-->

Latest Post

JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Jenderal Listyo Sigit Prabowo melanjutkan rangkaian silaturahmi kepada pejabat tinggi negara usai resmi dilantik sebagai Kapolri. 


Kali ini, Listyo Sigit Prabowo berkunjung ke Mahkamah Agung (MA) untuk menemui Ketua MA Muhammad Syarifuddin. Sebagai sesama Aparat Penegak Hukum (APH) banyak hal yang dibicarakan dan didiskusikan dalam pertemuan itu. 

"Banyak hal yang kami bicarakan dan diskusikan, antara lain beberapa program yang akan Polri laksanakan ke depan terkait dengan masalah tilang elektronik," kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit di Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (2/2). 


Menurut Sigit, program tilang elektronik yang dicanangkan oleh dirinya sebagai Kapolri tentunya memerlukan penyesuaian-penyesuaian.   


"Tilang elektronik yang tentunya merubah pola, yang biasanya dilaksanakan menggunakan sidang kemudian saat ini berubah menjadi langsung diputuskan di dalam sistem elektronik tersebut, sehingga perlu ada penyesuaian-penyesuaian," tandas Sigit. 


Tidak hanya itu, bersama dengan ketua MA, Listyo Sigit juga membicarakan pengembangan pelayanan terpadu yang berkaitan langsung dengan pelayanan kepada publik, seperti informasi proses hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan hingga ke Pengadilan dengan memanfaatkan sistem aplikasi bersama. 


Dengan begitu, Sigit mengatakan, penegak hukum tidak perlu lagi interaksi langsung dengan masyarakat sebagai bagian dari pencegahan rantai penularan Covid-19.  


"Karena terkait dengan situasi Covid sehingga proses-proses penegakan hukum yang tentunya harus perlu ada interaksi langsung kemudian bisa dihindari dengan memanfaatkan sistem virtual ataupun daring, ataupun online," pugkas Sigit. 


Tilang elektronik merupakan upaya Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri untuk memperbaiki citra polri salah satunya dengan menghilangkan tindak langsung atau biasa disebut dengan tilang. Ke depan, Listyo akan menerapkan tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) di seluruh Indonesia. (bhps)

JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Budayawan Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun angkat bicara soal polemik pernyataan Abu Janda tentang Islam Arogan. Dia mengingatkan agar kecintaan atau dukungan terhadap satu pihak tidak mengaburkan kesalahan yang diperbuat oleh seseorang.


Hal ini diungkap Cak Nun merespon polemik 'Islam Agama Arogan' yang disampaikan Permadi Arya atau Abu Janda hingga menyeret nama Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan putri Gus Dur, Alissa Wahid.

"Janganlah kecintaanmu membuatmu bersikap tidak adil terhadap seseorang," kata Cak Nun seperti dikutip dari akun YouTube resmi milik CakNun.Com, Selasa (2/2).


Kata Cak Nun, selama perkataan yang dilontarkan salah atau tidak berdasar, siapapun orang tersebut, termasuk Abu Janda, harus dipertanggungjawabkan. Sebab menurut Cak Nun, penilaian kesalahan perkataan seseorang bukan diukur dari siapa yang didukung orang tersebut.


"Ini siapapun yang ngomong saya tidak peduli, tidak akan berdasarkan pada suka atau tidak suka, benci atau tidak benci," katanya.


Kata Cak Nun, yang terpenting adalah fokus dari permasalahan tersebut, yakni apa yang diucapkan, bukan siapa orang yang melontarkan.


"Mau Abu Bakar, Abu Janda, Bau Gosok, Abu Lahab, Abu rokok sekalipun. Itu tidak penting, yang terpenting adalah perkataannya itu menjadi fokus kita," katanya.


Terkait Islam Arogan yang dilontarkan Permadi Arya atau Abu Janda ini, menurut Cak Nun telah salah kaprah. Islam menurut dia bukan subjek yang bisa memiliki sifat-sifat yang kerap dimiliki manusia.


