-->

Latest Post

Oleh : Asy Syifaa 
Member Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Setiap manusia pasti menginginkan hidup sehat dan tidak rentang terkena penyakit. Sekalipun terkena penyakit, tentu itu bukan suatu keinginan manusia. Semua yang terjadi sudah menjadi kehendak sang Khaliq, yaitu qodho yang tak dapat dicegah oleh manusia, karena keterbatasannya. Meskipun saat sakit tak ada biaya, segala ikhtiar akan diupayakan demi kesembuhan yang diimpikan, padahal kita mengetahui bahwa kesehatan adalah suatu kebutuhan yang sangat urgent yang harus diperhatikan.

Ketika berbicara rakyat tentulah diatasnya akan ada pemimpin yang mengurusi hajat hidup rakyat, salah satunya kesehatan. Rakyat akan dirawat dengan sebaik-baiknya, mendapatkan pelayanan yang baik hingga keadaannya benar-benar stabil. Tetapi hari ini kondisinya berbeda dari harapan yang semestinya. 

Pasalnya rakyat diminta menjamin kesehatannya sendiri dengan membayar premi BPJS per bulan. Jelas ini menunjukkan lepas tanggannya penguasa dalam mengurusi rakyat. Rakyat mendapatkan hak pelayanan kesehatan dengan membeli (bayar premi), bukan diberikan sebagai hak yang harus didapatkan rakyat. 

Rakyat makin dipersulit dengan adanya kenaikan premi BPJS kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan Kesehatan yang ditandatanganin pada 24 Oktober 2019. Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan untuk kelas 1 yang sebelumnya harganya Rp. 80.0000 naik menjadi Rp. 160.000, sedangkan untuk premi kelas 2 sebelumnya Rp. 51.000 naik menjadi Rp. 110.000. Dan untuk kelas 3 sebelumnya harganya Rp. 25.500 menjadi Rp. 42.000. (www.kompas.com)

Jika dihitung-hitung kembali anggaran BPJS kelas 1 = Rp. 160.000 per orang dikali jumlah anggota keluarga sebanyak 6 orang (160.000 x 6 = Rp. 960.000) dalam 1 bulan. Kalau 1 tahun = Rp. 960.000 x 12 = Rp. 11.520.000. Sedangkan jika kelas 2 = Rp. 110.000 per orang dikali jumlah anggota keluarga sebanyak 6 orang (110.000 x 6 = Rp. 660.000) dalam 1 bulan. Kalau 1 tahun = Rp. 660.000 x 12 = Rp. 7.920.000. Untuk premi kelas 3 = (42.000 x 6 = Rp. 252.000 dalam 1 bulan. Kalau 1 tahun = Rp. 252.000 x 12 = Rp. 3. 024.000.

Iuran BPJS yang dua kali lipat menunjukkan jumlah nominal yang cukup besar. Pasalnya saat ini semua kebutuhan serba mahal, pendapatan yang tidak sesuai dengan jerih payah masyarakat. Sedang masyarakat dipaksa untuk membayar BPJS. Tidak peduli yang tidak sakit ataupun sakit, yang memiliki banyak uang ataupun tidak. Semua masyarakat dianjurkan untuk membayar. 

Sedangkan pengeluaran masyarakat selalu bertambah, tentu tidak mungkin berkurang. Ditengah kondisi naiknya BPJS, masyarakat pun dihimpit dengan kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik). 

Bagaimana masyarakat tidak pusing memikirkan beban hidup yang semakin melejit, belum lagi biaya pendidikan, biaya kebutuhan pokok sehari-harinya, biaya kesehatan, dan sebagainya. Alih-alih semua persoalan diberikan kepada rakyat, negara alih tangan dari tugasnya. 

Makanya rakyat sakit disuruh membayar sendiri. Ketika masyarakat mendengar kenaikan harga BPJS, tentu bayangannya tak ingin sakit. Tapi qadarullah jika Allah berkehendak sakit, mau tidak mau ikut membayarnya. Dengan harapan akan menjadi ringan. Tetapi, justru semua itu tidak sesuai dengan harapan. Pelayanan yang diberikan melalui BPJS kurang memadai. Seperti, dari segi obat kelas 3 diberikan obat yang murah, ditambah jika pasien belum sembuh total, ia akan diminta pulang oleh pihak rumah sakit.

