-->

Articles by "Senibudaya"

Showing posts with label Senibudaya. Show all posts


 Oleh: Denny JA

JAKARTA - Satu era, tapi begitu banyak Bom Atom!

Inilah mungkin ekspresi yang tepat menggambarkan batin kolektif kita di era pandemik Virus Corona. Berkali-kali kita dikagetkan oleh berita. Di antara berita itu, ada yang mungkin baru sekali kita alami seumur hidup.

Sembahyang Jumat ditiadakan. Umroh distop. Bunyi adzan diubah. Bahkan mulai diperkenalkan lebaran online.

Ratusan meriam boleh dikerahkan. Ribuan teroris boleh disebar. Tapi mustahil ia bisa memaksa Umat Islam untuk tiga kali berturut-turut tidak sholat Jumat di Mesjid.

Tapi Virus Corona bisa memaksa itu.

Muncul pula dentuman lain. Dunia akan mengalami krisis paling buruk sejak perang dunia kedua. Ekonomi aneka negara tumbuh minus. PHK dimana-mana. Social distancing. Work From Home. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Apa pula ini?

Belum selesai reda, terdengar pula letupan berbeda. Tiga ratus orang dikarantina di Mesjid. Mayat penderita Corona ditolak warga. Kantung plastik jenazah dibuka keluarga. Mayat penderita corona dipeluk, dicium. Seratus dokter wafat terpapar Virus Corona.

Wow! Terlalu banyak bom atom. Media berhasil merekam peristiwa itu sesuai dengan kaidah apa, siapa, dimana, mengapa, bagaimana?

Tapi bagaimana suara batin mereka yang menjadi korban? Bagaimana jeritan luka itu. Ini drama batin yang terlalu dalam untuk dilupakan. Namun jurnalisme biasa memang tidak dipersiapkan berimajinasi dengan dunia batin.

Kondisi inilah yang kemudian melahirkan cerpen (cerita pendek – red) esai. Kisah sebenarnya ini perlu direkam. Namun cerpen esai hadir khusus mengangkat dan menambahkan imajinasi sisi batin. Cerpen esai dengan sendirinya berbeda dengan jurnalisme biasa.

Sisi batin itu agar lebih menyentuh bolehlah didramatisasi. Tokoh, karakter dan tempat agar lebih mengejutkan bisa diubah. Suasana pendukung tak apa diimajinasikan.

Yang penting cerpen esai menyulap peristiwa sebenarnya untuk menghasilkan bacaan yang lebih menyentuh. Yang lebih mengajak merenung. Yang lebih menggugah. Yang lebih menggerakkan!

-000-

Sayapun bereksprimen menuliskan cerpen esai itu. Dalam waktu seminggu lahir enam cerpen esai. Begitu intensnya saya mendalami aneka bom atom peristiwa. Seolah inspirasi turun dari langit menggerakkan saya.

Lahirlah itu dramatisasi, kisah nyata yang difiksikan. Dalam cerpen berjudul: “Kak, Saya Di Karantina di Mesjid,” kisah itu berinduk dari berita 300 jemaah dikarantina di Mesjid Kebon Jeruk.

Cerpen esai saya menceritakan kisah Jemaah Tabligh yang membuat acara. Betapa tokohnya menyerukan: “Jangan takut berkumpul di Mesjid walau diserang Virus Corona. Jika gara-gara Virus Corona kita mati di mesjid, maka mesjid adalah sebaik-baiknya tempat untuk mati.”

Di banyak negara, Jemaah Tabligh ini menjadi medium penular. Disamping mereka tetap berkumpul, merekapun makan bersama dalam satu nampan besar. Penularan virus mudah sekali.

Mereka gencar diberitakan, dan kemudian diamankan, di India, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Filipina.

Semua fakta ini masuk dalam cerpen esai saya. Itu fakta yang sangat menarik.

Namun saya menghadirkan pula suasana batin yang tak ada di semua berita. Suasana batin itu adalah fiksi, imajinasi, dan karangan saya sendiri.

Dalam cerpen esai memang sudah dijelaskan kisah ini fiksi belaka.

Maka saya karang tokoh bernama Eko yang berada dalam mesjid itu. Saya ceritakan perjalanan batinnya hingga ia masuk ke dalam Jemaah Tabligh.

Ia awalnya seorang sekuler dan liberal belaka. Belahan jiwanya wafat. “Love of My Life”-nya tiada. Ia terguncang dalam kehidupan malam. Namun segera pula ia berbalik menjadi the true believer sebuah keyakinan.

Saya kisahkan pula kedekatannya dengan sang kakak. Dan betapa sang kakak yang dulu dianggap Eko superhero, di era pandemik ini tak berdaya.

Di tengah malam, putus asa sang kakak. Berharap tapi ia tanpa kuasa.

Pada cerpen esai itu berkumpulah fakta dan fiksi. Fakta itu dapat dilihat sumbernya di catatan kaki. Dalam cerpen esai fungsi catatan kaki sangat sentral sebagai pokok cerita.

Namun, tokoh, plot, percakapan dalam cerpen esai itu sepenuhnya fiksi. Dengan menghadirkan fiksi, penulis bebas berimajinasi seluas langit biru. Bebas pula pengarang menambahkan bumbu agar berita itu lebih menyentuh.

Pola yang sama saya ulangi dalam lima cerpen esai saya lainnya.

-000-

Sudah diduga, pola penulisan cerpen esai ini segera menarik penulis lainnya. Kini para penulis, cerpenis, penyair dari Aceh hingga Papua, juga negara tetangga bergerak. Bersama mereka ingin merekam suara batin era Virus Corona dalam cerpen esai.

Kumpulan cerpen esai mereka segera rampung dan dibukukan.

Seorang pembuat film bahkan siap memfilmkan kisah dalam cerpen esai itu.

Ada pula yang sedia membuat lomba cerpen esai di Asia Tenggara. Komunitas Citizen Jurnalism (PPWI – red) lebih cepat lagi. Mereka ingin membuat lomba merekam suka dan duka bulan Ramadhan di era Virus Corona. Mereka menginginkan lomba itu dituliskan dalam cerpen esai.

Muncullah kebutuhan yang lebih tinggi: Panduan Cerpen Esai. Apa itu cerpen esai? Apa bedanya dengan cerpen biasa? Apa yang harus ada dalam cerpen esai? Apa yang IN dan apa yang OUT? Mengapa kita memerlukan cerpen esai pula?

Karena enam cerpen esai sudah saya tulis, dan keenam itu ingin dijadikan rujukan, maka saya merumuskan lima ciri cerpen esai itu.

Pertama: cerpen esai adalah fiksi dari kisah nyata. Ibu kandungnya adalah peristiwa yang benar-benar terjadi. Ia bukan semata rekaan. Tapi peristiwa itu nyata, walau kemudian ia difiksikan.

