Oleh: Mahyeldi Ansharullah
Hari ini pers nasional sedang berhelat merayakan Hari Pers Nasional (HPN) yang tahun ini dipusatkan di Jakarta setelah batal dilaksanakan di Kendari Sulawesi Tenggara karena alasan Covid-19. Namun kita kira kesemarakan dan kemeriahannya tentu tidak akan berkurang. Helat yang dulu pernah kita Sumatera Barat menuanrumahi adalah helat yang sesungguhnya digunakan insan pers untuk berkontemplasi dan momentum untuk memajukan Pers Nasional di masa berikutnya.
Perkembangan teknologi yang demikian cepat juga membuat perkembangan teknologi media juga berubah pesat. Seperti terjadinya revolusi platform dari cetak ke non cetak, dari konvensional ke digital, dari paper ke paperless. Sementara untuk pers elektronik juga berubah dari misalnya analog ke digital. Radio bergelombang SW dan MW beralih ke FM lalu makin maju menjadi radio online. Televisi juga dari televisi konvensional kini jadi TV online yang bisa ditonton di LCD ponsel saja.
Cara beroperasi wartawan pun berubah drastis. Jika dulu media memerlukan ruang yang besar untuk merespon dimana rapat editor dilaksanakan, kini saya kira hampir semua kantor redaksi media di seluruh dunia berlangsung secara daring. Wartawan tidak mengirimkan berita lewat kurir lagi, tapi sudah dalam file digital. Semua berpacu cepat mengupdate informasi di media masing masing.
Wawancara yang menjadi bagian dari operasi pers, saat ini nyaris tidak tersedia ruang buat wawancara eksklusif antara satu wartawan dengan narasumber. Jikapun ada paling hanya dapat kehormatan sebagai yang pertama saja, sebab setelah di upload ke media maka dalam tempo beberapa menit sejak tayang, wartawan lain pun mendapatkan wawancara dari narasumber yang sama.
Lalu apa yang masih tak tergoyahkan oleh teknologi dari praktik jurnalisme? Saya kira yang tidak berubah oleh teknologi adalah idealisme pers. Mungkin dalam industri media akan ada pengaruh dari hukum bisnis yang mesti mengejar laba. Tetapi itu saya kira satu sisi dari industri media yang sebenarnya sudah lama dipikirkan oleh para pelaku industri media.
Maka kembali ke idealisme pers tadi, saya kira itulah yang akan menjadi garis api dalam menjalankan jurnalisme sekaligus mengelola media. Idealisme lah yang akan menjaga agar bisnis media tetap terjaga praktik jurnalisme yang sehat.
Ada yang sedang tren dan orang sering sesat berpikir kalau itu juga pers, yakni media sosial. Tidak, saya kira media sosial tidak sama dengan pers. Media yang di dalamnya ada pers, adalah mewakili khalayak. Sedang media sosial hanya platform untuk bertukar kabar antarwarga. Legalitas, akurasi, kredibilitas dari informasi di media sosial tentu sulit untuk digaransi. Lihat saja, media sosial justru lebih banyak dipakai para penebar hoax, disinformasi, ujaran kebencian, fitnah bahkan pihak keamanan menenggarai media sosial juga digunakan untuk keperluan memantik radikalisme yang berujung pada terorisme.
Artinya media massa adalah institusi yang berfungsi sebagai penyaring lahir dari hoax demi hoax. Jika media massa sudah menyiarkan sesuatu, maka dapat diyakini oleh publik bahwa informasi itu sudah kredibel dan boleh dipercaya.
Kenyataan ini sesungguhnya juga menjadi harapan para penganjur kebaikan, agar pers nasional tetap memainkan peranan sebagai gerbang terkahir keabsahan sebuah informasi. Maka jika pers nasional –termasuk pers daerah tentunya—senantiasa menjaga peranan itu, insya allah pers nasional akan tetap eksis.
Dan ini yang paling penting: teknologi tidak akan mengubah jurnalisme. Teknologi hanya mengubah media atau platform, sedang cara menulis, kaidah-kaidah jurnalisme akan senantiasa hidup. Etika pers, kode perilaku bahkan prinsip-prinsip jurnalisme yang pernah ditulis Bill Kovach belum akan tergeser oleh kemajuan teknologi, karena ia menjadi ruh dari jurnalisme. Pers mewakili publik, memperjuangkan apa-apa yang belum ideal untuk kebaikan bersama.
Pers di daerah ini telah memberikan andil yang besar kepada kemajuan daerah. Banyak penghargaan diraih pemerintah di daerah, banyak kepala daerah mendapat award, tetapi menurut saya semua adalah berkat dukungan pers. Saya tidak masuk dalam kategori antikritik yang dilancarkan pers, bahkan berkat kritik itu semua kemajuan dicapai. Jika disimak baik-baik isi dan konten media di daerah ini, hampir 80 persen adalah mendorong orang hidup optimis, kabar kebaikan, prestasi masyarakat dan pemerintah. Hanya 20 persen saja yang dalam bentuk kritik.
Karena itu, saya berani mengatakan bahwa telah banyak peranan pers di daerah ini yang mendorong serta menghasilkan kebaikan pada daerah. Saya sulit menentukan apa penghargaan yang pantas diberikan kepada pers atas sumbagsihnya itu. Namun dengan setulus hati saya katakan: Terimakasih pers, teruslah membangun negeri dan teruslah menjaga idealisme. Selamat Hari Pers Nasional 2021. (**)