumbar, H. Hendri menyampaikan peran aktif lembaga yang dikomandoinya dalam menjembatani organisasi masyarakat yang ada di Sumatera Barat termasuk ormas islam untuk mensukseskan dan mensosialisasikan program-program kementerian demi tercapainya visi misi tersebut.

“Hal ini dilakukan karena Kemenag itu tidak mungkin bekerja sendiri tanpa ada sinergitas dengan pihak-pihak yang berkepentingan apalagi ormas islam yang langsung bersentuhan dengan masyrakat yang tersebar di sembilan belas Kab/Kota yang ada di Sumbar. Kondisi geografis, keberagaman suku dan budaya, keberagaman agama serta adat yang ada di Sumbar memerlukan campur tangan ormas dalam mensukseskan program-program lembaga,” tambahnya. 

“Begitu juga sebaliknya, ormas-ormas yang ada di Sumbar selalu dan akan terus mendapat perhatian dari Kemenag dalam berbagai bentuk, baik pembinaan, bantuan operasional dan sosialisasi regulasi dan peraturan-peraturan terbaru sehingga terjalin komunikasi dua arah demi membingkai keutuhan NKRI kedepan,” ulas alumni Canduang ini. 

“Kanwil Kemenag Sumbar dan sembilan belas Kankemenag Kab/Kota beserta jajarannya, siap mensukseskan dan menjaga kesatuan bangsa khususnya Ranah Minang sehingga lebih baik lagi di masa yang akan datang,” tandasnya. 

Dialog dilanjutkan lagi setelah pelaksanaan shalat ashar dengan agenda tanya jawab dan materi/pembicara berikutnya.(Ar)



MPA, AMBON - Pemerintah diharapkan memberikan respon yang positif dan beri’tikad baik dalam mendorong percepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan menjadi Undang-Undang mengingat urgensi RUU Daerah Kepulauan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Daerah Kepulauan sekaligus sebagai wujud nyata kehadiran negara di Daerah Kepulauan. 

Hal ini terungkap dalam Rapat Tahunan Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan Tahun 2019 dengan mengambil tema ‘Kebijakan Pemerintah terhadap Percepatan Pembangunan di Provinsi Kepulauan’ (17/10/2019). Seminar dalam rangka Rapat Tahunan Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan dibuka oleh Barnabas Orno, Wakil Gubernur Maluku dan dihadiri oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi; Muh. Natsir Thaib Wakil Gubernur Maluku Utara; Arif Fadillah Sekda  Provinsi Kepulauan Riau; perwakilan Provinsi Bangka Belitung; Provinsi Nusa Tenggara Timur; Provinsi Nusa Tenggara Barat; Provinsi Sulawesi Utara; Provinsi Sulawesi Tenggara; Ketua DPRD Maluku dan sejumlah anggota DPRD Provinsi Kepulauan; dan sejumlah perwakilan Kabupaten dan Kota Kepulauan. Sementara dari Kementerian/Lembaga, dihadiri oleh Dr. Moch Ardian N, Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri RI; Vicky Nana Kania Kasubdit Bidang Hukum dan Harmonisasi Peraturan perundang-undangan Kumham RI; dan Kisnu Haryo Kartiko Tenaga Profesional  Bidang Politik Lemhanas.

Arif Fadillah mewakil Ketua BKS menyatakan bahwa Kebijakan Desentralisasi merupakan pilihan yang tepat untuk mengelola negara maritim dan kepulauan. Perjuangan terhadap regulasi Provinsi Kepulauan sudah dimulai sejak 10 Agustus 2005 (Deklarasi Ambon). Jumlah anggota ada 7 Provinsi yang kemudian bertambah menjadi 8 Provinsi dengan masuknya Provinsi Sulawesi  Tenggara menjadi anggota. RUU Daerah Kepulauan merupakan inisiasi DPD RI yang sudah masuk dalam Prolegnas. RUU  ini kemudian diakomodir dalam Pasal 27-30 UU 23/2014 tentang Pemerintahdan Daerah (UU Pemda). 