Dengan sendirinya cerpen esai berbeda dengan jurnalisme yang tak boleh ada fiksi. Cerpen esai juga berbeda dengan cerpen biasa yang bisa menulis hayalan apa saja tanpa harus merujuk kisah nyata.

Cerpen esai, sebagaimana puisi esai, adalah gabungan fakta dan fiksi.

Kedua: dalam cerpen esai, fungsi catatan kaki sangat sentral. Tak ada catatan kaki maka tak ada cerpen esai.

Catatan kaki itu wakil dari kisah nyata yang akan difiksikan. Catatan kaki bukan hanya penambah informasi atau penjelas kata yang kabur. Catatan kaki itu ibu dari kisah cerpen esai.

Tentu tak semua catatan kaki cerpen esai seperti itu. Dalam beberapa catatan kaki, ada pula fungsi sebagai penambah informasi. Namun minimal ada satu catatan kaki di sana yang menjadi pokok cerita.

Ketiga: Cerpen Esai adalah gabungan cerpen dan esai. Ia cerpen yang bercita rasa esai. Juga esai yang bercita rasa cerpen.

Cerpen dalam arti, ia fiksi. Sedang esai di sini bukan esai dalam pengertian umum, tapi esai berjenis makalah akademik. Ia esai yang dituliskan berdasarkan riset. Sumber informasinya harus valid. Sumber informasi itu yang dijadikan catatan kaki.

Keempat: sama dengan cerpen biasa, panjang cerita ini sekitar 1000- 2500 kata, atau 6000- 10.000 karakter. Batasan ini longgar saja. Semata agar ia tak terlalu pendek untuk membuat drama. Dan tak perlu terlalu panjang pula karena yang ingin dikisahkan satu kesan saja.

Cerpen berbeda dengan novel.

Dalam satu cerpen esai, jika patokannya enam cerpen esai saya, hadir 5-10 catatan kaki.

Kelima: menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan komunikatif. Cerpen esai ini ingin ikut membawa sastra semakin dimengeri khalayak luas.

Ujar Albert Einstein, untuk tahu seberapa gagasanmu komunikatif, ceritakan gagasan itu ke anak SD. Lalu minta anak SD itu menceritakan gagasan itu ke temannya yang anak SD juga. Jika mereka mengerti, dirimu sudah menggunakan bahasa yang komunikatif.

Cerpen esai, sebagaimana puisi esai, juga mempunyai paham bahasa itu: semakin mudah dimengerti orang awam, Ia semakin baik. Semakin gelap dan rumit bahasanya, semakin ia gagal.

Inilah lima prinsip dalam satu kesatuan cara bertutur yang disebut cerpen esai.

Lalu apakah cerpen esai ini mahluk yang berbeda dari cerpen sebelumnya? Cerpen esai adalah bagian dari dunia cerpen. Sebagaimana Ikan Koi adalah bagian dari dunia ikan pada umumnya.

Namun cerpen esai memiliki karakternya sendiri, sebagaimana Ikan Koi juga memiliki karakternya sendiri. Apa karakter cerpen esai? Karakternya adalah gabungan lima ciri di atas dalam satu kesatuan.

-000-

Apakah cerpen esai ini berguna? Apakah cerpen esai ini genre baru? Apakah cerpen esai ini orisinal?

Menjawab hal itu saya serahkan sepenuhnya kepada perdebatan publik. Silahkan saja mereka bertekak-tekuk dengan teori, mengutip ini dan itu, dari malam sampai pagi.

Tentu saja inovasi sehebat apapun dalam sejarah tak ada yang sama sekali baru. Tak ada yang menciptakan apapun dari kekosongan.

Tapi lima prinsip di atas, dan diberi nama cerpen esai, lalu meluas digunakan puluhan penulis lain, menjadi format lomba, itu nampaknya baru.

Cerpen esai tak ada ambisi lain kecuali memberi pilhan tambahan cara bertutur.

Di era pandemik Virus Corona, cerpen esai mendapatkan momentum. Begitu banyak drama, begitu banyak kisah sebenarnya yang bisa difiksikan agar lebih menjadi bahan renungan.

Era pandemik virus corona akan dikenang karena banyak hal. Salah satunya, ia menjadi samudera inspirasi bagi begitu banyak cerpen esai.

Tahun 2012, saya menerbitkan buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta. Kini sudah terbit sekitar 100 buku puisi esai ditulis oleh ratusan penulis dari Aceh hingga Papua, dari Negara Asia Tenggara hingga Australia.

Tahun 2020, segera saya terbitkan kumpulan cerpen esai, berjudul kebalikannya: Atas Nama Derita. Melihat gelagat awal, cerpen esai agaknya juga akan menggeliat mengikuti “keponakannya”: puisi esai. (*)

April 2020

By: Kamila Khairani
Sastrawan dan Member Akademi Kreatif

Meski hadirnya didamba
Fajar tak pernah abadi
Akan datang membersamai
Dan meninggalkan di waktunya

Hingga mentari menyapa
Mengetuk memberi salam
Menitipkan perih di hidup ini
Ada kalanya kegersangan melanda

Sampai pada oase pengharapan
Agar segalanya kian bermakna
Meretas segala mimpi dan harap
Di bawah bayang-bayang angan

Terbakar, terluka dan merana
Mencampakkan keakuan diri
Sampai ikhlas hadir bertahta
Bertemankan kesabaran yang setia

Tak mampu lagi torehkan tinta
Tak lagi sanggup berucap kata
Biarlah hati yang berikhtiyar
Tuk ikhlaskan segala perih

Hingga terlihat di balik awan
Langit jingga di ufuk senja
Pergantian itu pasti adanya
Membenahi segala kekurangan

Berlahan mimpi mewujud nyata
Meredam lara yang membahana
Mengeringkan segala nestapa
Menutupi tirai keangkuhan

Dan lihatlah ke atas sana
Langit malam menawan indah
Beriaskan gemintang gemerlapan
Menerangi seisi cakrawala

Menyinari kesunyian hati
Merasuki menjalari keceriaan
Menghadirkan rekahan senyuman
Untuk abadi selamanya

Hidup dalam curahan kasih Illahi
Untuk menghamba seutuhnya
Menyelami lautan mahabbah
Berbalut taqwa meredam nista

Bogor, 07 November 2019
Kala hati kembali merindu

Oleh : Maya Dhita, ST
Aktivis Pergerakan Muslimah dah Member Akademi Menulis Kreatif

Atas nama cinta..
Yang menggelora didalam jiwa
Merebak memenuhi ruang-ruang kosong dalam hati
Merindu memecah keheningan waktu

Atas nama cinta..
Mencoba mencari jejak-jejakmu
Membingkai kenangan atasmu
Berharap menjadi salah satu yang kau rindui

Atas nama cinta..
Sejauh mana diri ini menjadi seperti yang kau mau
Agar ada perjumpaan indah setelah penantian
Agar tidak ada penyesalan atas kesia-siaan

Atas nama cinta..
Pantaskah diri ini mengharapkan cinta
Mampukah diri ini mendapatkan cinta
Mungkinkan diri ini merasakannya

Atas nama cinta kepadaMu ya Rob
Berharap menjadi bagian dari umat yang beliau rindukan..
Rinduku padamu ya Rosul..

