-->

Latest Post


MPA, PATI - Sebanyak empat personel Babinsa berasal dari anggota Kodim 0718/Pati dilepas oleh Komandan Kodim 0718/Pati Letkol Czi Adi Ilham Zamani, SE hari ini. Senin, 20/1/2020.

Para Babinsa yang diberangkatkan rencana akan ditugaskan untuk penebalan/memperkuat  tugas sebagai Aparat Teritorial Kodim diwilayah Kodam XVII/Cen dan Kodam XVIII/Ksr terhitung mulai tanggal 09 Februari sampai 31 Desember 2020 diperbantukan di kedua Kodam yang berada di Provinsi Papua dan Papua barat.

Empat orang Babinsa yang dilepas oleh Dandim Pati hari ini rencana akan ditampung dahulu di Yonif 403/WP Yokyakarta untuk menerima pembekalan singkat dan esok hari selanjutnya akan diberangkatkan menuju kedua Kodam tersebut.

Sementara itu, Dandim 0718/Pati Letkol Czi Adi Ilham Zamani,SE di ruang transit Kodim Pati memberikan motivasi serta pembekalan singkat kepada keempat Babinsa yang akan mengemban tugas Negara. Dalam arahannya, Dandim menyampaikan bahwa tugas yang akan dilaksanakan merupakan tugas Negara tentunya adalah tugas mulia untuk membantu melaksanakan pembinaan Teritorial guna menggantikan satu orang Babinsa dari Kodim Pati yang tahun 2019 lalu juga ditugaskan dan berahir masa tugasnya pada tahun ini.

“Saya sebagai Komandan Kodim 0718/Pati mengucapkan selamat bertugas sebagai aparat Teritorial  sesuai dengan surat perintah yang telah diterima para Prajurit,”

“Saya tahu memang berat meninggalkan keluarga yang sudah sekian lama bersama-sama dan bertugas di Kodim Pati ini, namun kita sebagai Prajurit TNI kewajiban kita setiap saat harus siap ditugaskan demi Bangsa dan Negara,”Ucap Letkol Adi.

Didampingi Perwira Seksi Personalia Kodim 0718/Pati Kapten Arh Dian Dwi Putra, Dandim Pati juga berpesan agar para prajuritnya untuk selalu menjaga diri, keselamatan serta menjaga kesehatan karena disana merupakan daerah endemis Malaria yang sewaktu-waktu dapat menyerang apabila fisik dalam kondisi tidak fit.

Selain mendapatkan support dari Komandan Kodim, keempat Babinsa yang akan bertugas selama kurang lebih satu tahun di Provinsi Papua dan Papua barat ini juga mendapatkan dukungan moril serta suntikan semangat dan doa yang berasal dari rekan-rekan sejawat di Kodim Pati serta rekan satu angkatan yang disaksikan oleh keluarga dengan perasaan penuh haru saat melepas para kesatria tersebut untuk mengemban tugas Negara.( Pendimpati)

Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo
(Danrem 032 Wirabraja)

Tahun 2018 lalu, pemerintah mengeluarkan Perpres tentang Srategi Nasional (Stranas) Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Stranas ini memiliki orientasi waktu dari 2015-2019. Beberapa wilayah menjadi titik prioritas dengan yangt terbanyak berada di Papua, menyusul Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa dan Sumatera. Hampir di semua pulau besar di Indonesia, terdapat daerah yang terkatagori ini. Untuk Sumbar, wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Pasaman, masuk dalam daerah prioritas.

Sesuai Stranas tersebut, sasaran yang ingin dicapai adalah (1) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,9% (enam koma sembilan persen) sampai 7, 1 % (tujuh koma satu persen); (2) menurunnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 15% (lima belas persen) sampai 15,5% (lima belas koma lima persen); (3) meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia di daerah tertinggal sebesar 62,78; dan (4) berkurangnya kesenjangan antarwilayah.

Khusus untuk Mentawai, selain berstatus sebagai daerah tertinggal juga daerah terluar dan terdepan. Ia berada di perairan Samudera Hindia, secara administratif masuk ke Provinsi Sumatera Barat, walaupun penduduknya bukanlah etnis Minangkabau. Mentawai menjadi wilayah strategis dalam konteks ketahanan nasional karena berbagai implikasi dan pengaruh sangat mungkin masuk ke daerah ini. Oleh sebab itu, perhatian terhadap daerah ini perlu lebih dikhususkan lagi. Mentawai tak boleh dipandang sebelah mata, sudah jadi kewajiban dan keharusan bahwa negara harus hadir disini.

Sebagaimana lazimnya daerah terluar lainnya di Indonesia, Mentawai memang berada dalam posisi yang rumit. Ia memiliki potensi alam dan daerah yang luar biasa, tetapi di sisi lain, saat menginjakkan kaki ke daerah kepulauan ini, perbedaan dan kesenjangan dari daerah lain, kental terasa. Tak jarang pula muncul pandangan stereotype bahwa Mentawai seakan-akan adalah darah “buangan.”