“Hal ini tentu tidak sesuai harapan, oleh karena itu, kami mendorong DPD RI agar memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan pada prolegnas berikutnya (tahun 2020) untuk dibahas dan disahkan menjadi undang-undang," ujar Fadillah.

Sementara Wagub Maluku Barnabas menekankan pentingnya treatmen khusus untuk Provinsi Kepulauan yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. "Tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak mewujudkan RUU Daerah Kepulauan menjadi undang-undang. Dengan adanya forum ini (BKS) diharapkan mampu memberikan efek yang kuat bagi perjuangan untuk mewujudkan undang-undang kepulauan,” jelas Barnabas.

DPD RI Inisiatif Perjuangan RUU Daerah Kepulauan
                                         
Sementara itu, dalam seminar Badan Kerja Sama Propinsi Kepulauan, Pimpinan Komite I DPD RI, Senator H. Fachrul Razi, MIP yang akrab dipanggil Razi ini (Asal Dapil Aceh) dalam paparan bahwa RUU Daerah Kepulauan menjadi tanggung jawab DPD RI untuk menyiapkan sebagai usulan inisiatif dimana selama ini Negara belum hadir secara efektif.
  
Senator vokal ini mengatakan bahwa kebutuhan hukum baru (undang-undang) yang mewadahi pengaturan Daerah Kepulauan mesti dibaca sebagai respon politik Negara terhadap perkembangan global dan eksistensi Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam satu tarikan nafas yang sama dengan tekad Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, suatu penegasan jati diri sebagai bangsa bahari dan negara maritim (Nawacita) sebagai ikhtiar membangun Indonesia sebagai kekuatan negara-bangsa yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity).

“Ikhtiar kita ini, menghadirkan Negara lewat “pintu masuk” RUU tak lepas dari manifestasi pandangan hidup, nilai-nilai luhur masyarakat dan cita hukum yang berakar kepada falsafah bangsa kita sebagaimana termaktub dan bersumber dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” jelasnya.

Fachrul Razi melanjutkan bahwa ada tiga subtansi penting RUU yang kami usulkan yaitu: 1) Ruang Pengelolaan (Yuridiksi dan Wilayah pengelolaan); 2) Urusan Pemerintahan (Irisan Urusan dan Skala Kewenangan tertentu); dan 3) Uang (Formulasi dan Nominal Pendanaan Khusus). Pemerintah belum memberikan sikap yang jelas mengenai pengaturan Daerah Kepulauan. Apakah pemerintah memilih menerbitkan PP amanat Pasal 27-Pasal 30 UU Pemda atau membahas lebih lanjut RUU Daerah Kepulauan yang merupakan inisiatif DPD RI khususnya Komite I DPD RI tersebut.

Sebagai pengusul RUU tentunya kita sepakat membahas dan mengesahkan RUU Daerah Kepulauan serta meminta pemerintah seharusnya menyambut positif usul inisiatif ini sebagaimana DPD dan DPR menyambutnya dengan positif.

“Kami meminta dukungan dan kerjasama dari Provinsi-Provinsi Kepulauan agar RUU ini segera dibahas kembali dalam dan segera disahkan. Komite I tentunya telah siap melanjutkan perjuangan bersama 8 Provinsi Kepulauan dalam mewujudkan UU Daerah Kepulauan.”

Sementara itu, Kisnu Haryo dari Lemhanas sependapat bahwa Daerah Kepulauan semestinya diatur dengan menggunakan pedekatan Desentralisasi Asimetris. Adanya regulasi memberikan kepastian dan kekuatan hukum bagi Daerah Kepulauan.

“Keberadaan RPP Provinsi bercirikan Kepulauan sebagai amanat Pasal 30 UU pemda yang belum terbit tentunya cukup menghambat pelaksanaan Desentralisasi Asimtris. Keberadaan PP juga kurang optimal bagi Daerah Kepulauan, diperlukan suatu regulasi setingkat undang-undang.Sementara RUU Daerah Kepulauan Insiatif DPD belum terbahas dengan baik, sehingga Otonomi yang bersifat asimtris belum optimal”.