Oleh : Maya Dhita, ST.
Aktivis Pergerakan Muslimah dan Member Akademi Menulis Kreatif

Kemana hati ini akan terpaut
Saat rasa tak lagi peduli logika
Saat cinta menenggelamkan asa mulia
Saat hati dikalahkan hawa nafsu

Kemanakah kemudi akan berarah
Saat langkah sudah tak lagi lurus
Saat berdiri tak lagi tegak
Saat pegangan tak sekuat gigitan geraham

Kemanakah jiwa ini akan berujung
Saat kau tutup mata dan telinga atas nasehat
Saat hatimu senang padahal itu sesat
Saat kau tak lagi peduli adanya syariat

Dimanakah langkahmu akan berhenti
Jika keserakahan kau perturutkan
Jika kesombongan kau agung-agungkan
Jika tak lagi ada simpati dan empati

Di manakah kami akan mengadu
Di mana kan kutemukan hati lembut pemimpinku
Di mana kan kudapatkan perlindunganku

Sungguh diri tak ingin selemah-lemahnya iman
Melihat ketidakbenaran dipertontonkan
Hanya lewat tulisan kami berjuang
Semoga bisa membawa perubahan


By: Kamila Khairani
Sastrawan, Pendidik Generasi dan Member Akademi Kreatif

Saudaraku
Maaf atas rindu yang menyelimuti
Yang terus saja mengganggu diriku
Tuk tau bagaimana dirimu disana

Berharap akan ada yang membawa kabarmu
Menerbangkannya hingga sampai padaku
Lewat semilir angin yang bertiup lembut 
Yang menyisir disela dedaunan pepohonan

Atau lewat kicauan burung-burung
Yang selalu gembira di atas sana
Berharap kabar baik darimu
Ku dapati jua kesudahannya

Saudariku
Bukan maksud tuk campuri urusanmu
Hanya ingin tau interaksimu dengan dakwah 
Hanya ingin tau kedekatanmu dengannya
Benarkah kau selalu menyertainya

Sudahkah ia kau letakkan
Di atas semua pilihanmu
Ataukah hanya sekedar saja
Menjalari rutinitas harianmu

Saudariku mungkin saja kau kesal
Pada diri yang senantiasa bertanya
Yang seolah selalu mengganggu
Hingga akhirnya, enggan menghampirimu

Saudariku tau kah kau satu hal
Mengapa ku lakukan ini semua
Satu hal saja sebagai jawabku
Sebab engkau saudaraku

Meski telah terhalang jarak dan waktu
Sejatinya itu bukanlah jurang pemisah
Selama visi itu masih berporos sama
Dalam ritme dan irama yang senada

Meski ku ingin tetap bertemu jumpa
Dalam bait-bait do'a dan impian
Impian yang jadikan perasaan dan pikiran menyatu
Hingga berujung rindu aturan yang sama 

Saudariku genggamlah erat tanganku
Atau biarkan ku genggam erat tanganmu
Hingga kita saling bergandengan
Dalam delapan karunia Illahi 

Bergenggaman erat hingga tak terlepas 
Hingga tetap bersama menuju ke tujuan
Bukan untuk sampai di ujung jalan ini
Tapi untuk tetap kokoh berada di atasnya

Izinkan ku genggam erat tanganmu 
Karena aku saudaramu
Kini, esok dan untuk selamanya
Hingga waktu menghentikan kita

Hingga waktu mengakhiri segalanya
Kita tetap saudara selamanya
Sebab aqidah yang menyatukan
Dalam perjuangan dan pengorbanan

Demi kemajuan umat ini
Demi kebangkitan agama ini
Demi ridha Illahi Rabby
Marilah kita retas jalan ini

Bogor, kala mentari menyibakkan sinarnya

Oleh : Simon Syaefudin

Hujan rintik-rintik sejak pagi tak membuatku membatalkan niat untuk pergi ke Pasar Filipina di Kinabalu, Negeri Sabah, Malaysia. Aku mendengar informasi dari teman-temanku yang sudah pergi ke sana seperti Fatin Hamama, penyair asal Solok Sumbar dan Siti Rahmah, novelis asal Kinabalu Negeri Sabah bahwa masakan seafood di Pasar Filipina enak sekali. Harganya juga murah jika dibandingkan seafood di Mangga Dua dan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Pasar Filipina, dinamakan demikian, karena memang para pedagangnya orang-orang Filipina. Mereka adalah para pengungsi yang lari dari Pulau Mindanau ketika terjadi peperangan antara angkatan bersenjata Filipina dengan Pejuang Muslim Moro di zaman Presiden Marcos. Mereka lebih memilih mengungsi ke Sabah dibanding ke Thailand atau Myanmar karena orang-orang Negeri Sabah beragama Islam, sama dengan agama orang-orang Moro. Pemerintah Negeri Sabah pun menerima pengungsi Moro dengan tangan terbuka.

Karena para pengungsi ini kebanyakan pelaut, Pemerintah Negeri Sabah membuat pelabuhan laut sekalian dengan tempat pelelangan ikan untuk para pengungsi agar bisa bekerja. Lebih jauh lagi, pemerintah Negeri Sabah membuat pasar khusus untuk kuliner ikan bakar di dekat tempat pelelangan ikan itu.

Ternyata berhasil. Pasar itu kini dikenal penduduk Kinabalu sebagai Pasar Filipina dan sekarang menjadi ikon wisata kuliner di Negeri Sabah. Turis-turis lokal maupun mancanegara sangat menyukai pasar ikan bakar itu karena di samping enak, harganya  murah. Kini Pasar Filipina sangat ramai, terutama di malam hari. Bukan hanya masyarakat Kinabalu yang datang untuk menikmati ikan bakar di Pasar Filipina, tapi juga orang-orang dari daerah lain yang jauh seperti Kuala Lumpur, Kedah, Terengganu bahkan orang Singapura.

Aku memang penggila seafood. Di Jakarta, hampir semua warung seafood sudah aku jelajahi, dari ujung ke ujung. Karena itu air liurku terasa asin bila membayangkan enaknya seafood di Pasar Filipina itu. Aku sempat berpikir kalau makan seafoodnya bareng ama mantanku, Metti Prameswari, alumnus UGM, pasti asyik. Beberapa kali aku makan seafood dengan dia di Kemayoran Jakarta sambil mengenang masa lalu yang tidak kesampaian. Maksudnya gak bisa pacaran selama kuliah di UGM. Setelah beberapa bulan sering bertemu di Jakarta, kami punya istilah pade – pacaran ketemu gede. Saat itu saya 34 tahun, dia 32. Pade setelah masing-masing berusia datita – diatas tiga puluh tahun. Metti masih cantik seperti dulu. Matanya seperti bule. Hidungnya seperti India. Alisnya seperti orang Uzbekiatan, agak melingkar. Dia bilang dulu sebenarnya naksir aku. Tapi gak berani ngomong. Sama sepertiku. Aku juga naksir dia. Tapi tak berani ngomong. Ya.sudah gak kesampaian. Sekarang, idep-idep balas dendam masa lalu, katanya. Aku juga mengiyakannya.

