Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada
hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang
adil. Ilustrasi/SINDOnews
Al-Qur’an menjelaskan, sebagaimana yang dijelaskan oleh
sunnah Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW), bahwa sesungguhnya perbuatan
manusia di sisi Allah itu memiliki berbagai tingkatan. Ada perbuatan yang
paling mulia dan paling dicintai oleh Allah SWT daripada perbuatan yang
lainnya. Allah SWT berfirman:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ ٱلْحَآجِّ وَعِمَارَةَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَجَٰهَدَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ لَا يَسْتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjid al-Haram, kamu samakan
dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan
petunjuk kepada kaum yang zalim.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di
jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajadnya
di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS At-Taubah:
19-20)
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, “Sesungguhnya iman itu
ada enam puluh lebih cabang –atau tujuh puluh lebih—yang paling tinggi di
antaranya ialah la ilaha illa Allah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan
penghalang yang ada di jalan.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Abu Hurairah;
al-Bukhari meriwayatkannya dengan lafal “enam puluh macam lebih”; Muslim
meriwayatkannya dengan lafal “tujuh puluh macam lebih” dan juga dengan lafal
“enam puluh macam lebih”; Tirmidzi meriwayatkannya dengan “tujuh puluh macam
lebih” dan begitu pula dengan an-Nasa’i. (Baca juga: 17 Amalan Ringan yang
Memiliki Pahala Besar (1)
Hal ini menunjukkan bahwa jenjang iman itu bermacam-macam
nilai dan tingkatannya. Penjenjangan ini didasarkan atas nilai-nilai dan
dasar-dasar yang dipatuhi.
Di antara ukurannya ialah bahwa jenis pekerjaan ini harus
pekerjaan yang paling langgeng (kontinyu). Pelakunya terus-menerus melakukannya
dengan penuh disiplin. Sehingga perbuatan seperti ini sama sekali berbeda
tingkat dengan perbuatan yang dilakukan sekali-sekali dalam suatu waktu
tertentu.
Sehubungan dengan hal ini dikatakan dalam sebuah hadis sahih:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling kontinyu walaupun
sedikit.” (Muttafaq ‘Alaih, dari ‘Aisyah (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 163)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dan Masruq berkata, “Aku
bertanya kepada Aisyah r.a., Amalan apakah yang paling dicintai oleh Nabi saw?,
Aisyah menjawab: “Amalan yang kontinyu.” (Muttafaq ‘Alaih, ibid., dalam
al-Lu’lu’ wa al-Marjan (429)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya Nabi saw
masuk ke rumahnya, pada saat itu ‘Aisyah sedang bersama dengan seorang
perempuan.
Nabi saw bertanya, “Siapakah wanita ini?”
Aisyah menjawab, “Fulanah yang sangat terkenal dengan
salatnya (yakni sesungguhnya dia banyak sekali melakukan salat).”
Nabi saw bersabda, “Aduh, lakukanlah apa yang kamu mampu
melakukannya. Demi Allah, Allah SWT tidak bosan sehingga kamu sendiri yang
bosan.”
‘Aisyah berkata, “Amalan agama yang paling dicintai olehnya
ialah yang senantiasa dilakukan oleh pelakunya.” (Muttafaq ‘Alaih, ibid., (449)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, cendekiawan muslim dari Mesir,
menjelaskan perkataan “aduh” dalam hadis tersebut menunjukkan keberatan beliau
SAW atas beban berat dalam beribadah, dan membebani diri di luar batas
kemampuannya.
"Yang beliau inginkan ialah amalan yang sedikit tapi
terus-menerus dilakukan. Melakukan ketaatan secara terus-menerus sehingga
banyak berkah yang diperoleh akan berbeda dengan amalan yang banyak tetapi
memberatkan. Dan boleh jadi, amalan yang sedikit tapi langgeng akan tumbuh
sehingga mengalahkan amalan yang banyak yang dilakukan dalam satu waktu,"
tutur Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru
Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" (1996).