Kisnu melanjutkan bahwa Lemhanas mendukung adanya alokasi khusus bagi percepatan pembangunan Daerah Kepulauan termasuk didalamnya pengelolaan Sumber Daya Laut untuk kepentingan kesejahteraan  masyarakat Daerah Kepulauan. Konektifitas Daerah Kepulauan dan ketersediaan sarana prasaran yang menunjang pembanguan Daerah Kepulauan.

Nana, dari Kementerian Hukum dan HAM RI menyatakan bahwa Direktorat harmonisasi fokus pada pembahasan harmonisasi  regulasi dalam hal ini RUU Daerah Kepulauan. Beberapa catatan kami menyimpulkan masih diperlukan harmonisasi RUU Daerah Kepulauan dengan UU Pemda seperti mengenai Wilayah Pengelolaan Laut, Urusan, Kewenangan, dan adanya aturan berbeda kepada Daerah tertentu seperti DIY, Papua dan Papua Barat, Aceh serta Kawasan Khusus

Nana juga menjelaskan bahwa RPP yang mengatur Pasal 30 UU Pemda tentang Provinsi yang bercirikan kepulauan sudah sampai dalam tahap harmonisasi akan tetapi berhenti, karena tidak memungkinkan kewenangan diatur dengan RPP melainkan harus diatur dengan undang-undang.

“Sekarang RPP berada di Menko dengan nama RPP Strategi Pecepatan Pembangunan Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan,” jelasnya.

Dirinya mengusulkan RUU Daerah Kepulauan harus dipastikan menjadi undang-undang Lex Spesialis.

Adrian, mengungkapkan bahwa pada prinsipnya Negara hadir bagi seluruh rakyat Indonesia (Nawa Cita pertama). Kemudian bagaimana regulasi mengatur Provinsi Kepulauan didalam UU Pemda: 1) menyusun perencanaan dan menetapkan DAU dan DAK dengan memperhatikan Provinsi bercirikan Kepulauan; 2) DAU dengan menghitung luas lautan; 3) Penetapan DAK dengan memperhitungkan pengembangan Daerah Kepulauan; 4) Berdasarkan DAU dan DAK, dilakukan penyusunan Strategi percepatan Pembangunan Daerah; 5) menyusun Strategi percepatan meliput Pengelolaan, pembangunan Ekonomi, sosial budaya, SDM, Hukum adat terkait laut, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan; dan 6) Pemerintah Dapat mengalokasikan Dana Percepatan di luar DAU dan DAK.

“Sebagai pengatur keuangan, kami hanya sebagai makmum, artinya kami mengikuti kebijakan apa yang kemudian dipilih, kami akan menyesuaikan dengan kebijakan tersebut,” jelasnya.

Kegiatan Seminar dalam rangka Rapat Tahunan BKS Provinsi Kepulauan ini ditutup, dengan pembagian cinderamata, dan adanya suatu kesimpulan untuk terus mengusung RUU Daerah Kepulauan menjadi undang-undang Kepulauan. (FRZ/Red)


MPA, JAKARTA - Dunia Pers di Tanah Air kembali dikeruhkan oleh pernyataan-pernyataan tidak simpatik yang dilontarkan Dewan Pers beberapa waktu terakhir ini. Setelah keputusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan Dewan Pers dalam perkara gugatan PMH terhadap Dewan Pers dibatalkan PT DKI Jakarta, serta penolakan majelis hakim banding terhadap eksepsi Dewan Pers, lembaga bentukan puluhan organisasi pers Indonesia itu justru melancarkan berbagai manuver bernuansa premanisme dengan mengintervensi kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah. Hal tersebut sangat disayangkan oleh sejumlah pihak, dan mengharapkan agar Dewan Pers kembali ke khitahnya menjalankan fungsinya sebagai penjaga kebebasan dan kemerdekaan pers.

Menurut Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, ia mengungkapkan keprihatinannya atas ulah Dewan Pers yang menurutnya telah bermutasi menjadi lembaga  regulator, layaknya 'dewan perwakilan rakyat'. Bahkan menurut Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) itu, Dewan Pers hari-hari ini telah menjelma menjadi polisi atau jaksa pers yang dengan tanpa malu-malu melemparkan 'ancaman' ke dunia pers melalui tangan Pemerintah Daerah.