Fatin, sahabatku yang pinter buat puisi itu memberitahu bahwa Pasar Filipina sangat terkenal. Turis-turis manca negara bila ke Kinabalu pasti menyempatkan diri ke Pasar Filipina. Kata Fatin, ada satu seafood yang paling khas di Pasar Filipina. Namanya latoh. Sejenis rumput laut, tapi bentuknya mirip daun putri malu. Warnanya hijau transparan. Lotoi rebusan ini biasa dimakan sebagai lalapan. Rasanya ngekres tapi nggrinjel kaya makan bakso gepeng. Bener-bener membuatku penasaran. Cara makannya, latoh dicolek ke sambal, lalu dimakan. Seperti orang Jawa makan lalapan kangkung. Ouup... sambalnya sederhana. Tapi sedap sekali. Terbuat dari irisan cabe merah, sedikit terasi, dan air jeruk limau dan jeruk nipis. Maaf itu perkiraanku saja. Aku belum pernah bertanya kepada para pedagag ikan bakar di pasar Filipina bagaimana cara membuat sambal itu. Tapi rasa bsambal itu, amboi... nikmat sekali jika dimakan dengan ikan bakar.

“Aku selalu menyempatkan makan latoh kalau ke Kinabalu,” kata Fatin. Fatin adalah seorang penyair produktif asal Solok Panjang.

“Aku senang sekali lalapan latoh, rumput laut yang bentuknya benar-benar seperti pohon putri malu itu,” ungkap Fatin yang sudah sering pergi ke Kinabalu. Cerita Fatin tentang latoh itu dibenarkan Rahmah, temannya, wanita asli dari Kinabalu.

“Kak Simon harus pergi ke Pasar Filipina jika ingin merasakan makanan khas kota atas bayu ini,” kata Rahmah dengan suara jernihnya. Rahmah memanggil aku kakak, karena merasa lebih muda satu minggu dariku. Aku dan Rahmah lahir di tahun yang sama bulan Juli, Cuma beda tanggalnya. Aku tanggal 15, Rahmah tanggal 22. Hanya beda seminggu saja. Waktu kami berbincang di Tugu Double Six Kinabalu, Rahmah mengaku sudah punya cucu. Dalam batin, aku juga harusnya punya cucu. Tapi karena nikahnya terlambat, gak laku-laku, jadi anak-anakku masih kecil-kecil. Yang sulung saja masih kuliah.

“Kak Simon punya cucu belum?” tanya Rahmah.

“Belum,” jawabku. “Aku nikah usia tua, 35 tahun, Cik Rahmah. Akibatnya anakku yang tertua saja masih kuliah tahun ketiga di universitas. Belum menikah. Jadi punya cucunya masih lama,” kataku. Cik Rahmah hanya tersenyum mendengar penjelasanku.

“Kak Simon pastilah seorang pengarang jenius karena lahir di bulan Juli. Pengarang, arsitek, ilmuwan besar rata-rata lahir di bulan Juli,’ ujar Cik Rahmah. “Secara astrologis orang-orang berbintang Cancer itu imajinasinya tinggi,” tambahnya.

“Ah ada-ada saja Cik Rahmah. Aku kurang percaya pada astrologi.” Meski aku kurang percaya, tapi aku mengangguk-angguk. Sepertinya ada sesuatu yang benar yang dikatakan Cik Rahmah. Setidak-tidaknya, apa yang dinyatakan Cik Rahmah itu sedikit ada buktinya. Emha Ainun Najib, penyair dan seniman yang sangat aku kagumi memang berbintang Cancer. Begitu juga begawan teknologi Indonesia, BJ Habibie berbintang Cancer. Keduanya lahir bulan Juli.

Cik Rahmah bercerita bahwa dia sudah menulis puisi sejak usia belasan tahun. Sampai saat ini ratusan cerpen, novel, dan puisi sudah ditulisnya. Beberapa cerpennya menjadi buku ajar di sekolah-sekolah negeri di Sabah. Dan sampai sekarang Cik Rahmah masih rajin menulis.

“Aku akan berhenti menulis kalau tanganku tidak bisa digerakkan lagi. Aku hanya berhenti menulis kalau usia menjemputku,” ungkap Cik Rahmah. Luar biasa. Aku jadi iri dengan Cik Rahmah. Dalam batin, aku beruntung bisa berkenalan dengan sastrawan hebat ini. Semoga aku ketularan kreativitas Cik Rahmah. Meski usianya menjelang 60 tahun, ia kelihatan masih cantik. Kulitya belum keriput. Matanya masih tajam, menunjukkan semangat hidupnya yang menyala-nyala. Cik Rahmah memang wanita super yang perlu dicontoh.

*****
Simong San.... Simong San....
Aku kaget. Telingaku mendengar ada wanita memanggil-manggil nama Simong San sampai dua kali. Saat itu aku sedang asyik melihat suguhan ikan bakar baronang dan udang macan, sehingga tak terlalu peduli dengan suara yang memanggil-manggil nama Simong San.

Tapi setelah berpikir agak lama, aku penasaran juga. Siapa wanita yang memanggil-manggil nama Simong San ini? Kok suaranya bukan cengkok Melayu? Suaranya lembut mengingatkan suara gadis-gadis Jepang waktu aku menonton film di tivi Hiroshima. Kuhentikan mencowel sambal asam untuk makan lalapan latoh. Aku tengok kiri kanan.

Ouh.. aku terkesiap. Mataku terbelalak! Ternyata ada wanita berhijab di sebelah kananku. Ia berdiri sejauh 5 meter dari tempat dudukku di kedai bakar ikan Pasar Filipina. Apakah wanita itu yang tadi memanggil manggil nama Simong San?
Aku perhatikan wajahnya. Ternyata wanita ini bukan orang Melayu. Meski pakai jilbab, masih terlihat bentuk wajah dan kulitnya bukan orang Malaysia atau Indonesia. Kulitnya kuning langsat, matanya sipit, bibirnya tipis, dan dagunya agak lancip. Mirip orang Jepang. Aku melirik sekilas pada wanita berhijab itu.

Tiba-tiba perasaanku aneh. Kayaknya wajah wanita berhijab ini pernah aku kenal. Tapi di mana ya? batinku. Pikiranku melayang jauh 25 tahun lalu. Oh ya, aku jadi ingat lagi, orang Jepang kalau panggil aku Simong. Simong San.