Wilayah ini memiliki setidaknya punya 4 pulau besar yang berpenghuni yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara. Terdapat juga beberapa pulau lainnya, umumnya belum berpenghuni, hanya menjadi singgahan nelayan mencari ikan. Luas wilayah 6.011, 35 km2 dengan jumlah penduduk hanya 85,348 jiwa, kepadatan sekitar 14/km2.

Masih terasa begitu longgar. Usaha nelayan dan pertanian tradisional menjadi andalan masyarakat, walaupun ekspansi perkebunan besar terutama Kelapa Sawit sudah mulai masuk. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tahun 2018 di angka 60,28, masih di bawah target Stranas sebesar 62,78.  Angka kemiskinan masih berada di angka 15%. Kondisi ini telah terjadi sejak bertahun-tahun, walau berdasarkan data BPS ada peningkatan setiap tahun.

Selain kelautan dan pertanian, potensi yang terus digenjot dari Mentawai adalah pariwisata. Sisi ini dianggap hal yang bisa meningkatkan kemajuan Mentawai, wisatawan bakal banyak datang, interaksi ekonomi akan berlangsung, dan masyarakat bisa mengambil peran.

Menjadikan pariwisata sebagai andalan akan seperti pisau dua sisi, bisa meningkatkan ekonomi, tapi bisa pula makin menjadikan Mentawai terlepas dari akar budaya dan tradisinya. Proses sedang berlangsung, arahnya sudah mulai tampak.

Sejak beberapa tahun terakhir, dan sekarang proses sedang berlangsung, pemerintah melalui Kementerian PUPR menggenjot pembangunan jalan raya Trans Mentawai. Korem 032 Wirabraja ditunjuk sebagai pelaksana dilapangan atas kerjasama dengan pihak lain terutama Pemkab setempat. 29 km jalan direncanakan dibangun yang membelah daerah Siberut Utara dan Selatan. Ini sudah menjadi sebuah kebutuhan, karena akses antar daerah di Mentawai masih menjadi momok. Suasana ketertinggalan sangat tampak dari terbatasnya hubungan antar masyarakat, yang berefek pada kemampuan mendorong sektor ekonominya. Dibangunnya jalan ini menjadi titik awal “kesetaraan” yang akan dicapai, karena efek domino akan terjadi.

Titik-tiik penting yang harus jadi perhatian di Mentawai bisa disisir dari beberapa hal. Pertama, ketersediaan segala sarana prasarana utama bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Akses jalan adalah yang pertama. Akses lain yang dibutuhkan juga adalah modernisasi teknologi pertanian yang mampu dilakukan oleh masyarakat. Pendekatan dengan teknologi mainstream seperti pupuk, zat kimia disinyalir bukan solusi utama.

Ini hanya akan memunculkan ketergantungan pada produk serta punya efek lingkungan dalam jangka panjang. Perlu inovasi dan masukan lain agar masyarakat bisa beraktifitas dengan aman, nyaman, dan menguntungkan. Sangat disarankan peran serta banyak pihak untuk masuk dan memberikan nuansa baru ke masyarakat.

Kedua, sebagai daerah nelayan, hasil laut Mentawai sangat luar biasa. Ikan berlimpah ruah, apalagi pada musim tertentu. Namun karena akses terbatas, sarana tidak memadai, distribusipun terhambat. Bukan cerita baru, jika banyak nelayan di Mentawai terpaksa membuang hasil tangkapannya, karena tak tersalurkan. Apa yang dibutuhkan? Akses transportasi dan teknologi untuk menyimpan ikan.
 Ini riil dan butuh solusi cepat. Siapa yang bisa melakukan ini? Berbagai lembaga riset dan pemerintah sebagai eksekusi pada level kebijakan, diharapkan bisa berperan.

Ketiga, masalah yang kerap menghantui daerah pesisir adalah soal ketersediaan air bersih. Sampai saat ini beberapa titik di Mentawai masih kesulitan, masyarakat hanya mengandalkan air hujan dan sumber air yang terbatas. Air adalah kebutuhan dasar, solusipun harus segera. Potensi air banyak, tapi tak bisa dimanfaatkan. Lagi-lagi, teknologi terapan diperlukan, tentu saja yang bisa dijangkau masyarakat. Saat ini sudah banyak sekali temuan-temuan para pihak tentang teknologi penjernih air dengan berbagai metodenya.
Mentawai bisa jadi laboratorium utama dari semua temuan itu. Tinggal lagi bagaimana fasilitasi yang diberikan, sehingga bisa memantik kreatifitas dan kepedulian banyak pihak.

