Ombudsman Jatuhkan Sanksi Minta Presiden Bebastugaskan Jabatan Mendikbud
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia membuat satu keputusan
yang cukup mengejutkan di tengah bangsa ini disibukan dengan urusan penangkalan
penyebartan virus Covid 19. Keputusan itu diambil akibat rekomendasinya
diabaikan, dan Ombudsman akhirnya menjatuhkan sanksi terhadap Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim.
Surat penjatuhan sanksi tersebut dikirim kepada Presiden Republik
Indonesia tertanggal 18 Maret 2020.
Dalam surat penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Presiden
sebagai atasan terlapor, Ombudsman meminta Presiden memberi sanksi pembebasan
dari jabatan terhadap Nadiem Makarim selaku Mendikbud RI dengan dasar hukum
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia; Terlapor dan Atasan Terlapor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4) dikenai sanksi
administrasi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Surat yang ditandatangani Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai
ini juga menerangkan bahwa sebagai pejabat negara, yang adalah pejabat publik
selaku penyelenggara negara, Mendikbud RI terikat oleh sumpah jabatan, yang
antara lain untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar ketentuan
perundang-undangan. Jadi menurut Ombudsman, mengingat bahwa Rekomendasi Ombudsman
wajib dilaksanakan, namun oleh Menteri yang bersangkutan (Mendikbud) tidak
dijalankan, maka dengan mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 54 ayat (5) dan ayat (7) beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang antara lain memberikan sanksi
sampai dengan pembebasan dari jabatan yang bersangkutan, dalam hal ini selaku
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Berikut ini Rekomendasi Ombudsman yang diabaikan menteri.
Rekomendasi Nomor : 0001/REK/0834.2016/V/2018 tentang maladministrasi dalam
penyetaraan ijazah doktor (S3) luar negeri dan kenaikan jabatan fungsional
dosen menjadi guru besar atas nama Julyeta Paulina Amelia Runtuwene yang
dilakukan oleh Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Rekomendasi
Nomor : 0002/REK/0663.2017/XI/2018 tanggal 27 November 2018 tentang
Maladministrasi dalam penyelesaian permasalahan penyelenggaraan Universitas
Lakidende oleh Menrsitekdiktidan Kopertis Wilayah IX. Rekoemndasi Nomor :
0003/REK/0922.2016/XI/2018 tanggal 27 November 2018 tentang Maladministrasi
oleh Menristekdikti dalam penanganan dugaan plagiat karyua ilmiah oleh Muhammad
Zamrun Firihu.
Menanggapi terbitnya Surat Ombudsman tentang Penjatuhan
Sangsi kepada Mendikbud, salah satu pelapor di Ombudsman, Stanley Ering
mengapresiasi keputusan Ombudsman tersebut.
"Tidak adanya tindakan Mendikbud adalah bentuk pembangkangan
terhadap amanat UU 37 Th 2008, hal ini adalah preseden buruk terhadap Pemerintahan,
dan ini membuktikan bahwa Kemendikbud yang dipimpin Nadiem Makarim sebagai
tidak patuh dan mengabaikan temuan maladministrasi oleh Ombudsman RI sebagai
Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik," ungkap Ering saat dimintai
tanggapannya di Manado, (19/03/2020).
Ering menambahkan,
rekomendasi adalah produk hukum tertinggi Ombudsman sehingga wajib
dilaksanakan oleh terlapor dan atasannya sebagaimana amanat Pasal 38 ayat 1 UU
37 tahun 2008.
"Karenanya sebagai pelapor kami berharap Presiden
memerintahkan pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman dan selaku atasan terlapor
menindaklanjuti Rekomendasi Penjatuhan Sanksi ini demi tegaknya supremasi hukum
dan mengembalikan marwah Pendidikan Tinggi terutama di Universitas Negeri
Manado," pungkasnya.
Keluarnya pemberian sanksi ini merupakan tindak lanjut dari
surat Obudsman RI tanggal 25 Februari 2020 yang memperingatkan Mendikbud untuk
pelaksanaan Romendasi. Hal ini juga
dipicu oleh karena telah ditahannya dua aktifis Pelopor Angkatan Muda Indonesia
yang merupakan pelapor di Ombudsman tentang maladministrasi penyetaraan ijazah
S3 dan guru besar Paulina Runtuwene.
Berdasarkan Perka BKN No. 25 tahun 2015 ijazah yang tidak sesuai
prosedur adalah palsu.
Bahkan kasus soal dugaan ijazah palsu/tindak pidana
pendidikan ini justru telah lebih dahulu dilaporkan Dosen Unima Devie Siwij ke
Polda Sulut yaitu 8 Juli 2019 atau beberapa lama sebelum kasus pencemaran nama
baik daporkan oleh Paulina Runtuwene di Polda Metro Jaya.
Sumber : SPRI