Kata Simon diucapkan Simong. Sedangkan kata San adalah sebutan hormat, semacam bang di Jakarta. Kalau di Mesir, kapten atau ammu. Di Cirebon kang. Di Yogya mas. Di Bali bli.

Aku terdiam. Aku berpikir, jangan-jangan wanita cantik bermata sipit ini yang tadi memanggil-manggil nama Simong San. Apakah aku yang dipanggil? Jika benar aku, kenal dari mana dia denganku? Aku makin penasaran. Aku jadi ingat, teman-teman Jepangku dulu di Tokyo dan Hiroshima kalau manggil aku Simong San. Tapi mana ada wanita Jepang berhijab? Itulah yang membuat aku makin penasaran.

Kuhentikan lidahku yang sedang mengunyah latoh. Pikiranku mengembara ke masa silam, 25 tahun lalu. Aku sepertinya mengenal perempuan paruh baya yang berhijab ini. Cuma aku tak berani mendekatinya untuk bertanya, apakah dia yang tadi memanggil nama Simong San? Ketika hatiku sedang bergejolak diterjang fantasi masa lalu, tiba-tiba wanita berhijab bermata sipit itu mendekatiku. Aku makin kaget.

“Simong San. Do you still remember me?” katanya seraya mendekat ke arahku. Kini jarak antara perempuan berhijab itu denganku hanya satu meter. Aku benar-benar kaget. Tekejut. Kok dia berani menanyakan apakah aku masih mengingatnya?

“Pardon...madam. Who are you?” kataku agak gelagapan ketika wanita berkulit kuning langsat itu menanyakan apa aku masih ingat kepadanya. Makan latoh pun aku hentikan. Aku fokus pada perempuan  berwajah Jepang ini.

“I am Ayumi,” katanya sambil senyum.

“Haa? “Are you Ayumi?” Aku gelagapan. Aku kaget bukan main. Hampir-hampir lalapan latoh yang masih ada sedikit di mulutku terlontar keluar.

Aku langsung berdiri. Aku langsung mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Ayumi langsung menyambut tanganku. Tangan kami seolah tidak mau lepas. Sambil aku guncang tangan Ayumi, aku tak sadar berkali-kali mengucapkan ...Ayumi .... Ayumi... Ayumi.

“I still remember you. I can’t forget you, Ayumi San. You are always in my heart!” kataku. Ayumi tersenyum. Ia juga kaget kalau aku katakan tak pernah melupakannya.

“How is your mother Akemi San and your father Suzuki San?”

“Baik-baik. Mereka sehat, arhamdurirah,” katanya.

Aku makin kaget lagi. “Kau bisa bahasa Melayu,” tanyaku. Ayumi mengangguk. “Aku sekarang jadi orang Merayu,” katanya. Suamiku orang Maraisia.

Lidah orang Jepang memang sulit menyebut huruf l (el). Kata Melayu, ia sebut Merayu. Alhamdulilah, menjadi arhamdurirah. Aku memakluminya ketika Ayumi menyatakan kalimat alhamdulillah dengan arhamdurirah. Maklum lidah Jepang. Tapi lama-lama, aku yakin lidahnya bisa menyesuaikan dengan lidah Melayu.

Aku kenal Ayumi, 25 tahun lalu saat mengikuti Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21. Program tersebut diselenggarakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk membangun persahabatan antara pemuda Indonesia dan Jepang. Pesertanya para pemuda berprestasi. Pemuda teladan, aktivis lembaga sosial, penulis, pegawai negeri berprestasi, dan lain-lain. Aku terpilih sebagai penulis kolom yang dianggap berprestasi. Saat itu, aku menjadi juara pertama lomba menulis se-Indonesia dalam rangka peringatan 100 Tahun Arsip Nasional. Di samping uang, hadiahnya diikutkan program persahabatan Indonesia-Jepang.

Selama di Jepang, sebulan penuh, para peserta diperkenalkan berbagai kebudayaan Jepang. Terus dilibatkan dalam diskusi tentang peran pemuda abad ke-21 dengan para pemuda dan tokoh intelektual Jepang. Peserta juga dibawa ke tempat-tempat wisata Jepang di Kyoto, Hiroshima, Okinawa, dan kota-kota wisata lain. Kemudian ada program home stay selama tiga hari di rumah orang Jepang. Tujuannya agar pemuda Indonesia bisa menghayati bagaimana kehidupan orang Jepang sehari-hari on the spot langsung.

Nah, ketika program home stay inilah aku kenal Ayumi. Aku tinggal di rumah Keluarga Suzuki, seorang kontraktor di Hiroshima. Istrinya, Akemi. Keluarga Suzuki punya dua anak. Yang sulung Ayumi. Adiknya, lelaki, Amida. Ayumi saat itu kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Hiroshima University tahun keempat. Usianya saat itu 22 tahun. Amida masih SMA.

Sebelum menginap di rumah orang Jepang, pihak JICA sudah memberi tahu sedikit bagaimana cara hidup orang Jepang. Pertama, kalau masuk ke rumah orang Jepang, sepatu harus diletakkan dengan rapi. Setelah dicopot, sepatu diletakkan dengan ujungnya menghadap ke luar rumah. Kedua jangan sekali-kali berbuat tidak senonoh kepada wanita Jepang. Itu bisa dianggap pelecehan seksual dan hukumannya sangat berat. Ketiga harus memberikan omiyage kepada keluarga yang akan ditempati (home stay) untuk mempererat persaudaraan. Omiyage adalah semacam hadiah atau oleh-oleh bila orang Jepang berkunjung atau menemui keluarga atau temannya. Omiyage ini seperti wajib untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Saat itu aku membawa omiyage wayang kulit dan batik Trusmi. Aku membelinya di Cirebon. Aku juga membawa bumbu masak nasi goreng. Keluarga Suzuki senang sekali dengan omiyage yang aku berikan. Apalagi ketika aku masak nasi goreng. Ayumi suka sekali masakanku. “Oishi.. oishi,” kata Ayumi. Enak, katanya.

Aku heran, keluarga Suzuki baik sekali padaku. Padahal yang tinggal di rumah Suzuki, dua orang. Aku dan Handri. Tapi, Suzuki, Akemi, dan Ayumi sangat mengistimewakan aku.

“Simong itu lucu. Banyak cerita hal-hal yang mengasikkan,” kata Ayumi dalam bahasa Inggris terpatah-patah. Akemi juga menyatakan hal sama. “Kehadiran Simong di rumah sangat menghibur kami,” katanya. Aku memang sebelum home stay sudah mengumpulkan cerita-cerita lucu. Bahasa Jepang sedikit-sedikit aku pelajari. Nama-nama pemain bola Jepang saat itu seperti Kenichi, Suzuki, dan Hiroshi juga aku hapal. Aku yakin obrolan tentang sepak bola akan mengakrabkan aku dengan tuan rumah. Sedangkan Handri diam saja. Ia lebih banyak unggah-ungguh. Maklumlah Handri orang Jawa dari Semarang. Sangat pemalu.

