-->

Latest Post

Photo Istimewa


MPA, PADANG - Dukungan bagi Pemko Padang dalam melakukan upaya pencegahan dan pemutusan penularan wabah Covid-19 di Kota Padang terus berdatangan dari berbagai pihak.


Kali ini dukungan tersebut datang dari Himpunan Tjinta Teman (HTT) Pusat Padang. Penyerahan bantuan alat pelindung diri berupa masker diterima Plt Wali Kota Padang Hendri Septa dari Seksi Umum HTT Pusat Padang Harianto Pohan, di Ruang Kerjanya, Balai Kota Padang, Selasa (13/10/2020). 


Plt Wali Kota Hendri Septa mengatakan, atas nama Pemerintah Kota Padang tentu sangat menyambut baik dan mengucapkan terima kasih atas bantuan donasi yang diberikan dari HTT Pusat Padang kali ini. Sebagaimana diketahui, secara nasional saat ini memang terjadi peningkatan bagi warga masyarakat yang terpapar Covid-19, termasuk di Sumatera Barat dan Kota Padang.


"Semoga bantuan ini akan membantu masyarakat Kota Padang menjadi lebih terlindungi, sehingga dapat menekan penularan Covid-19. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada Himpunan Tjinta Teman (HTT) Padang beserta jajaran atas bantuan yang sangat penting ini. Semoga berkah bagi kita semua," pungkas Plt Wako mengakhiri.


Sementara itu, Seksi Umum HTT Pusat Padang Harianto Pohan mengatakan, bantuan yang diberikan kali sebagai bentuk komitmen dalam membantu pemerintah dan masyarakat di tengah pandemi Covid-19, HTT Padang ikut berbagi kepedulian dengan menyerahkan bantuan alat pelindung diri berupa masker sebanyak 3.000 Pcs.


"Semoga dapat membantu meringankan beban masyarakat dan Pemko Padang, dalam memerangi wabah Covid-19 di Kota Padang, Semoga dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," sebutnya.


Hadir dalam penyerahan tersebut, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Edi Hasymi, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Sutan Hendra dan Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Amrizal Rengganis. (Mul/Ady/Prokopim)

Photo istimewa


MPA, PADANG
-  Korem 032/Wbr dengan jajarannya melaksanakan apel bersama dilanjutkan pembagian masker kepada masyarakat dan menegakkan disiplin protokol kesehatan penanganan Covid 19.


Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Komandan Korem Brigjen TNI Arief Gajah Mada di Lapangan Wirabraja Sport Center Jln. Proklamasi  Terandam Padang, Sumatera Barat, Senin (12/10/2020).


Dalam arahannya  Danrem 032/Wbr Brigjen TNI Arief Gajah Mada  menyampaikan bahwa kegiatan ini dimaksudkan untuk melanjutkan  penanganan Covid 19 dan pendisiplinan protokol kesehatan serta juga untuk memberikan edukasi baik kepada prajurit sendiri dan juga kepada warga masyarakat tentang bahaya Covid 19 guna memutus penyebaran khususnya di wilayah Kota Padang dan sekitarnya.


Lebih lanjut Danrem  menghimbau dan mengajak masyarakat agar mematuhi penerapan Disiplin Protokol Kesehatan dengan  menerapkan 3 M yaitu Memakai Masker, Mencuci tangan sesering mungkin dan Menjaga jarak. 


Usai pelaksanaan apel ratusan prajurit dari  Makorem, Yonif 133/Yudha Sakti, dan Balakrem menuju ke pos  yang telah dtentukan untuk melaksanakan kegiatan pembagian masker dan penegakan disiplin protokol kesehatan sekaligus mengedukasi masyarakat agar disiplin dalam pemakaian masker dengan benar untuk memutus penyebaran Covid.


Sesuai pemantauan di lapangan ternyata masih banyak yang kurang kesadarannya akan pentingnya memakai masker.


Salah satu warga, Doni saat dikonfirmasi ketika kedapatan sedang melintas tidak memakai masker mengatakan bahwa dia buru buru dan kelupaan memakai masker.


" Maaf pak ambo kelupaan memakai masker karena tadi buru buru, terimakasih telah diberi masker dan telah dingatkan pak lain kali ambo akan pakai masker bilo keluar rumah", ujar  bapak yang sehari harinya bekerja antar jemput isi ulang air mineral ini.


Kegiatan pendisiplinan masyarakat dan pembagian masker ini berjalan dengan lancar dan 1000 masker terbagi habis kepada masyarakat yang melintas di wilayah Terandam sekitarnya.


