-->

Latest Post

Photo Istimewa

MPA, JAKARTA - Sebanyak 1205 personil gabungan, TNI, Polri, Dishub, Damkar, Pemprov Jakbar, Mitra Jaya, Pol PP  dan Citra Bhayangkara yang mengikuti apel Pengamanan menyambut malam pergantian tahun yang dilaksanakan pukul 16.00 Wib, dihalaman Museum Kota Tua, Jl. Fatahila,  No. 1, Rt.04/06, Kel. Pinangsia Kec. Taman Sari, Jakarta Barat. Selasa, 31 Des 2019.

Apel PAM malam pergatian tahun di pimpin langsung Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Hengki Haryadi, SIK, MH yang di dampingin Komandan Kodim (Dandim) 05/Jakarta Barat, Kolonel Kav Valian Wicaksono Magdi, S.,Sos.

Kapolres Hengki dalam arahannya saat apel tersebut menyampaikan,
bahwa saat ini kita berkumpul dalam rangka melaksanakan apel gelar pasukan pengamanan pergantian tahun, tentunya perlu adanya kerjasama dan kesinergian para personil pengamanan, baik TNI, Polri dan personil pemerintahan setempat, serta personil yang ikut dalam apel pengamanan ini guna menjaga kerawanan kantibmas diwilayah Jakarta Barat.

"Marilah kita bersama-sama menjaga malam pergantian tahun agar berjalan lancar, aman dan kondusif."Tegas Hengki

Dirinya juga mengatakan, kita adakan patroli untuk memperkecil ruang tindak kejahatan.
Kita tempatkan pos pos pengamanan guna mengurangi hal-hal negatif yang tidak kita harapkan terjadi pada malam pergantian tahun baru ini. Yakinkan tidak ada tindakan intolran atau kejahatan  lainnya.tutup Kapolres Hengki dalam arahan singkatnya.

Selain Kapolres Jakbar dan Dandim 0503/JB, hadir pula para Kapolsek dan Para Danramil Se-Jakarta Barat, Serta Para Kanit Jajaran Polres Jakbar dan para Pasi Kodim 0503/Jakarta Barat Serta Pejabat pemerintahan Jakarta Barat.(amr)

Oleh  Novri Investigasi

Seiring akan berakhirnya 2019 dan memasuki babak baru 2020, kepemimpinan Mahyeldi Walikota Padang, menuai beragam pandangan. Ada yang memuji, banyak juga yang mencaci. Pujian semakin deras, cacian semakin keras, seiring majunya Mahyeldi pada Pemilihan Gubernur 2020 nanti.

Saya menilai objektif, melihat rekap jejak Mahyeldi memimpin Kota Padang tahun 2019 yang akan berlalu. Disisi keberhasilan membangun  infrastruktur Kota Padang, pantas dipuji. Sisi gelap Kota Padang, seiring maraknya kafe maksiat wajar dikritisi.

Diakui, wajah perkotaan tahun 2019, mancilak dengan infrastruktur trotoar yang menjadi andalannya. Kawasan Khatib Sulaiman dengan kucuran dana Rp12 M untuk trotoar, indah dipandang mata. Itupun baru sebagian, apalagi seluruh kawasan Khatib Sulaiman dihiasi trotoar dan aksesoris lainnya, akan mempercantlik kawasan tersebut.

Lokasi lain yang dibangun trotoar dilengkapi aksesoris lampu dan bangku, Sawahan, Veteran, Ulak Karang, Gunung Pengilun, Simpang Haru, Terandam, Gurun Laweh (Kampung Nias), kawasan perumahan elit di SMA 1, Seberang Padang dan lokasi lainnya, menyulap kawasan tersebut sejuk dipandang mata, nyaman melintasinya.

Pantai Padang, bak gadis bersolek menggairahkan pengunjung mendatanginya. Trotoar sepanjang Pantai Padang, Rumah Panggung dibelakangnya bertuliskan Pantai Puruih, diserbu penghunjung berselfi ria.

Ditambah lagi, kucuran dana dari Dirjen SDA melalui BWSS merubah Danau Cimpago menjadi taman wisata keluarga. Dan, proyek krib pantai memecah ombak, membuat penghunjung nyaman bermain ombak.

Namun, dibalik cerita sukses trotoar, tercium bau tak sedap. Soalnya, terendus pekerjaan trotoar dominasi satu rekanan dengan memakai bendera yang berbeda. Bahkan, 60 persen dana trotoar mencapai puluhan miliyar dikuasai rekanan tersebut.