Ayumi saat itu suka denganku. Ia mengajak aku keliling kota Hiroshima dengan mobil Audi warna merah. Masyarakat Jepang tahu, kalau mobilnya buatan Jerman, itu simbol orang kaya. Ayumi memang anak orang kaya, kontraktor besar.

Ayumi mengajak aku, naik mobil Audi merah ke Miyajima, tempat wisata terkenal di Hiroshima. Di sana ada kuil di pinggir laut. Kalau musim pasang laut, kuil itu terendam. Di kuil ini ada pohon cemara berusia dua ratus tahun. Aku juga diajak Ayumi melihat jembatan Kintakiyo – jembatan kuno yang semuanya terbuat dari kayu. Tak lupa, Ayumi membawaku melihat musium bom atom di kota Hiroshima dan naik trem yang mengitari kota. Seharian aku jalan-jalan dengan Ayumi, hanya berdua. Handri tidak diajak. Entah kenapa, Ayumi hanya mau berjalan denganku. Sedangkan Handri pergi bersama orang tua Ayumi. Kata Handri, ia diajak Suzuki ke pasar seni yang menjual barang-barang antik di kota Hiroshima. Suzuki tahu kalau Handri adalah seniman.

Di hari ketiga, menjelang kepulanganku dari Hiroshima, aku duduk-duduk di ruang tengah. Saat itu pukul sebelas malam. Handri sudah tidur di atas tatami. Suara dengkurnya terdengar keras, menandakan dia tidur pulas. Tapi aku masih belum tidur. Nonton tivi bersama Ayumi. Pas ketika jarum jam menunjukkan angka dua belas waktu setempat, Ayumi memaggilku masuk ruangan.

“Simong San suka menonton film?” kata Ayumi. Sebagai tamu aku bilang saja iya, tak berani menolak. Aku pun masuk ruangan itu. Ternyata semacam teater kecil. Ada tivi layar lebar, sound sistem bersuara keras, dan sofa warna biru yang empuk. Ayumi langsung memasukkan disk film Pretty Woman yang dibintangi Richard Gere dan Julia Roberts. Meski aku sudah menonton film itu di Jakarta, aku bilang kepada Ayumi belum pernah nonton film Pretty Woman agar Ayumi tidak kecewa.

Mulanya aku asyik menonton film itu. Lama-lama, keasyikanku terganggu. Duduk Ayumi di sofa makin dekat denganku. Dengan hanya memakai celana pendek dan kaos you can see warna merah jambu, Ayumi terus mendekatkan diri ke tempat dudukku.

Wah gimana nih, aku bingung. Aku bisa tergoda dengan gadis Jepang yang cantik berkulit kuning langsat ini. Aku pura-pura bodoh. Aku pura-pura asyik nonton film. Padahal hatiku dag dig dug melihat pakaian Ayumi yang serba minim. Aku masih ingat nasehat Pak AR Fachrudin, bapak kosku waktu kuliah di Yogya. Jangan dekati perbuatan zina, kata Pak AR. Aku masih terngiang kata-katanya. Dalam batin, tidak... tidak, aku tidak akan menyentuh Ayumi, meski tubuhnya yang wangi sudah sangat dekat denganku.

“Sorry Ayumi, I am sleepy,” kataku ketika Ayumi terlihat sudah mulai mendongakkan wajahnya di sampingku supaya aku menciumnya. Sorry, aku sudah mengantuk Ayumi. Ayumi rupanya kaget. Mungkin karena aku tidak meresponnya, padahal ia sudah pasrah, mau diapakan saja olehku.

“Oh sorry Simong San. Maybe you are tired,” katanya. Maaf Simong, mungkin anda sudah capai, kata Ayumi. Ayumi pun mengantarkan aku ke kamar tidur yang sudah disediakan. Handri sudah terlelap. Yang terdengar hanya dengkurnya. Aku pun pura-pura segera tidur. Lalu Ayumi pergi ke kamar sebelah, kamar tidurnya.

Malam itu, aku tak bisa tidur. Wajah Ayumi terbayang-bayang terus. Apalagi ketika nonton film di ruang teater mini dengan busana sangat seksi. “Tidak. Tidak. Aku tak boleh ingat itu,” batinku sambil mengingat nasehat Pak AR Fachrudin. Siang harinya, aku berpamitan karena harus berkumpul dengan teman-teman dari Indonesia yang baru selesai home stay. Tapi malamnya kami masih harus bermalam di Hiroshima sekalian menghadiri acara farewell party di hotel Hiroden dengan “induk semang” tempat kami tinggal selama tiga hari di Hiroshima.

Acara farewell party cukup meriah. Suzuki, Akemi, dan Ayumi datang ke acara farewell party yang dilaksanakan JICA. Ayumi memakai busana merah jambu. Merah jambu ini mungkin warna favorit Ayumi. Dengan rok panjang warna merah jambu dan sepatu hak tinggi, Ayumi kelihatan anggun.

Selama acara farewell party di lantai dua Hotel Hiroden, Ayumi menggandeng tanganku. Mesra. Tak peduli bapaknya, Suzuki San, meledeknya. Ia bilang kepada Ayumi, Simong San sudah punya pacar di Indonesia. Tapi Ayumi tak peduli.

Suzuki San memang pria yang lucu dan humoris. Suka ngledek orang. Handri, teman satu kamar di hotel Hiroden dan di rumah Suzuki, juga pernah diledeknya. Kata Suzuki, Handri mirip Akira Kurosawa, sutradara film terkenal Seven Samurai itu. Suzuki tahu dari biografi Handri yang diberikan JICA, kalau pemuda dari Semarang itu punya cita-cita jadi sutradara film. Dipuji seperti itu Handri hanya senyum-senyum. Mungkin malu karena sebetulnya wajah dia tidak mirip sama sekali dengan Akira Kurosawa. Kalau saya tatap, wajah Handri mirip Teru Miyamoto, penulis novel Maboroshi no Hikari.

Usai acara farewell party di hotel Hiroden, Hiroshima City, aku pun masuk kamar. Aku capek setelah membereskan semua barang-barang, baju, celana, dan lain-lain untuk kembali ke Tokyo. Jam sepuluh malam, setelah acara usai, aku pun tidur-tiduran di kamar. Membaca koran Hiroshima Daily, agar cepat kantuk.

Tiba-tiba ...tok..tok..tok. Ada orang yang mengetuk pintu kamarku. Ouh...ternyata Ayumi. Ia pun masuk kamarku. Tanpa kuduga sebelumnya, ia memelukku erat-erat seakan-akan orang yang rindu kepada pacarnya setelah tidak bertemu selama lima tahun. Ayumi menangis. Aku diam saja. Lalu Ayumi mengeluarkan sebuah poscard warna merah jambu yang berisi tulisan: I love you Simon. Aku pun kaget luar biasa. Ternyata gadis Jepang itu menyintaiku. Aku? Pikiranku tak karuan. Cinta memang tak tak kenal batasan bahasa, kulit, dan ras. Cinta adalah cinta. Cinta bagaikan sinar matahari yang menerangi bumi. Tanpa pamrih. Tanpa bisa dicegah.