Turut hadir dan mengikuti kegiatan Kasiintel Kasrem Kolonel Arm. Fairil Wajdi, Kasiops Kolonel Inf Ruddy Trenggono, Kasipers Kolonel Inf Ade Eka Putra, Kasilog Kolonel Kav. Ezi Zaini, Kasiter Kolonel Kav Husnizon, Danyon 133/YS Letkol Inf Hendra Cipta dan para Dansat Kabalak Korem 032/Wbr. (Penrem032)

Oleh : Nizwar Affandi (Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesia)


Tanggal 5 Oktober kemarin UU Cipta Kerja disahkan melalui paripurna DPR-RI. Bagi saya UU ini layak diusulkan sebagai salah satu kejaiban dunia dari Indonesia, minimal dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).


UU ini hanya memerlukan waktu pembahasan selama hampir 23 minggu, tepatnya 159 hari sejak rapat pertama panitia kerja (Panja RUU) tanggal 27 April sampai di pengesahan tahap pertama tanggal 3 Oktober. Dibutuhkan waktu selama 159 hari saja untuk melahirkan 15 bab dan 174 pasal, membahas 7.197 poin isu yang masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan memeriksa 1.203 pasal yang dikoreksi dari 79 UU terkait yang sudah ada sebelumnya.


Waktu selama 159 hari itu sudah dengan asumsi para anggota DPR-RI tetap bekerja setiap hari termasuk di Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari libur nasional lainnya, bekerja nonstop tanpa jeda sehari pun dalam situasi pandemi.


Dengan asumsi bekerja selama 12 jam sehari di luar waktu tidur, makan, minum dan aktivitas personal lainnya, maka pembahasan UU Cipta Kerja telah memakan waktu selama 1.908 jam. Rata-rata hampir 11 jam untuk perumusan setiap pasal baru dan 1,5 jam untuk memeriksa setiap pasal lama dalam 79 UU lainnya dikoreksi. Bersamaan dengan itu, setiap jamnya dibahas 4 poin isu yang ada di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), cukup 15 menit saja untuk setiap poin isu.


Dengan asumsi-asumsi itu saja pembahasan UU Cipta Kerja sudah sangat layak dimasukkan dalam MURI, apalagi jika asumsinya diturunkan dengan tetap menghitung hari raya, hari libur nasional dan tidak bekerja 12 jam setiap harinya, bisa jadi layak juga diusulkan untuk masuk dalam The Guiness Book Of Records.


Saya bukan akademisi maupun praktisi hukum yang memahami apalagi ahli dalam urusan “legal drafting”, karena itu saya sangat menaruh kagum pada kemampuan anggota parlemen yang mampu bekerja dengan begitu amat cepatnya. Saya juga bukan seorang guru besar yang memiliki kompetensi akademik terkait dengan salah satu atau salah dua dari 11 klaster dalam UU Cipta Kerja, apalagi sampai dengan tulisan ini dibuat saya belum mendapatkan versi utuh UU ini sebagaimana yang disahkan dalam paripurna DPR-RI tanggal 5 Oktober kemarin.


Karena itu saya tidak akan gegabah membahas detail pasal per pasal seolah-olah saya sudah membaca dan membandingkannya dengan 1.203 pasal dari 79 UU lain yang terkoreksi. Saya hanya ingin membahas spirit yang berulang-ulang telah dan masih terus disampaikan oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya, spirit yang menjadi ruh dilahirkannya UU Cipta Kerja, menarik investor-investor dunia untuk berinvestasi dan membuka jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia.


Saya akan menjadikan dua buah buku laporan sebagai alat bantu analisa dalam tulisan ini, buku Global Investment Competitiveness Report khususnya chapter Foreign Investor Perspectives and Policy Implications tahun 2017 dari World Bank dan buku The Global Competitiveness Report

2019 dari World Economic Forum, dua buku laporan yang tentu menjadi acuan bagi banyak negara di dunia termasuk Indonesia.


Bagi saya laporan Bank Dunia itu menarik karena memuat hasil survei terhadap 754 orang eksekutif dari berbagai perusahaan multinasional berpengaruh yang sebagian besar masuk dalam daftar World Fortune 500 Companies, survei itu menanyakan faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi keputusan para investor jika ingin berinvestasi di negara berkembang termasuk Indonesia.


Survei itu menemukan 10 faktor yang paling mempengaruhi keputusan berinvestasi, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil persentase pengaruhnya, yaitu: 1) Stabilitas politik dan keamanan sebesar 87%, 2) Lingkungan hukum dan peraturan yang stabil sebesar 86%, 3) Besarnya pasar domestik sebesar 80%, 4) Stabilitas ekonomi makro dan nilai tukar sebesar 78%, 5) Tersedianya tenaga kerja terampil sebesar 73%, 6) Infrastruktur fisik yang baik sebesar 71%, 7) Tarif pajak yang rendah sebesar 58%, 8) Biaya tenaga kerja dan input murah sebesar 53%, 9) Akses tanah dan properti sebesar 45%, dan 10) Pembiayaan di pasar domestik sebesar 44%.