Keempat, Mentawai dalam beberapa sisi masih menunjukkan sisi tradisionalnya yang sangat bersahabat dengan alam. Ikatan sosial sebagai modal penting juga masih terlihat. Tapi bukan berarti ini akan berlangsung lama, jika gempuran modernisasi yang tidak berbasis pada konteks lokal terus terjadi. Mentawai mungkin suatu saat akan tampak wah, tapi pondasi kemasyarakatan harusnya tetap terlihat. Sisi ini yang sering terabaikan. Oleh karena itu, membangun Mentawai dengan menekankan pada keterlibatan dan penggunaan seluruh potensi lokal, mutlak diperlukan. Pihak luar bisa saja masuk, tapi semangatnya bukan untuk “menguasai” Mentawai. Kalau ini tidak dilakukan, Mentawai bisa jadi bom waktu bagi Indonesia secara keseluruhan.

Kita percaya dan yakin, Mentawai punya potensi besar, baik SDA maupun SDM nya. Kendati berada di era otonomi daerah, memajukan sebuah wilayah tak bisa hanya dibebankan pada Pemerintah Daerah setempat. Keterlibatan banyak pihak, mereka-mereka yang sudah memulai, harus ditularkan ke wilayah ini.

Seluruh infrastruktur harus diadakan, tapi manusia Mentawai harus didorong untuk maju dan bangkit. Sisi pendidikan dikuatkan, sarana diperbanyak, dan orang Mentawai harus terlibat dalam semua proses yang ada. Kelembagaan  Sibakkat Langgai (Ketua Suku) harus tetap dihormati, karena Mentawai pada dasarnya adalah masyarakat dengan sistem keguyuban yang tinggi. Tahap awal mungkin akan sulit dan tergagap-gagap, tapi proses kemandirian sudah harus dibangun. Trigger dalam bentuk contoh-contoh nyata yang berhasil (best practice), harus diperbanyak.

Semangatnya satu, semangat memajukan, memandirikan, dan semangat berbagi. Jauhkan semangat “menguasai” karena orang Mentawai cukup pintar dan tahu apa yang mereka butuhkan.**


(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat).

MPA, JAKARTA -- Pengamat militer dan pertahanan negara, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat pemerintah Indonesia bisa menggunakan pendekatan sejarah atau historical claim dalam menyelesaikan ketegangan Indonesia dengan China di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) RI, dekat perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Hal ini karena China selalu berpegang pada konsep garis putus-putus atau nine dash line peninggalan nenek moyang mereka.

"Menurut saya yang paling penting soal Natuna, kita kan bertahan dengan UNCLOS 1982, China bertahan dengan historical claim, kalau keduanya bertahan dengan itu, tidak akan pernah selesai," kata dia dalam Diskusi Publik dengan tema "Tantangan Geopolitik Indonesia dalam Perspektif Global dan Kawasan, Jumat (17/1).

Menurut dia, diperlukan cara lain untuk menyelesaikan ketegangan tersebut, pemerintah Indonesia juga bisa membawa historical claim dalam diplomasi dengan China. Karena secara histori, Indonesia juga pernah melakukan penangkapan ikan di Laut China Selatan.

"Contoh seperti saya bilang, dengan adanya sejarah kan kita bisa lihat. Bukan hanya China saja yang pernah di sana (perairan natuna). Ternyata kita juga pernah di sana," ujar dia.

Ia menjelaskan bukti-bukti okupansi dan arsip China tentang kepemilikan serta patrolinya dalam rangkaian pulau-pulau di laut China Selatan terekam baik baik sejak era Dinasti Tang (618-907). Namun, kesemua arsip tersebut hingga saat ini masih dikuasai oleh Taiwan.

Sementara Indonesia juga harus punya catatan sejarah yang lengkap di perairan Natuna.

"(Tahun) 1947 semua dokumen berharga China itu dibawa Taiwan ke Taiwan. Jadi sekarang meributkan Laut China Selatan. Sama dengan meributkan mobilnya di China BPKB-nya di Taiwan," kata dia.

Ia mengatakan, ketegangan Indonesia dan China di wilayah itu sebenarnya sudah meningkat sejak 2014. Kala itu China memasukkan sebagian perairan Natuna di Laut China Selatan ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan sebutan nine dash line.

Nine dash line yakni garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan pemerintah Republik Rakyat China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.

"Pendekatan berbasis sejarah ini malah dapat mendorong kebersamaan, keterbukaan dan mempererat kolaborasi. Ini secara non military," kata dia.

Ketegangan Indonesia dengan China di ZEE RI, dekat perairan Natuna mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Musababnya, kapal nelayan China yang dikawal Coast Guard terdeteksi menangkap ikan pada akhir Desember 2019.

Pemerintah China mengklaim memiliki hak di perairan yang masuk ZEE Indonesia berdasarkan peta Traditional Fish Ground mereka dengan konsep nine dash line. Sementara kawasan laut utara Natuna berdasarkan Konvensi PBB terkait Hukum Kelautan (UNCLOS 1982) masuk ke dalam ZEE Indonesia. (yoa/osc)



Sumber CNN Indonesia,
Judul artikel : Kisruh Natuna, Indonesia Dinilai Bisa Gunakan Klaim Sejarah



Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.