-->

Latest Post

Oleh : Erza Surya Werita, S.Pd  (Guru MTsN 2 Solok)

Pandemi yang disebabkan oleh covid-19  sangat mempengaruhi dunia global dari berbagai aspek dan sektor, tak terkecuali dunia Pendidikan. Berbagai negara di dunia terpaksa menutup institusi pendidikan di setiap tingkatannya; mulai dari TK sampai tingkat Universitas. Sehingga krisis yang disebabkan oleh wabah ini menimbulkan dilema tersendiri bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan. 

Di Indonesia, menutup sekolah dalam rangka mengurangi kontak sosial dengan cara menjaga jarak yang dikenal dengan istilah social distancing dan physical distancing, serta menggantinya dengan belajar daring atau online, adalah opsi yang diambil saat ini.   Kebijakan itu merupakan alternatif untuk membelajarkan anak dari rumah (distance learning) atau istilah populernya home schooling.  

Kondisi tersebut tentu saja membuat rasa shock secara masal bagi pelaku sektor pendidikan diberbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia dan tentu saja sangat berdampak, tidak hanya bagi para peserta didik yang harus membiasakan belajar dengan pola baru ini, tetapi juga orang tua murid dan terlebih lagi guru yang mengajar. 

Pengambil kebijakan di bidang pendidikan sangat menyadari akan dilema ini, sehingga mereka sering ragu dalam mengambil sikap dan terkesan galau. Hal itu terbukti dengan sering berubahnya kebijakan yang buat dalam waktu yang sangat singkat, bahkan kebijakan tersebut belum sempat dilakukan tapi sudah dibatalkan dan diganti dengan kebijakan yang lain. Akibatnya kebijakan itu terkesan maju-mundur, tanpa arah dan tanpa kajian mendalam, sehingga tak ubahnya seperti kebijakan coba-coba. Bahkan baru-baru ini, Menteri Pendidikan mengeluarkan statement bahwa belajar dari rumah akan dipemanenkan, lalu tak lama setelah itu diralat sendiri dengan mengatakan bahwa kebijakan ini akan disesuaikan terhadap situasi yang ada. 

Kebingungan para pembuat kebijakan terjadi mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat terendah. Misalnya di level sekolah, terutama sekolah-sekolah swasta atau ber-asrama. 

Sekolah sering melakukan tarik ulur pengumuman kepada para siswanya, terkadang meminta anak didiknya untuk belajar dari sekolah, namun tak jarang hal itu diralat lagi atau dibatalkan. Kebingungan dan kegalauan mereka bukan tanpa alasan, tapi ini berdasar pada perubahan pola belajar dan kehidupan sosial murid yang sangat jauh berbeda. Sehingga pemerintah sering kelihatan berada di persimpangan. 

Proses belajar mengajar yang dilaksanakan online saat ini, apalagi dilakukan secara massif adalah hal yang sangat baru di negara-negara dunia, apalagi di Indonesia. Karena belum didasari kajian dan penelitian secara menyeluruh, sedangkan skala efektifitasnya pun belum teruji dan belum pernah dilakukan sebelumya. 

Latihan dan evaluasi serta penilaian (assessment) yang dilakukan secara online, terkesan proses coba-coba dan penuh dengan ketidak pastian. Bahkan akhir akhir ini, penilaian ditiadakan dan anak harus dinyakatan lulus semua atau naik kelas. Meski begitu, yang terpenting dari semuanya adalah bahwa kondisi itu jangan dibayangkan bisa diatasi dalam waktu dekat. Situasi ini juga akan sangat berdampak bagi semua lapisan yang ada di masyarakat, tak terkecuali para pelaku dunia pendidikan itu sendiri. (*).

Oleh :  Andi Fery (Alumni The Flinders University of South Australia) 

"Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari." (Najwa Shihab). 

Kata-kata ini mencerminkan kesederhanaan dari apa yang menjadi tujuan dari politik. Oleh karena itu, politik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Namun yang sering terjadi adalah perubahan arah dan haluan dari politik itu sendiri. 

