-->

Latest Post

Photo Istimewa

MPA  – Presiden Joko Widodo berharap situasi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, bisa kembali normal pascakerusuhan yang terjadi beberapa waktu silam. Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat dirinya bertemu dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat Papua, di Wamena, Senin, 28 Oktober 2019.

"Kita semua ingin agar di Wamena ini kembali normal baik fisik maupun psikologis politiknya, dan saya meyakini dari apa yang disampaikan tadi oleh para tokoh, memberikan semangat kepada kita semuanya agar masalah ini bisa kita selesaikan secepat-cepatnya," kata Presiden Jokowi.

Menurut Presiden, kerusuhan pernah terjadi juga di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Sumatera, di Kalimantan, hingga di Solo. Presiden mengingatkan bahwa ada kerusakan fisik dan kepercayaan akibat kerusuhan tersebut yang harus jadi catatan bersama.

"Apa yang saya ingat dari kejadian itu? Memang untuk mengembalikan fisiknya itu mudah, tapi yang sulit mengembalikan kepercayaan. jadi ini yang patut kita catat bersama-sama," ungkapnya.

Oleh sebab itu, Presiden langsung bergerak cepat memerintahkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono untuk segera memperbaiki kerusakan-kerusakan yang bersifat fisik. Sebelumnya, Presiden meninjau langsung Pasar Wouma dan memberi target rehabilitasi akan selesai dalam waktu dua minggu.

"Baru nanti tahapan kedua mengembalikan kepercayaan kita semuanya bahwa Pegunungan Tengah, bahwa Wamena ini adalah kota yang damai, yang aman, yang penduduknya, saya sudah empat kali ke sini, sudah sangat ramah tamah sekali. Jadi kalau ada kejadian ini, inilah tugas kita bersama untuk menyelesaikan," paparnya.

Presiden Jokowi juga mengatakan, Papua adalah provinsi yang pertama ia kunjungi usai dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. Menurutnya, pesan jelas dapat langsung ditangkap dari hal tersebut.

"Saya hanya ingin menunjukkan, setelah pelantikan pada periode ini yang saya kunjungi pertama adalah Tanah Papua. Pesan yang ditangkap mestinya jelas. Pesannya apa? Jelas. Enggak usah saya jelaskan," tandasnya.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi didampingi oleh antara lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Wakil Menteri PUPR Wempi Wetipo, Plt. Kapolri Komjen Ari Dono, dan Gubernur Papua Lukas Enembe.


Jayawijaya, 28 Oktober 2019
Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Erlin Suastin

Oleh: Yuliyati Sambas
Pegiat literasi, Komunitas Penulis Bela Islam

"Kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri, kita harus swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, agar kita bisa survive sebagai suatu bangsa." (Prabowo Subianto)

Visi misi yang pernah dilontarkan oleh Prabowo Subianto yang disampaikan dalam momen debat calon presiden putaran kedua itu tentu benar adanya. Topik swasembada pangan menarik untuk diperbincangkan mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara tentu butuh akan ketahanan pangan.

Hari Pangan Sedunia atau World Food Day yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, pada tahun 2019 menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya. Dengan tema global Hari Pangan Sedunia tahun 2019, "Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk #Zerohunger 2030", semua pihak diminta ikut memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang.

“Mencapai 'Tanpa Kelaparan' (zero hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu. (ANTARA news, 16/10/2019)

Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di saat masa pemerintahannya yang pertama, tepatnya pada Desember 2014 silam pernah menjanjikan bahwa RI akan mampu swasembada pangan dalam tiga tahun pemerintahannya. Namun, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton. Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton. (Indonesiainside.id, 18/9/2019)

Di balik itu ada satu fakta yang sangat mencengangkan terjadi di negeri dengan julukan gemah ripah loh jinawi, yakni ditemukan sebagian masyarakat yang kelaparan. Sungguh ironis. Dikabarkan bahwa Suku Anak Dalam yang berada di Kampung Duren Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin, Jambi terancam kelaparan. Kesulitan mengakses kecukupan pangan menjadikan mereka terpaksa rela untuk memakan monyet hasil buruan. Bahkan salah satu warganya yang bernama Jhon Temenggung berkata bahwa tak jarang mereka hanya mampu mengkonsumsi air putih untuk sekedar mengganjal perut. (Harianjogja.com, 17/10/2019).

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Peribahasa itu kiranya tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat negeri ini ketika menggantungkan harapannya pada kinerja pemerintah dalam meraih kondisi ketahanan pangan. Jangankan terwujud swasembada sektor pangan, yang terjadi justru kondisi perekonomian dari masyarakat secara umum belum bergeser dari kata sejahtera. Salah satu parameter sejahtera adalah ketika suatu negeri tidak didapati masyarakat yang kelaparan dan tidak mampu mengakses kebutuhan asasi berupa pangan.

Pertambahan jumlah penduduk kerap dituding sebagai biang dari melesetnya janji pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan. Ditambah dengan adanya pengurangan lahan sawah yang demikian signifikan akhir-akhir ini. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi mengungkapkan Indonesia telah kehilangan 650 ribu hektar lahan sawah. (detikfinance, 16/10/2019). Hal ini terjadi karena adanya alih fungsi sawah yang tergeser mengikuti program pembangunan infrastruktur yang sangat masif dikerjakan oleh pemerintah. Mantan Wapres Jusuf Kala pun membenarkan terkait hal ini. Pada kesempatan acara Dialog 100 Ekonom di Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019) ia mengatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk namun luas pesawahan produktif makin berkurang menjadikan cita-cita swasembada sulit untuk diraih. (Indonesiainside.id, 18/10/2019)

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No 7 Tahun 1996, ada empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, yaitu kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap pangan, serta kualitas keamanan pangan. Dari keempat komponen tersebut tak bisa dipungkiri bahwa kondisi kelaparan merupakan hal terburuk dari gagalnya suatu pemerintahan dalam mencapai ketahanan pangan. Dimana hal ini berbanding lurus dengan kemiskinan dan kelangkaan bahan makanan pokok.  