"Saya sangat prihatin melihat gelagat tidak bersahabat Dewan Pers selama ini. Lembaga itu telah menjelma menjadi monster yang menebarkan ancaman ke kalangan pers di daerah-daerah. Mungkin karena takut berhadapan langsung dengan kawan-kawan media, dia mengancam lewat himbauan bernada premanisme ke pemda-pemda, melarang melakukan kerjasama dengan berbagai media, terutama yang belum daftar ke lembaga Dewan Pers. Pasal berapa di UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang mewajibkan media harus daftar ke lembaga itu?" ulas Wilson dalam releasenya, Kamis 17 Oktober 2019.

Untuk itu, lanjut lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University Inggris ini, dirinya menghimbau agar Pers Indonesia tetap tenang, bekerja dan berkarya seperti biasa, lakukan tugas pokok menyampaikan informasi yang diperlukan rakyat. "Kawan-kawan Pers tidak perlu terpengaruh dengan intimidasi Dewan Pers yang dilancarkan selama ini. Awalnya, puluhan organisasi pers yang membentuk lembaga Dewan Pers itu, tapi kini mereka sudah bermutasi menjadi pemangsa terhadap induknya sendiri. Itu lembaga kehilangan jati diri, tidak paham tugasnya yang digariskan dalam pasal 15 UU No 40 tahun 1999," ungkap Wilson yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Jepang ini.

Senada dengan Wilson, Alumni Lemhannas lainnya, Fachrul Razi, MIP, menyampaikan bahwa Dewan Pers tidak diberi hak untuk mengatur-atur rumah tangga lembaga lain, seperti Pemerintah Daerah. Fachrul yang juga menjabat sebagai Senator DPD RI dari Aceh itu meyakinkan agar Pemerintah Daerah tidak perlu takut atau khawatir dengan "intimidasi" yang dilancarkan oleh 'lembaga preman pers Indonesia' (Dewan Pers - red) itu.

"Pemerintah Daerah harus mengabaikan apapun kebijakan yang bersifat mengintervensi kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah, termasuk dalam hal penggunaan anggaran bagi kepentingan publikasi program pemerintah melalui media massa. Pemda yang punya kewenangan, mengapa Dewan Pers yang mengatur-atur? Pakai ancam-mengancam lagi. Dewan Pers jangan jadi lembaga premanisme pers Indonesia," tegas Pimpinan Komite I DPD RI ini.

Fachrul, yang saat ini sedang menyelesaikan program doktor bidang Ilmu Politik di Universitas Indonesia itu, menyarankan agar Dewan Pers kembali ke khitahnya, menjalankan fungsinya sebagai penjaga kebebasan dan kemerdekaan pers. "Dunia mengakui kemajuan demokrasi di Indonesia sejak reformasi digulirkan, yang salah satunya adalah reformasi di bidang Pers. Tanpa pers yang bebas dan merdeka, mustahil demokrasi kita bisa semaju sekarang ini," imbuh Senator DPD RI yang terkenal vokal itu.

Terkait komposisi Dewan Pers yang dikuasai segelintir pengurus organisasi pers, Wilson menyampaikan bahwa hal tersebut menjadi preseden buruk dalam mewujudkan lembaga Dewan Pers yang independen sesuai harapan pasal 15 UU No 40 tentang Pers. "Sebenarnya, Keputusan Menpen No. 74 tahun 1975 tentang PWI (Persatuan Wartawan Indonesia - red) sebagai satu-satunya organisasi pers yang diakui Pemerintah sudah dicabut. Jadi, PWI tidak semestinya menjadi acuan tunggal bagi bangsa ini dalam dunia pers. Ada puluhan organisasi pers nasional yang bahkan memiliki kompetensi, kredibilitas, dan kemampuan yang lebih baik dari organisasi peninggalan orde baru itu. Dewan Pers seharusnya diisi oleh para pakar dan praktisi pers dari puluhan organisasi pers ini yaa," ujar Wilson yang juga menyelesaikan studi pascasarjana bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, itu mengakhiri releasenya. (APL/Red)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.