Berpolitik tidaklah tabu dan dilarang bahkan sejak zaman Aristoteles pun masyarakat sudah mengenal yang namanya politik. Permasalahannya adalah dewasa ini tujuan berpolitik sudah berbanding terbalik dengan apa yang diungkapkan oleh sang presenter cerdas di atas. 

Senada dengan pandangan ini Emha Ainun Najib, sang penyair yang berani berkata lantang di tengah rezim otoriter seperti halnya Orde Baru, suatu kali pernah menulis bahwa politik diciptakan dan dimanifestasikan berdasarkan filosofi dan tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, tapi yang terjadi adalah sama sekali kebalikannya. Ironi memang, di mana setiap penguasa hanya sering disibukkan oleh kepentingannya saja dan sering melupakan tujuan luhur dari berpolitik itu sendiri, yang mana rakyat sering dijadikan alat mencapai kekuasaan semata dan bukan menjadi tujuan dari berkuasa. 

Lalu kenapa dunia perpolitikan kita sering melenceng dari tujauan luhurnya? Proses memilih kepemimpinan itu sendiri adalah salah satu jawabannya. Di dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, hak dipilih dan pilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Peraturan ini terasa sangat indah untuk didengar, cuma terkadang pelaksanaannya masih sangat jauh panggang dari pada api. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sengketa yang masuk ke MK pada setiap ada pesta demokrasi atau PILKADA. Kalau sudah begini bagaimana kita bisa mengharapkan untuk mendapatkan pemimpin  yang amanah, apabila prosesnya saja sudah dimulai dengan ketidak-jujuran dan penuh intrik. 

Penggunaan mahar terhadap partai politik tertentu agar bisa dicalonkan, atau bahkan menggunakan kekuasaan untuk melangkahi dan melupakan kaderisasi yang memang sudah merintis karir dari bawah, tapi malah harus tersingkir karena adanya inevitable hands. Belum lagi serangan fajar sesaat sebelum pemilihan. Ini semua membuat kusut masainya dunia politik kita. Padahal pemilu seharusnya menjadi suatu instrumen untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kualifikasi yang terbaik, yang bisa mengemban amanah terhadap masyarakat.  

Berikutnya yang tak kalah memperburuk panggung politik Indonesia adalah politik pencitraan. Pencitraan biasanya ditunjukkan agar kelihatan capable dan profesional dalam memimpin baik sebelum terpilih dan lebih-lebih apabila sudah terpilih. Padahal sering kali mereka melakukan pencitraan dikarenakan tidak adanya bekal kredibilitas, kapabilitas, dan integritas yang dimiliki, sehingga yang ditawarkan politik pencitraan dengan memperindah kemasan-kemasan luar dari diri mereka, tetapi melupakan isi utama di dalam kemasan-kemasan tersebut, demikian ulas Oktavia Putri Amelia dalam artikelnya yang berjudul, ”Sebuah Politik Pencitraan” yang dimuat di Kompasiana (7 Desember 2019). 

Belajar dari negara maju seperti Australia misalnya, mereka tidak mengenal politik pencitraan apalah lagi kalau pasang baliho besar-besar untuk megucapkan selamat idul fitri bahkan baliho ucapan itu masih tetap terpajang saat idul adha sudah berlalu. Tidak pernah ada baliho para pejabat yang memenuhi sudut-sudut negeri, bahkan di gedung-gedung sekolah dan universitas pun juga tidak ada. apalagi untuk pengerahan masa, mereka tak kan punya waktu untuk itu, yang  dilakukan adalah adu visi dan misi serta program kerja dan apabila sudah terpilih mereka akan bekerja nyata tanpa menampakan diri dalam spanduk dan baliho, tapi cukup hasilnya bisa dinikmati masyarakat yang dipimpinnya. 

Politik uang atau money politik, merupakan lingkaran setan yang sangat merusak cita-cita luhur partai politik yang notabenenya untuk mendapatkan kekuasaan demi mensejahterakan masyarakat. Kenapa lingkaran setan? Karena yang menyogok tentu akan berusaha mengembalikan apa yang sudah menjadi cost politik baginya dan inilah yang akan menggiring pemimpin bila dia terpilih untuk melakukan korupsi. 