Laporan yang sama juga menemukan 6 kondisi yang paling dihindari oleh para investor jika akan melakukan investasi langsung (Foreign Direct Investments) ke sebuah negara, urutannya yaitu: 1) Kurangnya transparansi dan kepastian dalam berurusan dengan badan publik/lembaga pemerintah sebesar 50%, 2) Mendadaknya perubahan dalam hukum dan peraturan yang berdampak besar sebesar 49% , 3) Lamanya waktu dalam memperoleh izin dan persetujuan pemerintah yang diperlukan untuk memulai atau menjalankan bisnis sebesar 47%, 4) Terbatasnya kemampuan untuk mentransfer dan mengonversi mata uang sebesar 42%, 5) Pelanggaran kontrak oleh pemerintah sebesar 13%, dan 6) Perampasan atau pengambilalihan properti atau aset perusahaan oleh pemerintah sebesar 5%.


Survei itu juga menemukan 3 motivasi utama para investor dunia ketika memutuskan investasi di sebuah negara, urutannya dalam persentase sebagai berikut: 1) Membuka akses pasar dan pelanggan baru sebesar 87%, 2) Menurunkan ongkos produksi sebesar 51%, 3) Mendekatkan dengan sumber daya alam dan bahan baku sebesar 39%.


Dari hasil survei itu ternyata stabilitas politik dan keamanan masih menjadi pertimbangan yang paling penting, sementara kurangnya transparansi dan kepastian dalam praktik pemerintahan masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi sebagian besar investor dunia ketika akan memutuskan berinvestasi di sebuah negara.


Dua hal itu jauh lebih penting daripada yang lain, termasuk  faktor-faktor lain yang yang sudah dibenahi oleh pemerintahan Jokowi selama ini, misalnya pembangunan infrastruktur dan regulasi insentif pajak. Ternyata tenaga kerja terampil masih lebih penting ketimbang tenaga kerja murah dan stabilitas nilai tukar mata uang masih lebih dipertimbangkan daripada akses terhadap tanah dan properti.


Dalam laporan yang lain dari World Economic Forum, Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara yang dievaluasi dalam daftar The Global Competitiveness Index. Sudah berada di atas Brunei (ke-56), Filipina (ke-64), Vietnam (ke-67) dan Kamboja (ke-106), walaupun masih tertinggal dari Thailand (ke-40) dan Malaysia (ke-27) apalagi dari Singapura yang menjadi juara pertama mengalahkan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara maju lainnya.


Stabilitas politik dan keamanan serta transparansi pemerintahan yang bersih menjadi keunggulan utama yang menempatkan Singapura jauh meninggalkan koleganya di Asia Tenggara. Pemerintahan Trump yang cenderung flamboyan dan sering kontroversial menjadi handicap yang menjungkalkan Amerika dari posisi pertama selama ini walaupun dari sisi infrastruktur, ketersediaan listrik, jaringan internet dan inovasi teknologi masih jauh lebih unggul daripada Singapura.


Dari dua laporan ini kita bisa belajar banyak, bahwa setumpuk revisi regulasi dan sejumlah pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya, ada yang lebih penting dari sekedar hal-hal yang bersifat fisik. 


Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang sering mengalami turbulensi berupa kegelisahan sosial (social unrest) dan pembangkangan sosial (social disobedience) akibat kontestasi dan kontroversi politik selama beberapa tahun terakhir tampaknya justru menjadi handicap terbesar yang membuat investor dunia menjadi enggan berinvestasi di Indonesia. Indeks perilaku koruptif dan kolutif yang masih tinggi serta transparansi praktik pemerintahan yang masih jauh dari kategori bersih sepertinya juga menjadi momok yang masih melekat ketika para investor dunia menyebut nama Indonesia.


Dalam perspektif itu saya khawatir maksud baik dari pemerintahan Jokowi melakukan kerja ambisius melalui UU Cipta Kerja justru menjauhkan kita dari tujuan yang semestinya. UU Cipta Kerja telah mengoreksi 1.203 pasal dalam 79 UU lainnya, karenanya tentu memerlukan perubahan dan penyesuaian yang tidak mudah pada sekian banyak Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah. Sebuah kerja raksasa yang ingin dilakukan justru pada saat pandemi COVID-19 sedang berlangsung secara global ibarat seperti memaksa menginjak gas habis-habisan ketika mobil sedang berada di tengah lautan lumpur yang dalam.


Saya tentu sama sekali tidak berkompeten untuk menyatakan apakah materi UU Cipta Kerja sudah baik atau buruk, benar atau salah. Tetapi melihat dampaknya secara sosial politik sejak masa kandungan sampai  dengan waktu kelahirannya, saya khawatir pemerintah tampak terlihat terlalu tergesa-gesa mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya masih dapat ditunda, setidaknya sampai kita dapat mengakhiri pandemi Corona yang telah menjangkiti 325 ribu orang dan merenggut nyawa hampir 12 ribu jiwa saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita, Indonesia.**

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.