-->

Latest Post


Oleh: Zahra Azzahi
Member AMK

Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada hijrah. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada Perang Badar. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada penaklukan Kota Makkah, Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada umat Islam. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada dunia ini.” (Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Alwy al-Maliki).

Kelahiran Nabi Muhammad Saw memiliki makna yang sangat agung, tanggal 12 Rabiul Awal adalah hari yang istimewa, penuh kegembiraan, pada tanggal ini telah lahir Nabi Saw yang mulia membawapetunjuk dari Allah Swt. Beliau diutus dangan membawa risalah Islam bagi seluruh manusia dan alam semesta. Rasulullah Saw mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membebaskan manusia dari berbagai kezaliman menuju keadilan, juga memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.

Tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1H juga menjadi hari pertama Nabi Saw memasuki Madinah, dan menjadi awal pendirian Daulah Islamiyah secara sempurna dan penerapan syariah Islam. Selain sebagai Nabi dan Rasul dengan tugas menyampaikan wahyu, beliau juga menjadi penguasa yang diangkat oleh masyarakat Madinah melaluai Baiat ‘Aqabah II . Dalam hal ini Allah Swt memerintahkan Nabi Saw untuk menghukumi  dan menerapkan syariah-Nya di tengah-tengah masyarakat.

Nabi Saw pun menjelaskan dan mencontohkan bagaimana penerapan syariah dalam Daulah Islamiyah, Beliau memutuskan perkara di tengah masyarakat, menerapkan hukum-hukum Islam atas mereka serta memimpin segala urusan negara dan masyarakat. Hal ini terus berlangsung selama sepuluh tahun hingga datang kesedihan yang mendalam ketika Allah Swt mewafatkan Beliau pada hari Senin pagi 12 Rabiul Awal Tahun 11H. (Ibnu Katsir, As-Sirah an-Nabawiyyah, IV/507).

Sekitar tiga bulan sebelum wafat, Rasulullah Saw pada saat Haji Wada berpesan dalam khutbah beliau kala itu:
Wahai manusia, sungguh aku tinggalkan di tengah kalian perkara yang jika kalian berpegang teguh, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Marwaziy dan al-Ajuri).
Sepeninggal Rasulullah penerapan syariah Islam terus dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin kemudian dilanjutkan oleh Khilafah Bani Umayyah, lalu oleh Khilafah Bani Abassiyah, kemudian oleh Khilafah Bani Utsmaniyah hingga berakhir pada 1924M.
Sejak keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah hingga saat ini umat muslim seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tercerai-berai dan tidak memiliki tempat berlindung. Maka sebagai wujud  kecintaan kita pada Nabi Saw, sudah menjadi tugas dan kewajiban kita untuk terus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah-sunnah yang beliau tinggalkan, serta melanjutkan dan mendakwahkan risalah yang telah Rasulullah Saw bawa yaitu penerapan syariah Islam.
Wallahu 'Alam Bishawab.


Oleh:  Ani Ghaziyah
(Jurnalis, Pemerhati Generasi)

Masalah adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapan,  jalan hidup selalu diwarnai dengan masalah, mulai dari masalah kecil, menengah,  dan besar. Setiap orang yang hidup tidak bisa lari dari masalah, setiap jam, hari, minggu, bulan, tahun bahkan sepanjang hidup,  masalah tidak pernah bosan menjumpai kita, setiap masalah yang datang banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga,  karna masalah ibarat teka teki yang sulit untuk ditebak dan dipecahkan,  terkadang hadirnya masalah dapat berpengaruh pada tekanan mental.

Hingga saat ini banyak orang tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah hidup, seperti permasalah ekonomi,  pendidikan, sosial, politik,  dll. sebagian ada yang mencari jalan pintas,  dan ada yang tenang dalam menyikapi masalah tersebut, bahkan ada pula yang santai seolah-olah hidup ini tidak ada masalah, semua tergantung bagaimana cara kita menanggapinya.

Masalah ekonomi adalah permasalah utama semua orang, ekonomi adalah pondasi yang harus kokoh jadi tempat berpijak, jika ekonomi lemah maka akan berdampak pada semua lini kehidupan,  semua orang butuh pangan,  sandang, dan papan, apalagi hidup di era digital saat ini,  kebutuhan hidup terus meningkat, semakin hari biaya hidup semakin mahal, tidak sedikit orang yang mempertaruhkan segalanya hanya demi memenuhi kebutuhan perutnya. Ibarat pepatah minang " Bialah bacakak jo urang dari pado bacakak jo galang-galang"

Adapun pendidikan adalah hal penting yang harus di cicipi oleh semua kalangan,  dalam menyusuri peta  kehidupan kita tidak bisa lari dari ilmu, apapun yang akan kita lakukan haruslah mempunyai landasan, jika bertindak tanpa dasar itu adalah sebuah kebodohan yang akan menghantarkan kita pada jurang kesengsaraan. Jika ingin meraih dunia butuh ilmu,  dan jika ingin meraih akhirat juga butuh ilmu,  seperti pepatah Arab" Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga Liang lahat".

