Cerpen Esai : Apa, Mengapa, Asal Mula- Genre Baru di Era Virus Corona?
Oleh:
Denny JA
JAKARTA - Satu era, tapi begitu banyak Bom
Atom!
Inilah
mungkin ekspresi yang tepat menggambarkan batin kolektif kita di era pandemik
Virus Corona. Berkali-kali kita dikagetkan oleh berita. Di antara berita itu,
ada yang mungkin baru sekali kita alami seumur hidup.
Sembahyang
Jumat ditiadakan. Umroh distop. Bunyi adzan diubah. Bahkan mulai diperkenalkan
lebaran online.
Ratusan
meriam boleh dikerahkan. Ribuan teroris boleh disebar. Tapi mustahil ia bisa
memaksa Umat Islam untuk tiga kali berturut-turut tidak sholat Jumat di Mesjid.
Tapi Virus
Corona bisa memaksa itu.
Muncul pula
dentuman lain. Dunia akan mengalami krisis paling buruk sejak perang dunia
kedua. Ekonomi aneka negara tumbuh minus. PHK dimana-mana. Social distancing.
Work From Home. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Apa pula ini?
Belum selesai
reda, terdengar pula letupan berbeda. Tiga ratus orang dikarantina di Mesjid.
Mayat penderita Corona ditolak warga. Kantung plastik jenazah dibuka keluarga.
Mayat penderita corona dipeluk, dicium. Seratus dokter wafat terpapar Virus
Corona.
Wow! Terlalu
banyak bom atom. Media berhasil merekam peristiwa itu sesuai dengan kaidah apa,
siapa, dimana, mengapa, bagaimana?
Tapi
bagaimana suara batin mereka yang menjadi korban? Bagaimana jeritan luka itu.
Ini drama batin yang terlalu dalam untuk dilupakan. Namun jurnalisme biasa
memang tidak dipersiapkan berimajinasi dengan dunia batin.
Kondisi
inilah yang kemudian melahirkan cerpen (cerita pendek – red) esai. Kisah
sebenarnya ini perlu direkam. Namun cerpen esai hadir khusus mengangkat dan
menambahkan imajinasi sisi batin. Cerpen esai dengan sendirinya berbeda dengan
jurnalisme biasa.
Sisi batin
itu agar lebih menyentuh bolehlah didramatisasi. Tokoh, karakter dan tempat
agar lebih mengejutkan bisa diubah. Suasana pendukung tak apa diimajinasikan.
Yang penting
cerpen esai menyulap peristiwa sebenarnya untuk menghasilkan bacaan yang lebih
menyentuh. Yang lebih mengajak merenung. Yang lebih menggugah. Yang lebih
menggerakkan!
-000-
Sayapun
bereksprimen menuliskan cerpen esai itu. Dalam waktu seminggu lahir enam cerpen
esai. Begitu intensnya saya mendalami aneka bom atom peristiwa. Seolah
inspirasi turun dari langit menggerakkan saya.
Lahirlah itu
dramatisasi, kisah nyata yang difiksikan. Dalam cerpen berjudul: “Kak, Saya Di
Karantina di Mesjid,” kisah itu berinduk dari berita 300 jemaah dikarantina di
Mesjid Kebon Jeruk.
Cerpen esai
saya menceritakan kisah Jemaah Tabligh yang membuat acara. Betapa tokohnya
menyerukan: “Jangan takut berkumpul di Mesjid walau diserang Virus Corona. Jika
gara-gara Virus Corona kita mati di mesjid, maka mesjid adalah sebaik-baiknya
tempat untuk mati.”
Di banyak
negara, Jemaah Tabligh ini menjadi medium penular. Disamping mereka tetap
berkumpul, merekapun makan bersama dalam satu nampan besar. Penularan virus
mudah sekali.
Mereka
gencar diberitakan, dan kemudian diamankan, di India, Malaysia, Pakistan,
Bangladesh, Filipina.
Semua fakta
ini masuk dalam cerpen esai saya. Itu fakta yang sangat menarik.