Fenomena yang telah terjadi, pelayanan dalam memberikan obat mengalami antrian yang sangat panjang sekali. Keterlambatan dalam pengambilan obat juga bisa berdampak pada nyawa seseorang. Seakan-akan antrian panjang tadi untuk mengambil obat tak ada artinya, jika harus kehilangan nyawa orang yang disayangi. Kondisi kesehatan yang tidak gratis, pelayanan yang kurang baik, semua itu telah membuat resah masyarakat.  

Apa yang tengah terjadi hari ini, ketika sebuah permasalahan dikembalikan kepada hukum buatan manusia yang memiliki keterbatasan, semua itu tidak akan memberikan solusi atas permasalahan justru menambah masalah baru, beban rakyat semakin bertambah. Sebab kebijakan yang diambil lahir dari sistem kapitalis sekuler, pasti menuai banyak masalah sebagai cerminan dari kerusakan dan kegagalan barat sekuler. 

Adanya BPJS lahir dari aqidah selain Islam, yang memisahkan agama dengan kehidupan termasuk persoalan kesehatan. Kesehatan ini dibuat dikomersialisasi untuk meraih materi. Inilah wajah asli sistem kapitalis demokrasi. Tatkala kesehatan dibuat obyek bisnis oleh para pemilik modal, inilah yang akan dikhawatirkan. Jiwa manusia melayang dengan sia-sia akibat tak mendapatkan pelayanan yang baik, disisi lain para tenaga medis termasuk dokter pun merasa dirugikan, gajinya ada yang belum menerimanya, mereka bekerja dibawah tekanan bisnis.

Masyarakat bersusah payah membayar premi BPJS, mereka juga belum tentu butuh, ketika ada yang butuh tak kunjung juga mendapatkan pelayanan yang bagus. Inilah yang membuat harapan masayarakat pupus menjadi peserta BPJS. 

Berbeda manakala pelayanan kesehatan di masa kejayaan Islam. Di masa-masa kejayaan Islam memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik sepanjang masa, dilingkupi atmosfir kemanusiaan yang begitu sempurna. Karena aturan yang dipakai adalah syariah Islam secara kaffah, bagaimana mengelola perekonomian sesuai dengan syariah Isalm, bukan justru di privatisasi. Negara langsung bertanggung jawab dalam pemenuhan hajat pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas terbaik.
Hadirnya seorang pemimpin sebagai garda terdepan yang mengurusi urusan rakyat, termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Seperti sabda Rasulullah saw. : “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah laksana penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari).

Ketika seseorang diamanahi menjadi seorang pemimpin, maka ia harus benar-benar memastikan kondisi rakyatnya, apakah sudah terpenuhi segala kebutuhan dasarnya ataukah belum. Karena tugas ia menjadi seorang pemimpin tidak sekedar jabatan dunia yang diraihnya, tetapi akan ada pertanggung jawaban di hadapan Allah atas amanah yang telah diemban dipundaknya selama ini. 
Wallahu a’lam bishoab


MPA, JAKARTA - Belasan pengurus DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) kembali mendatangi kantor PT. North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE) di Jalan Darmawangsa VII No.16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka meminta kepastian  pertanggungjawaban terkait permasalahan tanah adat Lobu Sitompul di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang telah dikuasai PT NSHE.

“Kehadiran kami ke PT NSHE yang keempat kalinya  ini untuk meminta jawaban dari surat yang telah kami kirimkan ke manajemen PT. NSHE. Namun, hingga sore ini pihak perusahaan belum juga memberikan kepastian perihal surat tersebut,” kata Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan di depan pintu gerbang PT. NSHE pada Kamis  sore (14/11/2019).

Saat mendatangi PT. NSHE kali ini, Jabar Hasibuan didampingi Sekretaris OKK DPP JBMI Herman Saragih, serta beberapa pengurus JBMI Tapanuli Selatan yang tanahnya dikuasai PT. NSHE. Team JBMI mempertanyakan respon perusahaan itu terhadap surat yang dilayangkan DPP JBMI Nomor 194/Sek/DPP JBMI tertanggal 26 Oktober 2019 yang ditujukan ke pihak pimpinan PT. NSHE, perihal: ‘Pembayaran Konpensasi Hak-hak Warga JBMI.’ 