Begitupun dengan permasalah politik, dimana kebanyakan orang akan menghalalkan segala cara hanya untuk bisa menempati kursi kekuasaan. Tidak cukup itu,  berbagai aturan pun akan dibuat demi melancarkan misinya, bahkan tidak sedikit rakyat yang menjadi korban,  alih-alih untuk mensejahterakan rakyat,  bahkan yang terjadi adalah pemalakkan. 

Akibat dari itu berpengaruh pada kesehatan mental dan sosial masyarakat, masyarakat kehilangan identitas, moral pun tak lagi dijunjung tinggi, semua aspek kehidupan tidak lagi berjalan dengan semestinya, tidak ada lagi arahan dan control, semua beterbangan bebas diangkasa,  akal sehat tidak lagi menjadi standart untuk berfikir jernih,  semua menjadi kacau dan tidak beraturan,  masalah demi masalah terus bertambah dan menumpuk tanpa ada solusi dan penyelesaian. Semua masalah terus menekan, menghantam, bahkan tidak tertampung lagi oleh otak manusia, sehingga menjadi pecah berderai, banyak yang prustasi,  depresi, galau, putus asa, dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya, karna akibat volume terlalu penuh dan tidak ada alat yang dapat mengukurnya, semua tekanan  itu menjadi beban mental,  sampai detik ini pun belum ada orang yang menemukan alat pengukur tekanan mental.

Oleh: Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi, Komunitas Penulis Bela Islam AMK

"Sejahat-jahatnya harimau tak akan memakan anaknya sendiri." Peribahasa ini demikian menggambarkan betapa tidak ada orangtua yang tega membuat celaka anaknya sendiri. Namun kini fakta terpampang di hadapan kita dimana ada sederet kasus anomali orangtua yang tega berbuat jahat hingga mampu menghabisi nyawa permata hatinya sendiri.

Beberapa waktu lalu telah terjadi sebuah tragedi yang demikian menghenyakkan. Diberitakan seorang ibu berinisial NP (21) mengaku menyesal setelah menganiaya anaknya ZNL (2,5) hingga tewas dengan cara digelonggong air. NP mengaku bahwa saat kejadian ia tidak mampu mengontrol emosinya hingga tega melakukan perbuatan terkutuk itu. (detikNews, 25/10/2019)

Hal di atas bukanlah kasuistik. Ia adalah satu di antara segudang fakta mengerikan yang mengemuka. Ada Siti Wakidah alias Ida (30) telah menganiaya anak keduanya, Fadli (6) hingga meregang nyawa. (liputan6.com, 18/07/2019). 

Karlia dan anak perempuannya yang berusia tujuh tahun, ditemukan tewas bersimbah darah dalam posisi berdekatan. Keduanya dinyatakan murni sebagai kasus pembunuhan dan bunuh diri. Tragedi ini terjadi di Kelurahan Demang Lebar Daun, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang Sumatra Selatan. (liputan6.com, 23/04/2019)

Di Tipar Cakung, Jakarta Timur. SH (3) tewas di rumah kontrakan orangtuanya di Cakung Barat, Jakarta Timur dan diduga dibunuh oleh ibu kandungnya. (liputan6.com, 2/03/2019)

QLR, balita berusia 16 bulan, meninggal dunia pada Sabtu, 19 Januari 2019 lalu oleh ibunya, Rosita di rumah kontrakannya daerah Kian Santang, Priok, Kota Tangerang (liputan6.com, 22/01/2019), dan seterusnya.

Sungguh sederet fakta di atas demikian menyesakkan nurani. Fenomena apakah gerangan yang menjadikan sosok ibu yang merupakan insan terdekat sang buah hati begitu tega melakukan perbuatan durjana tersebut? Akar penyebabnya tentulah suatu problematika kehidupan yang sangat dahsyat, sehingga mampu meruntuhkan kekuatan naluri alamiah ibu.

Sosok ibu dari setiap mahluk telah dibekali oleh Sang Maha Pencipta naluri untuk mengasihi, menyayangi dan melindungi buah hati belahan jiwanya. Apatah lagi bagi insan yang disertakan perangkat akal, sudah barang tentu naluri tersebut demikian melekat kuat. Kasih sayang mereka telah teruji sejak proses perjuangan antara hidup dan mati demi kelahiran anak-anaknya yang terkasih.

Beragam analisa mengemuka terkait faktor penyebabnya. Mulai dari faktor kesulitan ekonomi akut yang diderita oleh sebagian besar masyarakat. Kemiskinan sistemik karena diberlakukannya sistem kapitalisme telah berhasil menjadikan rakyat melarat hingga sekarat. Sosok para suami di masa kapitalis kini demikian kesulitan dalam mewujudkan perannya sebagai pencari nafkah. Maka sang ibu pun akhirnya wajib turut serta memikirkan beban ekonomi keluarga. Tak sedikit dari para ibu yang ikut bekerja dengan pendapatan yang tidak seberapa.

Ditambah dengan sekularisme yang dianut negeri ini telah berhasil melemahkan pondasi keimanan  sebagian besar masyarakat.