Namun saya
menghadirkan pula suasana batin yang tak ada di semua berita. Suasana batin itu
adalah fiksi, imajinasi, dan karangan saya sendiri.
Dalam cerpen
esai memang sudah dijelaskan kisah ini fiksi belaka.
Maka saya
karang tokoh bernama Eko yang berada dalam mesjid itu. Saya ceritakan
perjalanan batinnya hingga ia masuk ke dalam Jemaah Tabligh.
Ia awalnya
seorang sekuler dan liberal belaka. Belahan jiwanya wafat. “Love of My
Life”-nya tiada. Ia terguncang dalam kehidupan malam. Namun segera pula ia berbalik
menjadi the true believer sebuah keyakinan.
Saya
kisahkan pula kedekatannya dengan sang kakak. Dan betapa sang kakak yang dulu
dianggap Eko superhero, di era pandemik ini tak berdaya.
Di tengah
malam, putus asa sang kakak. Berharap tapi ia tanpa kuasa.
Pada cerpen
esai itu berkumpulah fakta dan fiksi. Fakta itu dapat dilihat sumbernya di
catatan kaki. Dalam cerpen esai fungsi catatan kaki sangat sentral sebagai
pokok cerita.
Namun,
tokoh, plot, percakapan dalam cerpen esai itu sepenuhnya fiksi. Dengan
menghadirkan fiksi, penulis bebas berimajinasi seluas langit biru. Bebas pula
pengarang menambahkan bumbu agar berita itu lebih menyentuh.
Pola yang
sama saya ulangi dalam lima cerpen esai saya lainnya.
-000-
Sudah
diduga, pola penulisan cerpen esai ini segera menarik penulis lainnya. Kini
para penulis, cerpenis, penyair dari Aceh hingga Papua, juga negara tetangga
bergerak. Bersama mereka ingin merekam suara batin era Virus Corona dalam
cerpen esai.
Kumpulan cerpen
esai mereka segera rampung dan dibukukan.
Seorang
pembuat film bahkan siap memfilmkan kisah dalam cerpen esai itu.
Ada pula
yang sedia membuat lomba cerpen esai di Asia Tenggara. Komunitas Citizen
Jurnalism (PPWI – red) lebih cepat lagi. Mereka ingin membuat lomba merekam
suka dan duka bulan Ramadhan di era Virus Corona. Mereka menginginkan lomba itu
dituliskan dalam cerpen esai.
Muncullah
kebutuhan yang lebih tinggi: Panduan Cerpen Esai. Apa itu cerpen esai? Apa
bedanya dengan cerpen biasa? Apa yang harus ada dalam cerpen esai? Apa yang IN
dan apa yang OUT? Mengapa kita memerlukan cerpen esai pula?
Karena enam
cerpen esai sudah saya tulis, dan keenam itu ingin dijadikan rujukan, maka saya
merumuskan lima ciri cerpen esai itu.
Pertama:
cerpen esai adalah fiksi dari kisah nyata. Ibu kandungnya adalah peristiwa yang
benar-benar terjadi. Ia bukan semata rekaan. Tapi peristiwa itu nyata, walau
kemudian ia difiksikan.
Dengan
sendirinya cerpen esai berbeda dengan jurnalisme yang tak boleh ada fiksi. Cerpen
esai juga berbeda dengan cerpen biasa yang bisa menulis hayalan apa saja tanpa
harus merujuk kisah nyata.
Cerpen esai,
sebagaimana puisi esai, adalah gabungan fakta dan fiksi.
Kedua: dalam
cerpen esai, fungsi catatan kaki sangat sentral. Tak ada catatan kaki maka tak
ada cerpen esai.
Catatan kaki
itu wakil dari kisah nyata yang akan difiksikan. Catatan kaki bukan hanya
penambah informasi atau penjelas kata yang kabur. Catatan kaki itu ibu dari
kisah cerpen esai.
Tentu tak
semua catatan kaki cerpen esai seperti itu. Dalam beberapa catatan kaki, ada
pula fungsi sebagai penambah informasi. Namun minimal ada satu catatan kaki di
sana yang menjadi pokok cerita.
