-->

Latest Post


MPA,PADANG - Renang merupakan salah satu keterampilan dan ketangkasan bagi setiap prajurit TNI AD yang harus dimiliki baik ditingkat satuan seperti Batalyon sampai tingkat yang lebih tinggi (Mabes). Latihan ini merupakan tuntutan dan salah satu program kebijakan TNI AD dalam membentuk postur tubuh prajurit.

Pentingnya ketangkasan diair bagi setiap prajurit TNI-AD, mengingat sebagian wilayah Indonesia baik dalam tugas sehari hari maupun dalam penugasan atau operasi berada dimedan yang berawa, laut, sungai, danau dan lainnya sehingga ketangkasan ini sangat perlu dimiliki. Selain itu, bermanfaat juga untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik prajurit.

Seperti yang dilaksanakan oleh Korem 032/Wirabraja bertempat di kolam renang Wirabraja Sport Centre Kota Padang, Kamis (11/7/2019) dengan kekuatan seluruh Prajurit jajarannya tak henti-hentinya menjaga dan memelihara kemampuan renang  yang rutin di laksanakan secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.

Kepala Seksi Personalia (Kasipers) Korem 032/Wbr, Kolonel Inf Jajang Kurniawan pada kesempatan ini menyampaikan agar memanfaatkan waktu yang ada ini untuk selalu meningkatkan kemampuan diri yang sangat berguna untuk kebutuhan setiap prajurit seperti saat akan UKP ataupun mengikuti pendidikan nantinya.

Disampaikan juga bagi personel yang anaknya berminat untuk masuk TNI agar membina anaknya semaksimal mungkin sehingga pada waktunya nanti sudah memiliki kemampuan yang cukup dan pantas untuk masuk menjadi anggota TNI, seperti seleksi Taruna Akmil kemarin, dari 5 orang yang berangkat seleksi tingkat pusat di Magelang, 4 orang adalah anak dari Keluarga TNI (KBT), jelasnya.

Latihan yang dipandu personel  Jasmani Korem 032/Wbr ini merupakan kegiatan yang diprogramkan setiap hari kamis pagi untuk memelihara serta meningkatkan kemampuan prajurit Korem 032/Wbr. Ketangkasan renang wajib di kuasai oleh setiap prajurit, guna membentuk prajurit yang trengginas. Selain itu, sebagai salah satu persyaratan bagi prajurit pada saat akan diusulkan untuk kenaikan pangkat, kursus-kursus maupun pendidikan lainnya dan yang terpenting adalah mendukung pelaksanaan tugas pokok TNI.

(ar/rilis)




Foto/Ilustrasi/Istimewa Sindonews.com

WASHINGTON - Lima kapal perang Korps Garda Revolusi Iran berusaha merampas sebuah kapal tanker minyak Inggris di Teluk Persia pada Rabu kemarin. Namun mereka kemudian mundur setelah kapal perang Inggris mendekat
.
"Kapal perang Inggris dikatakan berada kurang dari 5 mil di belakang kapal tanker tetapi segera mencegat kapal-kapal Iran dan mengancam akan melepaskan tembakan. Sebuah pesawat pengintai berawak AS juga ada di atas," ungkap seorang pejabat senior pertahanan Amerika Serikat (AS) kepada Fox News.

Pejabat itu menambahkan bahwa pasukan Iran pergi tanpa melepaskan tembakan.
Juru bicara Komando Sentral AS (CENTCOM), Bill Urban mengatakan militer mengetahui laporan kejadian itu.

“Ancaman terhadap kebebasan navigasi internasional membutuhkan solusi internasional. Ekonomi dunia bergantung pada arus perdagangan bebas, dan merupakan kewajiban semua negara untuk melindungi dan melestarikan kunci kemakmuran global ini," ujarnya seperti dikutip dari Fox News, Kamis (11/7/2019).

Ini adalah insiden terbaru dalam serangkaian aksi provokasi antara Iran dan Barat. Sebelumnya pasukan Marinir Inggris pekan lalu merampas kapal tanker Iran yang diyakini telah melanggar sanksi Uni Eropa. Marinir Kerajaan Inggris merampas kapal itu di Gibraltar setelah meyakini kapal itu berusaha menyediakan minyak mentah ke Suriah, sekutu Iran.

Presiden Iran Hassan Rouhani memperingatkan bahwa Inggris akan menghadapi konsekuensi atas perampasan tersebut.

Bulan lalu, Iran menembak jatuh pesawat tak berawak AS di atas Selat Hormuz, jalur air vital yang memisahkan Iran dari Uni Emirat Arab.

Para pejabat AS juga menyalahkan Iran atas serangan terhadap enam kapal tanker minyak di daerah tersebut. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menuduh rezim Iran berusaha mengganggu pasokan minyak dunia yang melalui selat itu.