Cerita miring lain, menyertai proyek trotoar, Pemko Padang terkesan diskriminasi dan fokus membangun kawasan perkotaan, mengenyampingkan pembangunan daerah pinggiran. Disebut sebut juga, proyek trotoar pencitraan buya menuju pertarungan Pilgub 2020.

Karena, kawasan perkotaan perlintasan bagi warga kota dan kabupaten lain di Sumbar, juga bagi perantau. Saat memasuki Kota Padang, pujian mengalir terhadap Pemko Padang yang dianggap sukses membangun daerah ini.

Tak kunjung usai, proyek trotoar hanya untuk pencitraan. Ada yang menyebut, proyek trotoar sekelas Kabid dan ada juga yang bernada keras mengatakan, proyek trotoar, ibarat menggali kolam 1 meter, tapi bagaikan berenang di kolam  2 meter. Trotoar hanya got, bukan sungai. Pekerjaan kecil yang dibesar besarkan.

Terbakarnya Tagline senilai Rp6,3 miliyar juga mendiskreditkan Buya. Karena dianggap proyek mubazir, tak bermanfaatkan dan sekarang uang senilai Rp6,3 miliyar itu hangus dibakar api. Bukan membela Buya, terbakarnya Tagline bencana alam dan kerugian tak mencapai Rp1 miliyar.

Besarnya dana Tagline disebabkan pekerjaan diatas bukit dan cosnya 5 kali lipat dari proyek biasa. Lagipula, konstruksi masih utuh dan biaya paling tinggi itu, konstruksi, sebab memancang kedalaman tiang dan membuat huruf sepanjang 100 meter. Sementara yang rusak, kabel dan aksesoris Padang Kota Tercinta, namun rangkanya masih utuh.

Kafe maksiat yang marak diseputaran Pondok, jadi senjata untuk meruntuhkan kinerja Mahyeldi. Slogan pai kalam, pulang kalam, bumerang baginya. Sebab, slogan itu tak berbanding dengan maraknya kafe maksiat.

Blusukan dan dakwah diberbagai daerah yang dilakukan Mahyeldi momen bagi lawan politiknya. Gajah didepan mata tak kelihatan, semut dibalik gunung kelihatan, menyertai serangan terhadap Buya. Memberi dakwah ke daerah lain, sementara kampung sendiri, terutama kawasan Pondok, masih bergelimang maksiat. Memakai istilah Mastilizal Aye, Kafe maksiat dan miras marak di kampung buya.

Semenjak Andre Rosiade menyidak kafe maksiat, persoalan ini menjadi booming dan viral. Selang tak berapa lama, pasukan Sat Pol PP langsung menyegel kafe tak berizin. Kenapa ini tak dilakukan dari dulu, sebelum ada aksi turun kelapangan Andre Rosiade. Tak perlu dijawab, diduga ada penyebab dan permainan dibalik maraknya kafe maksiat.

Terlepas dari semuanya itu, kita tak perlu memojokkan Mahyeldi. Sebagai walikota ia telah menunjukkan kinerja luar biasa. Meski, ada kekurangan, sebagai manusia apa yang terjadi semasa kepemimpinan Mahyeldi itu biasa. Tak ada manusia yang sempurna. Tak ada kinerja tanpa cela.

Mahyeldi dipuji, Mahyeldi dikritisi, itu sudah biasa. Pertanda ada kepedulian kita kepada Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela. Namun, etika sebagai orang minang tetap dijaga. Semoga


Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo (Danrem 032 Wirabraja)

Sepanjang 2019, sebanyak 746 kali bencana terjadi di Sumbar, begitu data yang dilansir dari BPBD. Banjir, banjir bandang dan tanah longsor merupakan musibah dominan, merata terjadi hampir di 19 Kabupaten/Kota yang ada. Selain itu ancaman gempa bumi dengan istilah megathrust, terus mengintai yang bisa setiap saat menyapu Ranah Minang ini. Bukan sesuatu yang biasa dan tidak bisa dianggap remeh.  Taruhannya, nyawa manusia.

Saat ini saja, beberapa titik masih berjibaku dengan banjir, longsor, pohon tumbang, angin puting beliung, abrasi, dan sebagainya. Ratusan nyawa sudah jadi korban, belum lagi kerugian material yang tak sedikit. Seiring dengan masuknya musim penghujan, desakan dari alam terus menguat, dan manusia sebisanya mencoba bertahan.