Islam adalah agama, dan agama diciptakan oleh Tuhan. Berarti kata Cak Nun, kalimat Islam Arogan bisa jadi sasaran utamanya adalah Tuhan yang memang menciptakan agama tersebut.


"Kalau Islam arogan itu agak tidak masuk akal karena yang arogan itu muslimnya. Islam kan bikinan Tuhan, berarti tuhan yang arogan," katanya


"Kenapa Tuhan tidak boleh arogan? Kenapa enggak boleh sombong? Apa alasannya? Apa Tuhan harus baik? Tuhan tidak punya ikatan apa-apa. Karena dia yang bikin," lanjutnya.


Dia pun mengingatkan jika memang belum mempelajari sesuatu jangan asal menggunakan perkataan atau istilah. Untuk saat ini kata Cak Nun, siapapun harus mulai berhati-hati dengan perkataannya.


Sebab apa yang dijadikan perkataan harus bisa dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan. Alih-alih melontarkan pernyataan yang membuat keadaan semakin panas, kata Cak Nun akan lebih baik jika saat ini masyarakat siapapun lebih waspada menghadapi pandemi yang memang tengah terjadi.


"Saya kira kita secara nasional harus mulai berpikir untuk berhati-hati ngomong, kita sering kali ucapkan 10 kata, mungkin sembilannya tidak bisa kita pertanggungjawabkan," kata dia.


Cak Nun berpesan, dalam tayangan tersebut, dia juga memastikan tak mengecam siapapun yang telah melontarkan berbagai kalimat kontroversial. Hanya saja kata dia, sebaiknya siapapun lebih waspada dengan perkataannya.


"Saya tidak kecam siapa-siapa, tapi bo sekarang lebih hati-hati ngomong, lebih waspada karena sudah dikepung covid kita harus waspada," kata dia. (**)


Sumber : cnnindonesia.com

JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Andai pilkada serentak digelar 2024, seperti sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pemerintah, karier kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 akan terhenti. Mereka bisa gagal untuk manggung di konstestasi nasional.



Pemerhati hukum tata negara Andi Syafrani menilai, wacana Pilkada Serentak 2024 memangbisa memutus karier dan peluang kepala daerah yang berprestasi untuk maju kontestasi di level nasional. 

Dia melihat nantinya kader kepemimpinan nasional akan lebih banyak muncul dari menteri dan birokrasi atau pimpinan pusat partai politik. "Karier kepala daerah banyak putus tengah jalan untuk masuk gelanggang nasional," ujar Andi, dikutip dari SINDOnews,(31/1/2021).


Andi menuturkan, dahulu figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap sebagai figur representatif dari kalangan militer yang terakhir menjadi presiden. Maka, menurutnya, dengan fenomena politik yang terjadi saat ini, Presiden Jokowi pun bisa menjadi penutup kepala daerah yang paripurna karier politiknya.


"Mungkin setelah satu dekade lagi baru akan muncul lagi kepala daerah yang bisa masuk panggung pilpres," ujar pria yang berprovesi sebagai advokat.


Lebih lanjut Andi mengatakan, dengan kondisi yang demikian, dirinya setuju agar pelaksanaan pilkada dinormalkan atau tidak digabung atau berdekatan dengan Pemilu 2024. Dia melihat, jika harus digabung atau berdekatan digelar, tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas dan akan membuat penyelenggara pemilu keteteran yang berpotensi menimbulkan korban lebih banyak daripada Pemilu 2019.


"Dan akan membuat pemilihan kepala daerah menjadi nggak penting atau sebaliknya bisa membuat partai jadi nggak penting. Ini harga demokrasinya mungkin akan lebih mahal daripada membuat pilkada kembali ke normal," tutur mantan kuasa hukum KPU di sidang sengketa Pilpres 2019 di MK. (**)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.