Ketiga:
Cerpen Esai adalah gabungan cerpen dan esai. Ia cerpen yang bercita rasa esai.
Juga esai yang bercita rasa cerpen.
Cerpen dalam
arti, ia fiksi. Sedang esai di sini bukan esai dalam pengertian umum, tapi esai
berjenis makalah akademik. Ia esai yang dituliskan berdasarkan riset. Sumber
informasinya harus valid. Sumber informasi itu yang dijadikan catatan kaki.
Keempat: sama
dengan cerpen biasa, panjang cerita ini sekitar 1000- 2500 kata, atau 6000-
10.000 karakter. Batasan ini longgar saja. Semata agar ia tak terlalu pendek
untuk membuat drama. Dan tak perlu terlalu panjang pula karena yang ingin
dikisahkan satu kesan saja.
Cerpen
berbeda dengan novel.
Dalam satu
cerpen esai, jika patokannya enam cerpen esai saya, hadir 5-10 catatan kaki.
Kelima:
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan komunikatif. Cerpen esai ini ingin
ikut membawa sastra semakin dimengeri khalayak luas.
Ujar Albert
Einstein, untuk tahu seberapa gagasanmu komunikatif, ceritakan gagasan itu ke
anak SD. Lalu minta anak SD itu menceritakan gagasan itu ke temannya yang anak
SD juga. Jika mereka mengerti, dirimu sudah menggunakan bahasa yang komunikatif.
Cerpen esai,
sebagaimana puisi esai, juga mempunyai paham bahasa itu: semakin mudah
dimengerti orang awam, Ia semakin baik. Semakin gelap dan rumit bahasanya,
semakin ia gagal.
Inilah lima
prinsip dalam satu kesatuan cara bertutur yang disebut cerpen esai.
Lalu apakah
cerpen esai ini mahluk yang berbeda dari cerpen sebelumnya? Cerpen esai adalah
bagian dari dunia cerpen. Sebagaimana Ikan Koi adalah bagian dari dunia ikan
pada umumnya.
Namun cerpen
esai memiliki karakternya sendiri, sebagaimana Ikan Koi juga memiliki
karakternya sendiri. Apa karakter cerpen esai? Karakternya adalah gabungan lima
ciri di atas dalam satu kesatuan.
-000-
Apakah
cerpen esai ini berguna? Apakah cerpen esai ini genre baru? Apakah cerpen esai
ini orisinal?
Menjawab hal
itu saya serahkan sepenuhnya kepada perdebatan publik. Silahkan saja mereka
bertekak-tekuk dengan teori, mengutip ini dan itu, dari malam sampai pagi.
Tentu saja
inovasi sehebat apapun dalam sejarah tak ada yang sama sekali baru. Tak ada
yang menciptakan apapun dari kekosongan.
Tapi lima
prinsip di atas, dan diberi nama cerpen esai, lalu meluas digunakan puluhan
penulis lain, menjadi format lomba, itu nampaknya baru.
Cerpen esai
tak ada ambisi lain kecuali memberi pilhan tambahan cara bertutur.
Di era
pandemik Virus Corona, cerpen esai mendapatkan momentum. Begitu banyak drama,
begitu banyak kisah sebenarnya yang bisa difiksikan agar lebih menjadi bahan
renungan.
Era pandemik
virus corona akan dikenang karena banyak hal. Salah satunya, ia menjadi
samudera inspirasi bagi begitu banyak cerpen esai.
Tahun 2012,
saya menerbitkan buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta. Kini sudah terbit
sekitar 100 buku puisi esai ditulis oleh ratusan penulis dari Aceh hingga
Papua, dari Negara Asia Tenggara hingga Australia.
Tahun 2020,
segera saya terbitkan kumpulan cerpen esai, berjudul kebalikannya: Atas Nama
Derita. Melihat gelagat awal, cerpen esai agaknya juga akan menggeliat
mengikuti “keponakannya”: puisi esai. (*)
April 2020