Unsur militer dari jajaran Korem 032 Wirabraja, melalui perangkat Kodim di daerah terus berkutat siang malam mencoba mengatasi hal ini, dengan kolaborasi bersama para pihak, baik BNPB, BPBD, Pemda, dan komponen lainnya. Sasaran terdekat adalah mencoba meminimalisir jatuhnya korban dan menyelamatkan yang ada. Untuk saat ini hanya itu yang bisa dilakukan.

Tetapi kita tentu yakin dan percaya, bencana bukan terjadi kali ini saja. Tahun-tahun sebelumnya hal sama juga terjadi, dan diprediksi jika tidak ada penanganan serius, tahun depan hal serupa akan terus kita derita. Kita percaya, bencana bukan datang dengan sendirinya, apalagi bencana yang berhubungan dengan respon dari alam, campur tangan manusia sangat mungkin terjadi, baik sebagai penyebab maupun sebagai obat penawar agar kebodohan serupa tak terulang.

Dilihat dari tipologinya, bencana yang rutin menimpa Sumbar sebetulnya adalah kolaborasi faktor manusia dan alam, yaitu banjir (termasuk banjir bandang) dan tanah longsor. Ini adalah fenomena yang cukup banyak memakan korban, dan bisa dipastikan bukan karena fenomena alam semata (seperti gunung meletus atau gempa bumi). Jenis ini sebetulnya sangat bisa dicegah dan diantisipasi, asalkan ada upaya bersama yang komprehensif. Pengalaman saya di berbagai daerah yang rawan bencana, menunjukkan bahwa aspek manusia dan kebijakan adalah hal mendasar dalam mensikapi jenis ini.

Oleh karena itu, hemat saya agar kedepannya masalah serupa tak berulang, kita harus kembali ke gagasan awal, yaitu komitmen. Kunci penting ada pada kata-kata tersebut, seberapa kuat komitmen para pihak untuk sadar bahwa masalah ini adalah ulah manusia. Selagi komitmen ini masih dikaburkan atau “dipolitisir” dengan berbagai macam alasan, selama itu pula masyarakat akan menerima deritanya.

Alam Terkembang Jadi Guru, sudah sangat jelas berkata. Bumi yang kita tempati adalah guru terbaik, dan janganlah sesekali berbuat jahat terhadap guru. Kemarahan guru akan senantiasa datang. Rumitnya pula, manusia seringkali mencari alasan untuk mengatakan bahwa ia tak bersalah. Ini kunci awal, yang kemudian perlu diturunkan menjadi aspek konkrit dari komitmen yang ada.

Pertama, lakukanlah restrukturilisasi lahan dan wilayah yang menjadi titik-titik sumber bencana. Daerah ini biasanya juga menjadi wilayah terdampak serius. Faktanya banyak praktek-praktek negatif dan bahkan ilegal dilakukan di wilayah ini. Kalaupun praktek tersebut legal, tapi tetap saja memberikan dampak serius. Kasus Solok Selatan, adalah salah satu bukti. Pertanyaannya, seberapa kompak unsur yang ada untuk mengatakan bahwa yang terjadi disitu adalah karena ulah manusia?

Karena itu, lakukan restrukturasi. Artinya mengembalikan struktur lahan dan wilayah pada posisi yang aman. Ini bisa dilakukan jika ada komitmen dan implementasi kebijakan serius dan berani. Bisa saja akan ditentang, karena bersinggungan dengan kepentingan banyak pihak. Disitulah keberanian dan komitmen dibutuhkan.

Kedua, harus menemukan dan menciptakan alternatif-alternatif pembukaan objek perekonomian masyarakat yang tidak bertentangan dengan keinginan mengamankan wilayah dari bencana. Hampir semua kasus banjir dan longsor bermula karena rusaknya tatanan hutan dan ekosistem. Ini berhubungan dengan aspek ekonomi masyarakat. Melarang, bukan solusi. Perlu larangan dengan mencari jalan keluar. Lamak di awak, katuju di urang, begitu orang Minang berkata. Siapa yang bisa melakukan itu? Tangan pertama adalah pemerintah dan jajarannya, selanjutnya unsur lain termasuk masyarakat sendiri.