Poscard merah jambu itu aku genggam dan kutempelkan di dada sambil memandang Ayumi. “I love you too,” jawabku. Ayumi tersenyum. Lalu memelukku. Aku ingat nasehat Pak AR sehingga aku pun segera melepaskan pelukan Ayumi. “Sorry Simong, I miss you. I love you,” kata Ayumi dengan suara lembut.

******

Kini Ayumi berada di hadapanku di Pasar Filipina, Negeri Sabah. Usianya sudah menua, tapi gurat-gurat kecantikannya masih terlihat.

“Sekarang tinggal di mana Ayumi,” tanyaku.

“Aku tinggal di Kinabalu. Ia pun memberikan kartu penduduk. Namanya tertulis Ayumi Matlani.
Aku kaget. Matlani? Siapakah suami Ayumi? Aku tahu Matlani adalah nama khas Melayu. Seperti nama Sabeni di Betawi. Aku jadi ingat Jasni Matlani, nama Presiden Badan Bahasa dan Sastra Negeri Sabah yang ramah dan humoris itu. Ketika aku usai membaca puisi di kampus Institut Keguruan dan Pendidikan di Kinabalu, Jasni Matlani menepuk bahuku sambil memuji, bagus puisimu Simon! Senang aku dipuji penyair dan novelis top Negeri Sabah itu.

“Kenapa nama belakangmu Matlani?” tanyaku kaget pada Ayumi.

“Suamiku sekarang orang dari Negeri Sabah. Namanya Muhammad Azis Matrani,” jawab Ayumi. Maksudnya Muhammad Azis Matlani. Aku terhenyak. Ooh Ayumi, gumamku tanpa sadar.

“Jadi kamu sekarang beragama Islam sehingga memakai hijab?” tanyaku penasaran.

“Ya Simong, aku sekarang musrimah. Suamiku memintaku memakai hijab sebagai ciri wanita musrimah. Suamiku sudah mengajarku membaca ayat-ayat ar-Qur’an dan pelajaran hadist,” jelas Ayumi.

Ayumi pun aku minta duduk di sebelahku, ikut makan ikan bakar dan lalapan latoh. Aku pesan cumi, ikan kerapu, dan udang macan bakar untuk Ayumi. Minumnya aku pesan orange juice, kesukaan Ayumi waktu di Jepang.

“Bagaimana suamimu dulu,” tanyaku. Aku tahu Ayumi sudah bersuami karena sebelum menikah ia bercerita melalui surat kepadaku bahwa ayahnya memaksa menikah dengan seorang bankir. Suzuki San ingin Ayumi menikah dengan orang kaya. Padahal Ayumi pernah menyatakan dalam suratnya, siap menikah denganku. Tapi karena desakan ayahnya, akhirnya dia terpaksa menikah dengan bankir itu.

“Aku sudah pisah dengan suamiku. Aku tak tahan karena suamiku suka mabuk. Dia peminum berat. Jadinya kasar dan suka menyakitiku. Aku tak tahan dan lari,” cerita Ayumi dengan wajah sendu dalam bahasa Inggris.

“Simong San, sebetulnya aku ingin menikah dengan orang Merayu seperti Indonesia atau Maraiysia. Makanya aku berusaha mendekatimu waktu di Hiroshima. Aku diberitahu teman-temanku yang sudah menikah dengan orang Indonesia bahwa orang Indonesia tidak suka minuman keras. Orang Indonesia juga tidak suka pesta. Agama yang dianutnya melarang orang minum minuman keras dan pesta dansa,” Ayumi menjelaskannya dengan wajah tertunduk. Aku pun ikut prihatin, kasihan mendengarnya.

“Tapi Simong tahu sendiri kan. Orang Jepang itu sangat materialistis. Semuanya diukur dengan uang dan kekayaan. Itulah sebabnya, ayahku meminta aku menikah dengan bankir yang kaya,” tutur Ayumi.

Aku diam. Sesekali tanganku mengorek-ngorek ikan bakar yang masih hangat belum kumakan. Ayumi aku minta meneguk minuman jus jeruknya. Ia pun minum jus warna kuning itu dengan pelan-pelan.

“Ayo dimakan ikan bakarnya, Ayumi. Jangan diam saja,” kataku. Ayumi mengambil ikan bakar. Ia pun mengambil latoh, kemudian mencowelnya dengan sambal asam khas buatan pengungsi Filipina itu. Ayumi kelihatan menikmatinya. Rupanya ia sudah tahu latoh duluan ketimbang aku karena sudah tiga tahun tinggal di Kinabalu.

“Aku punya anak satu, perempuan,” cerita Ayumi. Namanya Duriam Muhammad. Maksudnya Duliam Muhammad. Sengaja aku beri nama khas Merayu agar menyatu dengan kebudayaan setempat, ujar Ayumi yang mulai menyenangi kebudayaan Melayu. Aku bahagia menikah dengan Datuk Muhammad. Ia baik, salatnya rajin, dan sayang pada istri dan anak. Aku bersyukur kepada Tuhan mendapat suami orang Merayu, lanjut Ayumi dengan mata berbinar.

“Simong San sendiri punya anak berapa?” tanya Ayumi.

“Empat,” jawabku.

“Ouuh,” Ayumi kaget. “Banyak sekali anaknya. Di Jepang orang tak berani punya anak lebih dari dua. Bahkan mereka lebih suka punya anak satu atau tidak punya anak sama sekali,” jelasnya. “Malahan sekarang gadis-gadis Jepang lebih suka tidak menikah. Menikah dianggapnya merepotkan. Tidak bebas,” tambah Ayumi pakai bahasa Inggris.

“Bagaimana dengan masa tuanya,” tanyaku.

“Kan ada panti jompo. Pemerintah Jepang memotong gaji setiap karyawan untuk bayar asuransi hari tua. Jadi mereka tidak perlu repot. Di panti jompo fasilitasnya bagus. Ada orang yang mengurusnya,” jelas Ayumi.

Ayumi asik bercerita masa lalunya kepadaku. Tentang kuil Miyajima yang sekarang sering terendam air laut. Jembatan Kintakiyo yang sudah mulai rapuh. Tentang kota Hiroshima yang penduduknya makin berkurang. Populasi penduduk Jepang memang akhir-akhir ini berkurang terus. Hal ini terjadi karena gadis-gadis Jepang lebih suka hidup sendiri ketimbang berkeluarga.

“Simong, aku harus pulang. Sudah jam tujuh petang. Suamiku menunggu. Maaf ya. Rumahku dekat dari sini. Hanya satu kilo meter. Aku ke pasar Firipina hanya mau beli udang macan. Suamiku sangat menyuakinya,” kata Ayumi dengan suara lembut.