Jika mau jujur melihat fakta betapa akar permasalahan hilir dari buhul besar masalah ketahanan pangan adalah kemiskinan dan kekurangan gizi.

Kemiskinan di pedesaan/pedalaman yang berimbas pada ketidakmampuan masyarakat memenuhi pangannya secara berkualitas dan kontinyu pada kenyataannya buah dari penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme. Di samping itu tampak pula lepas tangannya pemerintah dalam mengurusi rakyatnya dengan cara memandirikan keluarga-keluarga petani dan petani-petani rakyat. Namun di sisi lain, korporatisasi pangan terus-menerus digenjot.

Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanya jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem ekonomi neoliberal kapitalisme yang menyebabkan terjadinya korporatisasi pangan. 

Berbanding terbalik dengan
sistem Islam dalam memandang dan menyelesaikan masalah pangan. 

Sebagai agama yang komprehensif, Islam memiliki aturan yang detil dan menyeluruh terkait perpaduan kebijakan ekonomi, politik dan pertanian. Hal ini telah terbukti mampu memberi kesejahteraan yang luar biasa dapat menjangkau wilayah yang demikian luas. Beberapa hal yang dijadikan prinsip oleh negara dalam sistem Islam (Daulah Khilafah Islam) pada saat mewujudkan ketahanan pangan  adalah sebagai berikut:

Pertama, negara akan memberikan subsidi yang besar bagi para petani. Hal ini dilakukan agar mereka dapat memproduksi pangan dengan biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang diperoleh juga besar. Sebab, pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap negara lain bisa mengakibatkan negara akan dengan mudah dijajah dan dikuasai.

Kedua, politik pertanian negara khilafah diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil. Sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun dapat terpenuhi.

Ketiga, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Oleh karena itu, tentunya kebijakan pangan khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan. Bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Demikianlah kebijakan dan arah politik negara dalam pandangan Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan yang hakiki bagi seluruh masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam rentetan sejarah yang demikian panjang di saat masyarakat dunia diurus oleh satu kekuatan politik global yakni Daulah Khilafah Islam.

Maka pada hakikatnya cita-cita menuju swasembada dalam rangka meraih ketahanan pangan adalah utopis semata jika tidak dilakukan dengan mekanisme syariat Islam kafah di bawah institusi Daulah Khilafah Islam 'ala Minhaj an-Nubuwwah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Foto Ilustrasi

Banyak yang bertanya cara mengatasi selingkuh itu bagaimana, pertanyaan dengan kalimat yang singkat, jawabnya “tentu ada pada diri sendiri” Namun, cara terbaik untuk menghindari hubungan yang diwarnai perselingkuhan adalah menghindari orang yang berpotensi melakukan hal tersebut.

Hal tersebut dapat kita lakukan dengan mencari dan mengenali tanda, "peringatan" sebelum memutuskan untuk menjalin suatu hubungan lebih jauh dengan seseorang. Alangkah baiknya di telusuri terlebih dahulu.

Jangan terlibat dengan narsisis. Lihatlah terlebih dahulu beberapa tanda yang kamu temukan dalam diri seorang narsisis.

Lihat tandanya, Narsisis adalah orang yang memiliki perasaan cinta terhadap diri sendiri, namun terlalu berlebihan.

Apabila hubungan sudah bergulir dalam rumah tangga, cobalah untuk belajar saling memahami pasangan hidup, terutama memperkuat pernikahan dengan kehidupan seks yang sehat.

Jika pernikahan diwarnai dengan kehidupan seks yang saling memuaskan kedua pihak. Kondisi ini akan sangat membantu. "Tak ada langkah lain yang dapat dilakukan oleh siapa pun untuk menjadikan dirinya bebas atau tahan dari perselingkuhan," jika diantara pasangan sudah tidak lagi mempunyai rasa.

"Berhubungan seks secara teratur dengan pasangan adalah benteng pertahanan yang paling baik untuk luput dari perselingkuhan," Meskipun demikian, saran ini tidak berlaku bagi mereka yang memang mengidap gejala narsisis dan juga para pecandu seks.

Selanjutnya, jika kamu mengetahui bahwa pasangan mu tidak setia dan dia ingin menyudahinya, serta memperbaiki hubungan, maka hanya diri sendirilah yang bisa memutuskan. Apakah ingin memperbaiki hubungan, atau menyudahinya. 

Untuk mengetahui dan melihat seberapa sehat hubungan yang telah berjalan, “tentu” diwarnai dengan memperbanyak komunikasi atau hal signifikan lainnya, itu adalah langkah yang positif.

Langkah selanjutnya, menemui orang profesional dalam urusan perselingkuhan yang bisa memberikan pandangan obyektif, apakah sebuah hubungan layak dilanjutnya.  "Hanya diri sendirilah yang bisa menjawab, tapi alangkah baiknya jika suatu keputusan dipertimbangkan terlebih dahulu, semoga bermanfaat. (ar)


Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.