Terdapat satu peribahasa yang sangat terkenal di kalangan
masyarakat, “Sesungguhnya sesuatu yang sedikit tapi terus berlangsung adalah
lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi terputus.”
Itulah yang membuat Nabi SAW memperingatkan orang-orang yang
terlalu berlebihan dalam menjalankan agamanya dan sangat kaku; karena
sesungguhnya Nabi khawatir bahwa orang itu akan bosan dan kekuatannya menjadi
lemah, sebab pada umumnya begitulah kelemahan yang terdapat pada diri manusia.
Dia akan putus di tengah jalan. Ia menjadi orang yang tidak jalan dan juga
tidak berhenti.
Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kamu
melakukan amalan yang mampu kamu lakukan, karena sesungguhnya Allah SWT tidak
bosan sehingga kamu menjadi bosan sendiri.” (Muttafaq ‘Alaih, yang juga diriwayatkan
dari ‘Aisyah: Sahih al-Jami’ as-Shaghir (4085).
Beliau SAW juga bersabda, “Ikutilah petunjuk yang sederhana
(tengah-tengah) karena orang yang kaku dan keras menjalankan agama ini akan
dikalahkan olehnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dan Baihaqi dari
Buraidah, ibid., (4086).
Sebab wurud hadis ini adalah seperti apa yang diriwayatkan
oleh Buraidah yang berkata, pada suatu hari aku keluar untuk suatu keperluan,
dan kebetulan pada saat itu aku berjalan bersama-sama dengan Nabi saw . Dia
menggandeng tangan saya, kemudian kami bersama-sama pergi. Kemudian di depan
kami ada seorang lelaki yang memperpanjang ruku’ dan sujudnya.
Maka Nabi saw bersabda, "Apakah kamu melihat bahwa orang
itu melakukan riya?"
Abu berkata, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu".
Kemudian beliau melepaskan tanganku, dan membetulkan kedua
tangan orang itu dan mengangkatnya sambil bersabda, "Ikutilah petunjuk
yang pertengahan…" (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’, 1: 62
kemudian dia berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan orang-orang yang tsiqah.”)
Diriwayatkan dari Sahl bin Hunaif bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Janganlah kamu memperketat diri sendiri, karena orang-orang sebelum
kamu binasa karena mereka memperketat dan memberatkan diri mereka sendiri. Dan
kamu masih dapat menemukan sisa-sisa mereka dalam biara-biara mereka.” (8
al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath dan al-Kabir,
di dalamnya ada Abdullah bin Shalih, juru tulis al-Laits, yang dianggap tsiqat
oleh Jama’ah dan dilemahkan oleh yang lainnya. (Al-Majma’, 1:62).
Amalan Yang Luas
Manfaatnya
Kembali ke QS At-Taubah: 19-20. Syaikh Yusuf Qardhawi juga
menjelaskan berjuang di jalan Allah yang manfaatnya lebih dirasakan oleh umat
adalah lebih afdal di sisi Allah dan lebih besar pahalanya daripada ibadah yang
kita lakukan berkali-kali, tetapi kemanfaatannya hanya untuk kita sendiri.
Abu Hurairah r.a. berkata, ada salah seorang sahabat
Rasulullah SAW yang berjalan di suatu tempat yang memilih sumber mata air
kecil, yang airnya tawar, dan dia merasa kagum kepadanya kemudian berkata,
"Amboi, seandainya aku dapat mengucilkan diri dari manusia kemudian
tinggal di tempat ini! (untuk beribadah). Namun, aku tidak akan melakukannya
sebelum aku meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah saw."
Maka Nabi saw bersabda, "Jangan lakukan, karena
sesungguhnya keterlibatanmu dalam perjuangan di jalan Allah adalah lebih utama
daripada salat selama tujuh puluh tahun. Tidakkah kamu senang apabila Allah SWT
mengampuni dosamu, dan memasukkan kamu ke surga. Berjuanglah di jalan Allah.