Ketiga,  komitmen dari semua pihak untuk mencari alternatif teknologi terapan yang bisa membantu masyarakat mencari solusi ekonomi mereka. Ini belum tergali dengan baik, walau potensi sangat besar. Kita bisa pertanyakan, dimanakah dan kemanakah hasil riset para akademisi, lembaga riset, program pendidikan dan latihan, komitmen ormas, untuk menciptakan teknologi terapan menghadapi bencana? Sudah saatnya, kembali ke bumi karena masalah ada disitu. Karena itu, perlu dibangkitkan marwah lembaga riset untuk menciptakan ragam teknologi yang bisa diterapkan membantu semua pihak agar bisa tetap eksis kehidupannya, tanpa merusak alam.

Keempat, kita percaya pemerintah melalui SKPD dan Dinas-Dinas yang ada, punya kapasitas dan sumber daya untuk melakukan semua itu. Tetapi unsur tersebut tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa adanya dukungan politik dan dorongan publik secara luas. Saya mengistilahkan, pendampingan terhadap para SKPD dan dinas-dinas, agar konsisten dan terarah pada strategi pencegahan bencana. Keterbatasan teknis maupun non teknis harus didukung oleh pihak lain. Dalam hal ini, saya bisa tekankan, TNI khususnya Korem 032 Wirabraja siap melakukannya. TNI punya sumber daya untuk itu, dan siap kolaborasi serius.

Kelima, kekuatan utama di Sumbar dan Ranah Minang sejak dulu adalah institusi adat yang begitu kuat dan dihormati. Ini harusnya jadi tonggak bersandar dan kekuatan besar yang perlu dimaksimalkan. Ribuan hektar tanah ulayat, puluhan suku, ribuan ninik mamak, adalah komponen penting yang bisa digunakan. Mari kita dorong dan dukung bersama-sama agar komitmen terhadap keselamatan alam dan kesejahteraan anak kemanakan tetap membahana. Karena itu, jauhkanlah kepentingan individu dan termasuk kepentingan politik terhadap kelompok ini. Jangan sampai Tongkat Membawa Rebah. Kalau sampai adat dijadikan alat politik, disanalah bencana tak akan selesai. Adat dan komponennya untuk semua pihak, kawallah itu.

Melalui penguatan itu, maka persoalan yang mengikutinya, seperti tata ruang, tata kelola lahan, termasuk konflik lahan dan batas wilayah bisa diminimalisir. Menguatkan unsur adat, demi kepentingan semua masyarakat, jadikan panglima.

Sasaran strategis dari semua itu adalah lambat namun pasti, dan bahkan bisa cepat terukur, perubahan mind set yang akan dirubah. Kerusahakan alam sangat dominan karena pola pikir selalu memandang alam sebagai sumber ekonomi, padahal disitu juga titik awal bencana yang terjadi.

Semua itu tak akan bisa terwujud tanpa adanya kebersamaan dan kesatuan semua pihak. Masyarakat dan wilayah memang plural, beragam, sulit untuk disamakan. Tetapi dengan menganut prinsip kepentingan orang banyak adalah yang paling utama, maka prilaku negatif satu atau dua pihak, harus dihentikan. TNI siap mengawal ini.

Cara terbaik adalah melakukan mekanisme integrasi sistem pengawasan yang bertanggungjawab. Semua pihak saling mengawasi, lembaga hukum jadi pedoman. BPBD bisa mengawali dengan membuat institusi pengawasan bersama, yang didukung oleh Pemerintah Daerah. Jika ada yang melanggar, hukum bicara dan bersama-sama kita libas. Pemahamannya, prilaku negatif satu orang akan membunuh ribuan orang lain. Ini yang harus dijaga.

Dukungan semua pihak harus muncul dan diikat oleh aturan yang jelas. Oleh sebab itu, lembaga semacam Baznas, termasuk program-program CSR dari berbagai perusahaan, bisa jadi backup metode itu. Semua butuh arah yang sama, dan komitmen adalah kuncinya. Jika tidak, jangan mengeluh jika tahun depan alam akan mengamuk lagi.

Catatan akhir tahun ini, diharapkan bisa jadi refleksi kita bersama. Korem 032 Wirabraja punya komitmen terhadap ini, dan itu tak perlu diragukan. Prajurit siap setiap saat, baik tenaga, pikiran, maupun program konkrit. Kami berharap prajurit jangan dianggap sekedar tenaga tanggap darurat kala bencana, tapi adalah unsur yang bisa berkolaborasi mencegah bencana terjadi. Kami dan kita harus sadar, bencana di Sumbar bukan sekedar bencana alam. Selamat Tahun Baru.**

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.