“Oke Ayumi. Jaga baik-baik ya. Hati-hati di jalan. Salam untuk suamimu,” kataku masih terkaget-kaget karena tak menduga bisa bertemu mantanku di Kinabalu.

“Assaramuaraikum,” kata Ayumi mengucapkan salam sebelum pergi.

“Waalaikum salam,” aku membalas salam Ayumi. Ayumi pun melambaikan tangan.

Hujan rintik-rintik belum berhenti dari pagi sampai malam di Kinabalu. Aku melihat Ayumi berjalan ke tempat parkir mobil. Tubuhnya yang tinggi semampai masih tetap seperti dulu. Rambutnya yang pirang kini tertutup hijab. Seperti tak percaya kejadian itu, aku bergumam – Tuhan telah menunjukkan keajaiban di Kinabalu kepadaku. Dipertemukan dengan wanita Jepang yang pernah aku cintai.

Dalam hati aku berdoa, Ya Allah bahagiakan Ayumi dan berkahilah keluarganya. Aku bahagia Ayumi mendapat suami orang Melayu yang dicita-citakannya.

Titik-titik air mata bahagia tak terasa membasahi kelopak mataku. Hujan rintik-rintik yang tak berhenti membasahi Kota Atas Bayu hari itu seakan  ikut membasahi hatiku. Aku bahagia jika Ayumi bahagia. Subhanallah! Tuhan telah menunjukkan kekuasaannya mengatur kehidupan manusia, bisik batinku. Allah Maha Besar. (*)


Penulis By: Dasril, M.Pd
Kepala Bidang PTK Dinas Pendidikan Kota Payakumbuh - Sumatra Barat.
Editor: Khanis Selasih & Syamdani

            "Malam ini kita panen raya, ibarat mendapat  durian runtuh!" kata Sican.  
            "Mungkin malam ini  malam puncak jatuh terbanyak durian di  kebun Pak Syawal," gumamku dalam hati.
            Tak satu pun durian kami kupas malam itu, karena berharap besok siang akan kami makan bersama semua anggota Karang Taruna Remaja Kreatif Desa Tanjung Situjuh Gadang. Malam semakin larut, satu persatu kami mulai kelelahan menahan kantuk. Api unggun yang kami buat dari membakar sisa-sisa pokok pohon kering mulai meredup. Bakaran ubi kayu habis tak tersisa dan seduhan kopi hanya tersisa residunya saja di gelas masing-masing. Beberapa buah durian yang kami kumpulkan malam itu diletakkan di sudut kandang pondok dekat  obor.

Kidir dan Sican  masih duduk berselimut kain sarung di pojok pondok, sambil menghisap rokok daun pucuk enau  yang sudah digulung dengan tembakau. Kidir dan Sican terus menunggu jatuhnya durian matang dari pohonnya. Ada tujuh batang pohon durian yang berbuah di musim buah tahun ini.
  
             Mula-mula Jaluk mulai terdengar dengkurnya sambil tidur berselimut kain sarung di lantai pojok pondok. Tak lama berselang Sican juga mulai menguap-nguap menahan kantuk. Tak beberapa menit kemudian Sican juga tumbang terkulai sambil bersandar di tubuh Jaluk yang semakin asyik menikmati dengkurnya. Kulihat jam di arloji tanganku sudah pukul 04.30 WIB. "Sudah hampir pagi," pikirku. Sican juga semakin erat gulungan selimutnya.

            "Bangun... bangun... bangun...!" suara serak Jaluk memecah pagi hari.
           Suara Jaluk membangunkan tidurku yang sedang menikmati mimpi. Mimpi sedang makan durian dicampur lemang ketan yang dihidangkan oleh Anisah, Sang kekasih dalam rapat karang  taruna. Kami semua bangun sambil mengusap-usap mata karena masih perih menahan kantuk.

            "Mana duriannya, apa dah dibawa ke Balai Pemuda ?" tanyaku pada Sican dan Jaluk. Sedangkan  Kidir masih asyik mendengkur bagaikan bunyi gerobak kayu yang didorong tapi pecah kalahar,”Bersambung ke episode 3


Penulis By: Dasril, M.Pd
Kepala Bidang PTK Dinas Pendidikan Kota Payakumbuh - Sumatra Barat.
Editor: Khanis Selasih & Syamdani

             "Bum...!" Sebuah durian matang jatuh di pokok batang durian. Serentak kami semua melompat dari pondok perapian tempat menunggu durian jatuh.
            "Ini saya dapat...!" teriak Sican dari arah semak-semak di bawah pohon durian yang tumbuh di lereng kebun arah ke bandar air sawah. Bergegas kami kembali ke pondok setelah durian didapat.
         
              Aku, Kidir, Sican, dan Jaluk malam itu sengaja menunggu durian jatuh di kebun durian Pak Syawal, ayahnya Kidir. Malam itu adalah malam Sabtu dan esoknya kami akan membawa durian itu untuk dimakan bersama anggota dalam rapat karang taruna. Kami sudah minta pada Pak Syawal yang dikenal dermawan, dan buah durian yang kami tunggui jatuh malam ini untuk menu rapat karang taruna di desa kami. Kami akan memakan bersama durian itu dicampur lemang ketan buatan Mak Lepoh yang terkenal di Desa Tanjung Situjuah Gadang.
           Untuk mengusir dinginnya malam, kami sengaja membuat api unggun. Beberapa rumpun ubi kayu sudah kami bongkar sore itu untuk dibakar  sambil menyalakan api penghangat dinginnya malam. Kidir begitu rajin membolak-balik bakaran ubi kayu dari bara api yang memerah. Sican begitu asyik chatting di handphone kesayangannya. Sambil senyum-senyum sendiri, Sican sibuk menyentuh layar gadget-nya. Entah apa yang membuatnya senyum-senyum sendiri sambil sesekali menggaruk  kakinya yang digigit nyamuk. Jaluk lagi memanaskan air di periuk untuk menyeduh kopi yang sudah dibeli di warung Mak  Lepoh sore tadi.
            Tiba-tiba ... "buum...!" suara durian jatuh mengejutkan kami semua dari keasyikan masing-masing. Bergegas aku berlari ke arah sumber suara sambil menyalakan lampu senter  di genggaman tangan. Mataku menatap liar sekeliling semak-semak kecil di sekitar pokok batang durian yang baru jatuh. Jaluk tak mau ketinggalan dia juga bergegas lari ke arah suara durian yang jatuh dari pohonnya.
              "Nah ini dia...!" seru Jaluk sambil mengangkat sebuah durian yang berukuran sedang dibalut daun-daun kering yang menempel di tajamnya duri durian tersebut. Malam itu sampai pukul satu malam, kami sudah berhasil mengumpulkan sebanyak 47 buah durian yang matang jatuh dari pohonnya. Bersambung......

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.