Kekuasaan Organisasi Itu Tak Profit, Mengapa Harus Dipaksakan?
Penulis: Sesmi Permatasari,S.Pd
Ketua Fatayat NU Padang Pariaman
KEKUASAAN itu memikat, ia menyilaukan. Sejak zaman dahulu, kekuasaan menjadi objek perebutan banyak orang; penghianatan, penghinaan, bahkan kekuasaan bisa menghancurkan persaudaraan, sahabat, teman, keluarga sekalipun, hingga pembunuhan sesama saudara di istana kerajaan lazim dan terjadi secara bergantian, hanya untuk sebuah kekuasaan; yang didalamnya ada harta dan semua kelezatan dunia.
Beribu cara orang menginginkannya (kekuasaan.red). Dengan Ambisi yang begitu hebat merasuki jiwa, merebut kekuasaan begitu menggiurkan. Apapun, bisa dihalalkan oleh seseorang untuk mendapatkan kekuasaan, yang diidamkannya.
Kini, kekuasaan-kekuasaan itu semua, telah menjadi sejarah kejayaan dimasanya. Hanya seperti itu saja!
Kekuasaan identik dengan kepemimpinan, maka etika kepemimpinan yang kurang strategis, akan berdampak kepada apa yang ia pimpinan. Jika kepemimpinannya kuat dan memiliki sumber daya yang cukup, maka ia akan berkuasa dengan baik, selama kekuasaan itu tidak ada yang berupaya menjatuhkannya dari dalam. Nah, musuh kekuasaan, bukan dari luar, tapi dari dalam wilayah kekuasaan itu sendiri.
Ada pula kekuasaan yang tidak berbasis kerajaan, tidak berbasis wilayah atau tidak profit (keuntungan finansial, harta dan kelezatan dunia belaka), yang juga ternyata menjadi perebutan banyak orang saat ini, yaitu; organisasi.
Sebab, berkuasa di organisasi, ternyata dapat menumbuhkan kembangkan nama besar dan marwah seseorang dilingkungan organisasinya, hingga lintas organisasi/ sektoral.
Bedanya di organisasi, kekuasaan tidak seperti raja di kerajaan, kepala daerah di pemerintahan, presiden/ raja disebuah negara; di organisasi dipimpin oleh seorang ketua organisasi, yang memiliki sistem kolektif kolegial; musyawarah dan mufakat dengan perangkat/ pengurus organisasi lainnya, tidak abosolut sebagaimana seorang raja atau penguasa daerah.
Seorang ketua di organisasi bukan atasan dan bukan pula bos, yang memiliki keputusan yang mutlak. Tapi, di organisasi sudah memiliki aturan bersama yang sudah tertuang di AD ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga) dan dengan aturan itu organisasi berjalan, serta estafet dari generasi ke generasi.
Namun, yang paling penting di organisasi sebenarnya adalah soal kepemimpinan dan kepemimpinan memiliki seninya sendiri. Moral memberikan batas yang jelas dalam baik buruknya sebuah kepemimpinan, ini dapat di jadikan pedoman dalam suatu kepemimpinan, dimanapun ornisasinya. Karena seorang pemimpin tidak harus di juluki sebagai atasan, ataupun ketua dalam suatu organisasi.
Tetapi kepemimpinan adalah dimana kita dapat mengalah dalam suatu masalah dan mencoba untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut; win solution.
Pemimpin bukan hanya untuk bergagah-gagahan. Dimana setiap kita ada pertemuan, lantas dipuji dan dielu-elukan. Pemimpin harus punya tanggung jawab yang besar, utamanya; beretika dan bermoral.
Kepemimpinan yang dipaksakan, hanya akan menimbulkan keburukan; buruk bagi dirinya sendiri dan juga orang lain.
Seharusnya, jika ingin Seharusnya, jika ingin berpotensi bangunlah aset pada diri sendiri/ SDM (Sumber Daya Manusia), yaitu dengan cara meningkatkan kapasitas diri, bangun kemanusiaan yang besar, agar memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan masa depan diri sendiri, lalu bermanfaat untuk banyak orang.
Ironinya, tidak seperti yang diharapkan, banyak pemuda hari ini tidak tahu dengan aturan, ia ternyata hanya memikirkan bagaimana keinginannya terwujud dan mendapatkan kekuasaan yang didamba-dambakannya, tanpa memandang moral dan asas kepatutan.
Seharusnya, pemuda senantiasa dibimbing dan dibina untuk aktif memerankan fungsinya yaitu sebagai penggerak pembangunan dan sekaligus motor pembaharu dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan tercipta tatanan yang dibangun dengan pendekatan kemandirian dan ditopang sepenuhnya oleh pemuda tersebut.
Karena, pemuda itulah sebenarnya estafet kepemimpinan di negeri ini, baik itu di organisasi, negara dan minimal kepemimpinan didalam keluarganya. Maka, pemuda yang bermoral dan produktif, sejatinya adalah harapan masa depan negeri ini.