Surat yang ditandatangani Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul S.IP, M.AP itu berbunyi: Sehubungan dengan surat pengaduan dan permintaan bantuan warga JBMI Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, kepada Ketua Umum JBMI, terkait permasalahan Tanah Adat Lobu Sitompul yang berada di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah dikuasai PT. NSHE dan sampai saat ini belum dibayar kepada warga JBMI yang tergabung dalam Tanah Adat tersebut sebagai konpensasi lahan yang dipakai oleh PT. NSHE untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terkait hal tersebut, maka DPP JBMI meminta kepada pihak PT. NSHE untuk segera memberikan hak-hak warga JBMI.

Hisar Nadeak, perwakilan dari ahli waris tanah adat Lobu Sitimpul, mengungkapkan, pada tahun 2013 pihak PT. NSHE ingin membebaskan ratusan hektar lahan yang akan dipergunakan untuk proyek PLTA Simarboru yang terletak di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pembangunan PLTA ini untuk mendukung pasokan listrik di Sumatera Utara, dan merupakan bagian dari program prioritas nasional, yaitu program ketenagalistrikan 35.000 megawatt.

Menurut Hisar Nadeak, dari ratusan hektar itu, sekitar 50 hektar merupakan tanah adat Lobu Sitompul. Di hadapan perangkat desa, pihak PT. NSHE berjanji akan membayar kepada para ahli waris tanah adat Lobu Situmpul. Namun, sekian lama para ahli waris menunggu pembayaran untuk pembebasan lahan itu, tidak juga direalisasikan pihak PT. NSHE.

Pada tanggal 10 Januari 2019, Hisar Nadeak dan beberapa ahli waris didampingi pengacara Bangun Siregar, SH diterima pihak manajemen PT. NSHE yang diwakili oleh Catur didampingi pengacara Syamsir Alam Nasution, SH. Dalam pertemuan yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta itu, Catur menanyakan besaran harga per meter yang ditawarkan ahli waris kepada PT. NSHE.

“Ahli waris menyebutkan tanah seluas 50 hektar itu harga per meter 60 ribu rupiah, sehingga totalnya 30 miliar rupiah. Namun, tidak ada kata kesepakatan dari pihak PT. NSHE,” ujar Hisar Nadeak.

Pertemuan kedua belah pihak kembali dilakukan pada  tanggal 11 Maret 2019. Masing-masing pihak membawa peta tanah. Namun, pihak PT. NSHE menyebutkan biaya pembebasan tanah ahli waris seluas 50 hektar itu sebesar Rp 4 miliar, dengan harga per meter Rp 8.000. Kembali, pertemuan ini tidak menemukan kesepakatan.   

Sementara itu, Tajudin Sitompul dan Armansyah Sitompul, yang juga pengurus JBMI Tapsel meyakini bahwa hingga saat ini para ahli waris tanah adat Lobu Sitompul belum mendapat pembayaran dari pembebasan tanah seluas 50 hektar tersebut oleh PT. NSHE.

Setelah sabar menanti hingga sore hari, pengurus DPP dan wilayah JBMI Tapsel belum juga mendapat kabar tentang balasan surat yang telah dikirim ke PT. NSHE. Seorang sekuriti dijadikan penyampai informasi oleh pihak PT. NSHE.

“Hubungi saja Pak Rony. Semua urusan sudah diserahkan ke Pak Rony,” ujar sekuriti itu kepada pengurus JBMI yang menanyakan perihal kelanjutan jawaban surat yang telah dikirim DPP JBMI ke PT. NSHE.

Menurut Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan, pihaknya memang pernah bertemu dengan Rony, orang yang dipercayakan PT. NSHE untuk menangani permasalahan ini. Kepada Jabar dan pengurus JBMI laiinnya, Rony berjanji akan memberikan jawaban atas surat tersebut antara hari Selasa atau Rabu, pekan ini.

Namun ketika pihak JBMI akan melakukan pertemuan dengan pihak PT. NSHE pada Selasa dan Rabu sebagaimana dijanjikan, mereka dihadang penjagaan dari pihak kepolisian. "Ketika hari Selasa kami datang ke PT. NSHE, ternyata sudah dijaga aparat kepolisian. Begitu pula ketika kami datang kembali di hari Rabu dan Kamis ini, kembali dijaga oleh aparat kepolisian,” sergah Sekretaris OKK DPP JBMI Herman Saragih.