Oleh karena itu, politik uang ini sangat berdampak buruk bagi kehidupan perpolitikan masyarakat kita. Di dalam suatu kesempatan seminar, Gamawan Fauzi (mantan Mendagri) pernah bercerita, bahwa beliau menghadiri seminar tentang Korupsi di Korea Selatan, rupanya pembicaranya adalah seorang Professor Doktor dari Indonesia. Sang Professor lalu mempresentasikan bagaimana cara mencegah korupsi dan di akhir seminar salah satu peserta bertanya, “Kalau begitu Prof, kenapa di Indonesia paling marak korupsinya?”. Sang mantan Menteri itu berseloroh, “Kalau saya yang saat itu jadi pembicara maka saya akan segera pulang.” 

Ucapan beliau di iringi gelak tawa peserta seminar saat itu. Bahkan dengan gamblang digambarkan bahwa politik uang adalah haram dan melakukannya berdosa, karena termasuk suap-menyuap (risywah) demi mendapatkan jabatan dan bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya. Mengenai hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa beliau melaknat pemberi risywah (yang menyuap) dan penerima/peminta risywah (yang disuap).” (HR. Abu Daud). 

Belum lagi secara hukum positif yang berlaku di negara kita bahwa penyuap dan yang disuap melanggar undang-undang yang salah satunya termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 209 ayat (1). Jadi hal semacam ini akan menambah kusut masainya politik kita. 

Di luar negara-negara maju misalnya, perbuatan semacam ini sangat jarang terjadi, di samping karena mereka mempunyai mental dan karakter yang kuat untuk tidak melakukannya. Sistem negara mereka dapat meminimalisir kejadian seperti itu baik yang bersifat suap individu maupun kelompok, karena hampir semua pelayanan publik dilakukan by system.  Sebagai contoh pembayaran pajak kendaraan cukup bayar dengan online, melalui aplikasi dan tanda buktinya pun langsung dikirim satu detik setelah tombol bayar kita tekan dan polisi tidak akan pernah bertanya STNK kita, karena mereka sudah tahu melalui komputer yang ada di mobil. Mereka cukup men-scan atau ketik plat mobilnya, mereka akan tahu semua data-data tentang kendaraan tersebut termasuk sudah berapa kali pengemudi tersebut melanggar aturan lalu lintas. 

Bahkan di Australia misalnya, BPKB cukup satu lembar saja dan tanpa stempel, untuk menyelesaikannya cukup dua menit dari kita membeli mobil. Tapi kalau di negara kita, membutuhkan waktu berbulan-bulan. Hal ini lah yang salah satunya memancing suap menyuap. Yang lebih hebat lagi kalau mereka terindikasi merugikan negara atau tidak mampu dalam kepemimpinannya maka mereka akan mengundurkan diri secepat mungkin. Bagaimana dengan kita?.

Oleh karena itu, marilah kita mengembalikan marwah politik dengan benar, dengan mengurai berbagai permasalahan di atas. 

Seorang pemimpin harus menjadi servant-leader (memimpin untuk melayani), jangan hanya terlibat dalam ambisius kekuasaan dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan sekali pun itu haram. Seharusnya pemimpin muncul karena kualitas dan kompetensinya, bukan karena uang yang diberikannya. Jikalau tidak, maka akibatnya pemerintahan akan selalu diisi oleh orang yang tidak qualified namun gila kekuasaan semata. Maka cerdaslah menentukan pilihan karena memilih juga AMANAH.(*) 

Pengacara Harus Azar, SH dan Terdakwa Romy R

MPA, JAKARTA - Sidang perkara pidana pencemaran nama baik Rektor Universitas Negeri Manado atau UNIMA Paulina Julyeta Amelia Runtuwene dengan terdakwa dua aktivis Pelopor Angkatan Muda Indonesia John Fredy Rumengan alias Romy dan Devij Rony Siwij berjalan cukup alot di ruang Sarwata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (04/08/2020) siang.

Saksi korban Rektor UNIMA Paulina Runtuwene yang bersaksi di persidangan sempat gelagapan ketika menjawab sejumlah pertanyaan yang dicecar kuasa hukum terdakwa Haris Azar. 