Barangsiapa yang menyingsingkan lengan baju untuk berjuang di jalan Allah, maka
wajib baginya surga.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dianggap sebagai hadis
hasan olehnya (1650), beserta Hakim yang menganggapnya sebagai hadits sahih
berdasarkan syarat Muslim, dan juga disepakati oleh adz-Dzahabi, 2:68)
Atas dasar itulah, menurut Syaikh Qardhawi, dalam beberapa
hadis, ilmu pengetahuan dianggap lebih utama daripada ibadah, karena manfaat
ibadah hanya kembali kepada pelakunya sedangkan manfaat ilmu pengetahuan adalah
untuk manusia yang lebih luas.
Di antara hadis itu adalah: “Keutamaan ilmu pengelahuan itu
ialah lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah, dan agamamu yang paling baik
adalah sifat wara’.“ (Diriwayatkan oleh al-Bazzar, Thabrani di dalam al-Awsath,
dan al-Hakim dari Hudzaifah, dan dari Sa'ad, yang disahihkan olehnya dengan
syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim; serta disepakati oleh
adz-Dzahabi, 1:92. Serta disebutkan di dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir
(4214)).
“Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang beribadah ialah
bagaikan kelebihan bulan purnama atas seluruh bintang gemintang.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah
dari Mu'adz (Shahih al-Jami' as-shaghir, (4212); yang juga merupakan sebagian
dari hadis Abu Darda, mengenai keutamaan ilmu pengetahuan, yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan para penyusun kitab Sunan, serta Ibn Hibban dari sumber yang
sama (6297).
Selanjutnya, “Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang
beribadah ialah bagaikan kelebihan diriku atas orang yang paling rendah di
antara kamu.”
Hadis tersebut merupakan bagian dari hadis yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Abu Umamah, Turmudzi berkata "Ini adalah hadis hasan
sahih gharib" (2686) yang juga terdapat dalam Sahih al-Jami' as-shaghir
(4213)
Kelebihan ilmu pengetahuan itu akan bertambah lagi apabila
orang yang berilmu itu mau mengajarkannya kepada orang lain. Sebagai pelengkap
hadis tersebut, Syaikh Qardawi juga menyebutkanhadis yang merupakan bagian dari
hadis Abu Umamah.
“Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya, serta penghuni
langit dan bumi, hingga semut yang ada pada lubangnya, dan ikan hiu yang ada di
lautan akan membacakan salawat atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada
manusia.”
Dalam sahih disebutkan, “Orang yang paling baik di antara
kamu ialah orang yang belajar al-Qur’an dan mau mengajarkannya.” (HR Bukhari
dari Usman)
Atas dasar itu, para fuqaha mengambil keputusan:
“Sesungguhnya orang yang hanya menyibukkan diri untuk beribadah saja tidak
dibenarkan mengambil zakat, berbeda dengan orang yang menyibukkan diri untuk
mempelajari ilmu pengetahuan. Karena sesungguhnya tidak ada konsep kerahiban di
dalam Islam, dan orang yang menyibukkan dirinya dalam ibadah hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan orang yang menyibukkan diri dalam
mencari ilmu pengetahuan adalah untuk kemaslahatan umat.”
Sementara orang yang ilmu pengetahuan dan dakwahnya
dimanfaatkan, ia akan mendapatkan pahala dan balasan di sisi Allah SWT atas
kemanfaatan ilmunya tersebut.
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengajar orang lain
kepada suatu petunjuk, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang
yang melaksanakan petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali.”
Begitu pula pekerjaan yang paling utama adalah pekerjaan yang
paling bermanfaat untuk orang lain.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang yang paling dicintai
oleh Allah SWT adalah orang yang paling berguna di antara mereka. Dan perbuatan
yang paling dicintai oleh Allah ialah kegembiraan yang dimasukkan ke dalam diri
orang Muslim, atau menyingkirkan kegelisahan dari diri mereka, atau membayarkan
hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Dan sungguh akuberjalan bersama
saudaraku sesama muslim untuk suatu keperluan (da’wah), adalah lebih aku cintai
daripada beriktikaf di masjid selama satu bulan.”
