MPA, KOPI JAKARTA – Lagi, seorang ibu rumah tangga ditangkap polisi
di Bogor. Tidak tanggung-tanggung, IRT bernama Zakria Dzatil itu diseret dari
Bogor ke Polrestabes Surabaya. Pasalnya, wanita yang sedang dalam masa menyusui
anaknya ini diadukan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, ke polisi dengan pasal
penghinaan melalui media sosial. Alhasil, Zakria Dzatil harus menyusul korban
UU ITE lainnya mendekam di balik jeruji besi.
Merespon hal tersebut, seorang
alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA,
menyampaikan bahwa dirinya sungguh amat kecewa dengan sikap dan pola pikir,
serta tingkah-laku kebanyakan pejabat di negeri ini. Menurut dia, seharusnya
kritikan rakyat yang disampaikan, seberapapun keras dan brutalnya bahasa yang
digunakan masyarakat, wajib diterima sebagai sesuatu yang positif dan
menjadikannya sebagai energi dalam melaksakan tugasnya dengan lebih baik lagi.
“Saya benar-benar prihatin dan
kecewa berat dengan cara pejabat-pejabat kita dalam merespon kritikan
rakyatnya. Sungguh sesuatu yang diluar jangkauan nalar saya, mengapa mereka mau
menjerumuskan diri untuk mengurusi hal-hal sepeleh seperti yang diunggah oleh
netizen di Bogor itu. Seyogyanya, Walikota Surabaya itu berterima kasih dan
mengundang netizen tersebut, meminta usulan, saran, dan bantuan lainnya, agar
si walikota itu lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya,” jelas Wilson
Lalengke yang merupakan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia itu, Rabu,
5 Februari 2020.
Kepada pewarta media ini, Wilson
menambahkan bahwa sebenarnya, para pejabat itu semestinya merasa malu ketika
kritikan rakyat, walaupun itu terkesan seperti hinaan, dilawan dengan
menggunakan ‘alat tangkap’ jeratan hukum. “Zakria Dzatil itu hanyalah seorang
ibu rumah tangga, sama seperti rakyat kebanyakan lainnya. Bukan lawan tanding
Walikota Surabaya dan para pejabat negeri. Malu sangatlah mempermasalahkan
hal-hal recehan begitu. Cari lawan tanding yang sebanding. Jangan merendahkan
martabat Anda dengan menjerat-jerat rakyat kecil. Pakai tangan polisi lagi,”
imbuh Wilson dengan nada menyesalkan tindakan pejabat yang main tangkap warga
seenaknya.
Lulusan pasca sarjana Global
Ethics dari Birmingham University Inggris ini juga menyayangkan jika para
pejabat memiliki sensitivitas yang cenderung negatif dalam merespon fenomena di
masyarakat. Menurut dia, pejabat memang perlu sensitif terhadap suara rakyat.
Tapi harus sensitivitas positif.
“Setiap orang yang ditakdirkan
untuk jadi pejabat publik, mereka harus sensitif terhadap kebutuhan rakyat.
Untuk mengetahui apa yang diperlukan masyarakat, pejabat harus mendengarkan
suara rakyat. Aspirasi warga itu tidak harus disampaikan dengan cara yang Anda
sukai, bahkan lebih banyak disampaikan dengan cara yang kasar, menyakitkan, dan
sering juga melecehkan si pejabat. Yaa, jangan baperan dong, Anda sudah diberi
makan oleh rakyat, hingga ke celana dalam Anda dibelikan rakyat, mengapa
seenaknya pejabat gunakan tangan polisi untuk menangkapi rakyat karena
celotehannya yang tidak enak didengar telinga?” jelas tokoh pers nasional yang
getol membela wartawan dan netizen itu.
Di sisi lain, Wilson juga
menyayangkan sikap pejabat Pemda Bogor yang membiarkan begitu saja warganya
diseret ke Polrestabes Surabaya. “Delik penghinaan itu adalah pasal karet yang
sangat subyektif. Pasal itu lebih berfungsi memuaskan rasa sakit hati dan
dendam manusia yang tidak ada ukuran keadilan yang pasti. Sehingga, hukum
tentang UU ITE ini sangat tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang adil.
Untuk itu, sebagai rakyat Bogor, seharusnya Ibu Zakria mendapatkan pembelaan
oleh Pemda Bogor dan Jawa Barat. Artinya, Pemda Bogor bertanggung jawab untuk
membela warganya dari perlakuan tidak adil oleh pihak lain menggunakan
pasal-pasal subyektif tadi,” urai Wilson yang juga menyelesaikan studi pasca
sarjananya di bidang Applied Ethics di Utrecht University Belanda dan Linkoping
University Swedia ini.
Selanjutnya, Wilson mengingatkan
bahwa penangkapan dan pemenjaraan netizen akibat kicauan mereka di berbagai
media sosial merupakan pelanggaran atas UUD 1945 dan TAP MPR No. 17 tahun 1998
tentang HAM. “Negara ini sudah kacau-balau dalam penerapan hukumnya. Sudah
terang-benderang Pasal 28F UUD 1945 mengatakan ‘Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia’. Tapi mengapa rakyat dikerangkeng ketika bersuara
menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia?
Bagaimana logikanya UU ITE dan KUHPidana lebih tinggi dari UUD dan TAP MPR?
Sudah tidak benar negara ini mengatur sistem hukumnya, struktur hukumnya
terbolak-balik, sesuai kehendak penguasa dan aparat hukum saja,” jelas Wilson
dengan mengutip isi pasal 28F UUD 1945.
Terakhir, sebagai seorang
pendidik, Wilson mengatakan bahwa hakekatnya setiap pejabat dan para elit
negara adalah guru yang akan digugu dan ditiru oleh segenap rakyat di negeri
ini. “Sikap, pola pikir, dan perilaku para pejabat dan elit, serta tokoh
masyarakat menjadi contoh bagi masyarakat dalam bersikap, berpola pikir, dan
bertindak di lingkungannya masing-masing. Ketika pejabatanya baperan, yaa
rakyatnya ikut baperan juga. Pejabatnya suka tangkapi warga, rakyatnya doyan
penjarakan tetangganya juga. Sikap arif, bijaksana, welas asih, dan gemar
memaafkan, jauh dari kehidupan bangsa ini, karena pejabatnya memberikan contoh
perilaku yang salah dan tidak bermoral,” pungkas Alumni Program Persahabatan Indonesia
– Jepang Abad-21 tahun 2000 itu. (APL/Red)