Budaya individualis telah menjangkiti masyarakat. Menjadikan kesulitan dan permasalahan yang dihadapi seolah bukan hal yang wajib untuk saling bantu satu sama lainnya.

Negara pun dalam hal ini telah abai dengan permasalahan yang mendera rakyat. Dengan dalih liberalisasi dan memandirikan masyarakat dari sisi ekonomi.

Maka ketika beban kehidupan yang teramat berat tersebut dipikul. Saling tumpang tindih antara satu permasalahan dengan masalah lainnya. Muncullah individu-individu dengan kondisi depresi akut. Inilah yang disinyalir penyebab dari tercerabutnya naluri kasih sayang seorang ibu.

Sungguh demikian mengenaskan hidup dalam kubangan sistem kapitalis demokrasi. Berbeda dengan sistem Islam. Sebagai agama yang paripurna, Islam memiliki pandangan yang holistik terkait kehidupan. Wa bil khusus untuk mengurai permasalahan depresi sistemik dari para ibu di atas, Islam memiliki prinsip solusi sebagai berikut:

Pertama, peran laki-laki dan perempuan telah didefinisikan dalam kehidupan keluarga, dan mengangkat status penting perempuan sebagai istri dan ibu. Hal ini akan mencakup jaminan penyediaan nafkah bagi perempuan sehingga mereka tidak diperkenankan ditekan untuk mencari nafkah dan mengganggu tugas-tugas penting mereka terhadap anak-anak dan keluarga mereka. Dalam hal ini para suamilah yang berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya. *Jika suami dalam kondisi sakit berat dan tidak mampu memberi nafkah secara mencukupi atau meninggal, maka kewajiban menafkahi beralih pada kerabat laki-laki suami. Mulai dari ayahnya, kakak/adik laki-lakinya, pamannya dan seterusnya. Sementara pada saat terjadi perceraian maka jalur nafkah seorang perempuan kembali pada walinya yakni ayahnya, kakak/adik lelakinya, paman dan seterusnya.* Bahkan jika seorang perempuan tidak memiliki kerabat laki-laki yang mendukungnya, maka Islam memandang, negara berkewajiban menyediakannya. Oleh karena itu hukum Islam yang dilaksanakan secara menyeluruh sangat mendukung para ibu dalam memenuhi kewajiban vital mereka yaitu merawat dan membesarkan anak-anaknya serta menjaga rumahnya. Mereka juga dijamin keamanan finansialnya dan dipastikan bahwa mereka tidak pernah ditinggalkan untuk mengurus diri mereka sendiri dan anak-anak mereka, atau dibiarkan menderita kesulitan dalam hal keuangan. Nabi Saw bersabda,

«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأِهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ» (رواه مسلم)

Artinya: “Jika seseorang meninggal (di antara kaum muslim) meninggalkan beberapa harta, harta tersebut akan diserahkan kepada ahli warisnya; dan jika dia meninggalkan hutang atau tanggungan, kami akan mengurusnya.” (HR Muslim)

Kedua, pandangan Islam tentang rasa hormat yang besar terhadap peran keibuan dan posisi pentingnya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat demikian dijaga oleh syariat Islam. Hal ini membentuk pola pikir masyarakat terhadap peran vital perempuan ini. Peran strategis ibu meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat dan para ibu akan dihormati dan diperlakukan dengan sangat hati-hati oleh anak-anak mereka. Sebagai balasannya, para ibu menghujani anak-anak mereka dengan cinta dan kasih sayang yang sangat besar.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar Ra, seorang sahabat Nabi Saw dan ulama besar Islam, pernah melihat seorang laki-laki Yaman melakukan tawaf di sekitar Ka'bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Laki-laki itu berkata kepada Abdullah bin ‘Umar Ra, “Wahai Abdullah ibn Umar, aku menggendong ibuku di punggungku lebih lama daripada dia membawaku di rahimnya. Wahai Abdullah, sesungguhnya aku berjalan dari Yaman, aku telah menyelesaikan setiap haji dengan menggendong ibuku. Apakah aku sudah memenuhi khidmah dan kewajibanku dalam melayani orangtuaku?”

Abdullah ibn Umar Ra berkata “Tidak wahai saudaraku. Kau bahkan belum memenuhi satu napas yang ibumu keluarkan pada saat melahirkanmu!”

Ketiga, sistem pendidikan, media serta lingkungan umum Islam, masyarakatnya akan membantu para ibu muslimah dalam tanggung jawab besar ketika membesarkan anak-anak mereka menjadi pribadi Islam yang kuat, para hamba Allah yang taat.

Keempat, Islam memandang bahwa negara dalam hal ini wajib memberi kemudahan kepada pihak laki-laki (sebagai suami) dalam menjalankan perannya sebagai pencari nafkah. Hal ini akan menjadikan para ibu tercukupi kebutuhan asasi dan kolektif dan fokus dalam menjalani perannya untuk mengasuh dan mendidik buah hatinya.

Sungguh solusi Islam yang menyeluruh di atas hanya dapat terwujud jika syariat diterapkan secara sempurna. Dimana kesempurnaan penerapannya hanya bisa mewujud di bawah institusi yang diwariskan oleh Rasulullah Saw yakni Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.