Hadis tesebut diriwayatkan oleh Ibn Abu al-Dunya dalam Qadha'
al-Hawa'ij, dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Umar, dan dianggap
sebagai hadits hasan olehnya. (Shahih al-Jami' as-Shagir, 176)
Begitulah pekerjaan yang berkaitan dengan perbaikan dan
kepentingan masyarakat adalah lebih utama daripada pekerjaan yang dimanfaatkan
oleh diri sendiri. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda,
“Tidakkah pernah kuberitahukan kepada kamu sesuatu yang
derajatnya lebih tinggi daripada salat, puasa dan sadakah? Yakni, memperbaiki
silaturahmi dengan sanak kerabat kita. Karena rusaknya sanak kerabat kita
adalah sama dengan pencukur.” (HR Ahmad Abu Dawud Tirmidzi, dan Ibn Hibban).
Diriwayatkan, “Aku tidak mengatakan, mencukur rambut, tetapi mencukur agama.”
(Baca Juga: 7 Golongan yang Dinaungi Allah pada Hari Kiamat)
Doa untuk Pemimpin
Menurut Syaikh Qardawi, atas dasar itulah, pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada ibadah orang
lain selama sepuluh tahun; karena dalam satu hari kadangkala pemimpin itu
mengeluarkan berbagai keputusan yang menyelamatkan beribu-ribu bahkan berjuta
orang yang dizalimi, mengembalikan hak yang hilang kepada pemiliknya,
mengembalikan senyuman ke bibir orang yang tidak mampu tersenyum.
Selain itu, dia juga mengeluarkan keputusan yang dapat
memotong jalan orang-orang yang berbuat jahat, dan mengembalikan mereka kepada
asalnya, atau membuka pintu petunjuk dan tobat.
Selain itu, pemimpin yang adil juga memberi kesempatan untuk
membukakan berbagai pintu bagi orang-orang yang menjauhkan diri dari Allah,
memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat dari jalannya, dan membantu
orang yang menyimpang dari jalan yang benar. (Baca Juga: Inilah Orang-orang
yang Bangkrut di Hari Kiamat)
Pemimpin yang adil juga kadang-kadang mendirikan
proyek-proyek pembangunan dan berguna sehingga tindakan ini dapat menciptakan
lapangan kerja bagi para penganggur, mendatangkan roti bagi orang yang lapar,
obat bagi orang yang sakit, rumah bagi orang gelandangan, dan pertolongan bagi
orang yang sangat memerlukannya.
Itulah antara lain yang membuat para ulama salaf mengatakan,
“Kalau kami mempunyai do’a yang lekas dikabulkan maka kami akan mendo’akan
penguasa. Karena sesungguhnya Allah dapat melakukan perbaikan terhadap banyak
makhluknya dengan kebaikan penguasa tersebut.”
Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn ‘Abbas bahwasanya
saw bersabda, “Satu hari dari imam yang adil adalah lebih afdal daripada ibadah
enam puluh tahun.” (Al-Mundziri mengatakan dalam at-Targhib, diriwayatkan oleh
Thabrani dalam al-Kabir dan at-Awsath, dan isnad al-Kabir dianggap hasan).
Akan tetapi al-Haitsami menentangnya, walaupun hadits
tersebut didukung oleh hadits Tirmidzi dari Abu Said,
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada
hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang
adil.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. (HR al-Ahkam (1329).
Hadis di atas juga dikuatkan oleh riwayat Abu Hurairah r.a.
dari Ahmad dan Ibn Majah yang dianggap sebagai hadis hasan oleh Tirmidzi, dan
dishahih-kan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban,
“Juga kelompok yang do’a mereka tidak ditolak ialah: orang
yang berpuasa sehingga dia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang
teraniaya.” (Hadis ini dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar,
dihahihkan oleh Syaikh Syakir dalam Takhrij Sanad dengan no. 8030, yang
diperkuat oleh tiga hadits lainnya, dengan ketiga sanad-nya yang berbeda).
(Baca juga: 3 Kelompok Manusia Ini Tidak Merasakan Ketakutan di Hari
Kiamat).(*)