Ketegangan antara Iran dan AS telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir dan bisa jatuh ke titik nadir setelah Iran pada awal pekan ini mengakui telah melampaui tingkat pengayaan uranium yang ditetapkan oleh perjanjian nuklir 2015.

Presiden Trump menarik AS dari kesepakatan itu tetapi beberapa negara Uni Eropa, yang merupakan sekutunya, tetap berada dalam perjanjian itu. Trump telah mengindikasikan ia akan menjatuhkan sanksi tambahan pada Iran.

(*)


MPA, KOPI - Jakarta (08 Juli 2019) - Hasil pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah menemukan bahwa Pelecehan Seksual sebagai salah satu jenis kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, melainkan juga non fisik. Temuan tersebut muncul dari kasus-kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan dan ke berbagai lembaga pengada-layanan di Indonesia.

Pelecehan seksual non fisik diantaranya adalah intimidasi, ancaman, dan ujaran yang bersifat seksual baik secara langsung ataupun menggunakan media sosial, yang berakibat pada kerugian/penderitaan korban (rasa terhina dan direndahkan martabat kemanusiaannya). Dampak psikis tersebut dengan serta merta dapat mempengaruhi kondisi fisik korban, bahkan dapat berlanjut kepada dampak secara ekonomi dan sosial, jika korban tidak dipulihkan.

Hanya sedikit korban yang berani melaporkan bentuk kekerasan seksual ini, karena minimnya perlindungan hukum dan masih kuatnya budaya yang menempatkan pelecehan seksual sebagai sebuah kewajaran. Situasi ini menyebabkan korban pelecehan seksual (terutama non fisik) rentan dikriminalkan atas upayanya mengungkap kejahatan.

Baiq Nuril (BN) adalah salah satu korban yang dimaksudkan di atas. BN mencoba dan berupaya keras mencari keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya, termasuk dalam hal ini merekam pelecehan seksual yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu untuk melaporkan tindakan kekerasan, dibutuhkan pembuktian, apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan dan berkuasa atas dirinya. Ketika rekaman tersebut disebarluaskan oleh pihak lain yang menjanjikan membantu BN mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke DPR, BN dilaporkan melanggar UU ITE. Sementara pihak lain yang menyebarluaskan rekaman tersebut, tidak dilaporkan.

Meski pengadilan tingkat pertama menyatakan BN tidak bersalah, namun Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia menetapkan BN bersalah dan menghukumnya dengan penjara 6 bulan dan denda 500 juta rupiah. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan BN-pun harus kandas, ditolak oleh lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.

Meski menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di intervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan denga Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini. Padahal, PERMA 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. PERMA ini adalah sebuah langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaraan (seluruh warga negara) di hadapan hukum.

Komnas Perempuan juga menyesalkan POLRI (dalam hal ini POLDA NTB) atas dihentikannya penyidikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan BN, karena ketidakmampuan menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam penyidikan kasus BN ini. Ketika POLRI hanya memahami perbuatan cabul seharusnya perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik, maka korban dari kasus-kasus kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual non fisik, tidak akan pernah terlindungi.

Pengabaian atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh Mahkamah Agung dan ketidakmampuan POLRI dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul, telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kondisi ini juga disebabkan keterbatasan sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual sehingga memberikan peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual.

Keterbatasan sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum Acara) sebagai standar yang harus dijalankan peradilan, sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan. Termasuk dalam hal ini, keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya kepada perempuan.

BN adalah korban berlapis dari kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dan dari ketidakmampuan negara melindunginya. Kriminalisasi pada BN menjadi preseden buruk bagi hilangnya rasa aman bagi perempuan dan absennya negara dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya pelecehan seksual.

*Untuk itu Komnas Perempuan meminta:*

1. DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan memastikan ke sembilan jenis kekerasan seksual termasuk Pelecehan Seksual dalam RUU tersebut tetap dapat dipertahankan;

2. Presiden RI untuk memberikan Amnesti kepada BN sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual (belum memberikan kesetaraan perlindungan), sebagaimana prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam Konstitusi dan prinsip due dilligence yang ada dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984;

3. Hakim Pengawas Mahkamah Agung (MA) mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan PERMA 3/2017 di lingkup pengadilan, sejak dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA;

4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) dan Dinas PPPA setempat mengupayakan pemulihan dan pendampingan kepada BN, khususnya kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil;

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk mengeluarkan kebijakan zero tolerance kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual di lingkup Kemendikbud; dan merekomendasikan kepada para pendidik pada institusi formal dan non formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual.

_Sumber: Komnas Perempuan (Azriana, Pimpinan: 0811672441; Mariana Amiruddin, Sub Komisi Pemantauan: 081210331189 3; Sri Nurherwati, Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan: 082210434703)_

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.