Untuk klarifikasi dan konfirmasi, media ini mencoba menghubungi Rony dari pihak PT. NSHE via telepon. Namun, setelah beberapa kali dihubungi, Rony tak menjawab panggilan telepon tersebut. Ia hanya membalas via WhatsApp bahwa dirinya sedang meeting.

Pewarta media ini juga mencoba menghubungi Rijal, bagian manajemen PT. NSHE. Namun, dia juga tak memberikan jawaban spesifik. Rijal hanya memberitahukan via WhatsApp bahwa dirinya sedang bertugas di Medan. Jadi, tidak mengetahui kondisi yang terjadi di kantor PT. NSHE di Jakarta.

Sementara itu, Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul ketika ditemui di kantornya menjelaskan ihwal layangan suratnya ke pihak PT. NSHE. Albiner Sitompul menuturkan bahwa DPP JBMI mempunyai kepengurusan organisasi di tingkat bawah, yaitu DPW di tingkat provinsi, DPD  tingkat kabupaten/kota, dan DPC tingkat kecamatan.

“Terkait masalah ini, bahwa DPC JBMI Marancar melaporkan situasi yang terjadi di wilayahnya ke DPD Tapanuli Selatan. Kemudian DPD meneruskan laporan itu ke DPW lalu ke DPP JBMI. Maka, kami di DPP, harus melayani laporan dari DPC, DPD, dan DPW tersebut,” jelas Albiner Sitompul.

Menurutnya, keberadaan tanah adat Lobu Sitompul sudah ada sejak nenek moyang mereka dahulu kala. Di area tanah adat Lobu Sitompul terdapat makam Datu Manggiling, yang merupakan pimpinan adat Marga Sitompul.

“Bukan pula karena marga saya Sitompul, jadi melindungi warga tanah adat Lobu Sitompul. Tapi, karena saya adalah Ketua Umum DPP JBMI. Dalam AD/ART disebutkan bahwa Ketua Umum JBMI dapat mengambil langkah-langkah untuk kelangsungan JBMI,” paparnya.

Albiner melanjutkan, ketika warga JBMI meminta perlindungan kepada JBMI, maka wajib hukumnya ketua umum melindungi warganya. Seperti Presiden melindungi rakyatnya.  

Sebelumnya, beber Albiner lagi, dirinya juga mengklarifikasi kebenaran perkara ini. Ia mencari tahu, misalnya, apakah benar tanah warga JBMI ini diambil oleh PT. NSHE. Apakah benar ada pengakuan dari pihak desa, kecamatan, hingga dukungan dari perangkat punguan (tokoh) adat di wiyalah itu tentang pengambilan tanah tersebut. Terungkap semuanya menyatakan benar. Artinya, terjadi pengambilan lahan milik adat oleh PT. NSHE.

“Maka, sebagai ketua umum, saya mengirim surat kepada pihat PT. NSHE. Karena mereka telah berjanji untuk membayar penggantian lahan yang akan digunakan untuk proyek PLTA. Tentu surat itu harus ditanyakan jawabannya. Karena ini menyangkut harkat dan martabat warga JBMI. JBMI juga melindungi martabat warga Batak Muslim yang tanahnya digunakan oleh PT. NSHE,” paparnya.

Cara membayarnya pun, lanjut Albiner, harus sesuai, karena para ahli waris tidak secara langsung menjual tanahnya ke PT. NSHE. Tetapi, mereka “memberikan” tanahnya untuk mendukung program pembangunan nasional, dalam hal ini pembangunan PLTA.   

“Karena pemberian tanah ini bukan dengan cara jual-beli, maka harus dibayarkan secara ganti untung. Karena itu, saya perintahkan rekan-rekan JBMI untuk meminta jawaban atas surat yang sudah kami kirimkan ke PT. NSHE. Jadi, saat ini yang berhadap-hadapan dalam masalah ini adalah pihak DPP JBMI dengan PT. NSHE,” pungkasnya.

Menurut Albiner, setiap pembangunan akan menimbulkan dampak munculnya kesejahteraan. Namun efek kesejahteraan itu jangan sampai teranulir akibat proses pembangunan yang tidak mensejahterakan rakyat.

Menurut Albiner, keberadaan tanah adat Lobu Sitompul kelak sangat bermanfaat bagi anak cucu para ahli waris untuk melangsungkan hidup.

“Jika sekarang kondisi tanah mereka itu sudah digunakan PT. NSHE, maka segeralah bayarkan kepada para ahli waris,” tegas Albiner. (Rif)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.