Haris meminta saksi korban menjelaskan soal keterangannya bahwa pernah melihat sendiri aksi demo yang dilakukan terdakwa Romy di depan kantor Kemendikti di Jakarta pada tahun 2019 lalu dan sempat berfoto di lokasi aksi demo. 

Jaksa Penuntut Umum Olla, SH sempat keberatan atas pertanyaan yang diajukan kuasa hukum terdakwa menyangkut bukti foto dimaksud. 

Menanggapi itu Haris Azar langsung bersuara keras. "Saya mengejar bukti materi tentang apa alasan saksi korban melaporkan klien saya yang saat ini ditahan dan dihilangkan hak sosialnya dan terpisah dari keluarganya. Dan sekarang saya tanyakan ke JPU apakah punya bukti foto yang dimaksud saksi yang tidak ada dalam BAP di penyidikan padahal proses pemeriksaan klien kami dengan waktu penahanan maksimal tapi bukti seperti ini tidak ada pada penyidik," tandas Haris dengan nada tinggi yang cukup membuat panas suasana di dalam ruang sidang.  

Dalam sidang ini juga, saksi korban awalnya mengaku mengetahui sendiri ada postingan yang berisi gambar dan foto aksi demo di depan Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi dan di Istana Negara Jakarta di akun Facebook milik kedua terdakwa. Menurutnya, baliho dalam aksi demo itu isinya meminta Menristekdikti mencopot jabatan Rektor UNIMA karena bergelar palsu, serta presiden dan menristek melindungi Rektor UNIMA berijazah palsu. "Postingan itu lalu saya caputure sendiri menggunakan handphone  tadinya untuk dokumentasi pribadi," ujar Paulina Runtuwene.

Saksi korban juga mengatakan, selama tiga tahun dirinya merasa gelisah dan susah tidur, serta keluarganya tertekan dan malu karena saya dituduh menggunakan ijazah palsu. 

"Sejak itu saya tidak membalas di media karena saya berprinsip tuduhan itu ada tempat yang tepat untuk membuktikan kebenarannya, dan tuduhan ijazah palsu itu tidak benar," ungkapnya.

Selanjutnya, ketika dicecar pertanyaan oleh kuasa hukum terdakwa mengenai kapan postingan itu pertama kali dilihat, saksi korban agak gelagapan dan berbelit-belit menjawab pertanyaan sehingga ditegur Ketua Majelis Hakim Dulhuzin,SH, MH 

Ketika kembali dicecar tentang bagaimana dirinya masuk melihat akun facebook milik kedua terdakwa, saksi korban akhirnya mengaku bahwa dirinya tidak melihat langsung. 

"Saya tidak melihat postingan tersebut dari akun milik terdakwa tapi dari teman-teman," ujar Runtuwene yang menepis sendiri pernyataannya sebelumnya bahwa dia melihat sendiri melalui akun facebook miliknya lalu mengcapture menggunakan hp miliknya. 

Suasana berubah memanas ketika majelis hakim menegur Haris Azar kuasa hukum terdakwa yang menanyakan kepada saksi korban mengenai jumlah kerugian yang dialami UNIMA sebagai lembaga milik publik yang anggaran operasionalnya dibiayai APBN. Haris mengatakan, pertanyaan itu diajukan karena ada dalam Berita Acara Pemeriksaan terhadap saksi korban. 

"Saya tahu anda sudah lama beracara, BAP itu kan hanya pentujuk, tapi kita harus fokus pada dakwaan, hitung-hitungan kerugian biar nanti saja, itu sudah jauh dari  pengungkapan kasus ini," tandas mejelis hakim. 

Sontak teguran hakim itu mengundang reaksi keras dari Haris Azar. Haris mengancam akan melaporkan ulah majelis hakim yang telah membatasi haknya untuk membela kepentingan kliennya. 

Majelis hakim Dulhuzin akhirnya menunda persidangan untuk kembali mendengarkan keterangan saksi korban dan saksi lainnya pada Rabu, (05/08/2020) pagi. 

Usai persidangan, terdakwa Romy Rumengan mengungkapkan keyakinan bahwa dirinya dikriminalisasi. 
"Di persidangan kan terbukti saksi korban melaporkan kami dengan bukti yang tidak jelas dari mana diperoleh. Awalnya mengaku dilihat sendiri, kemudian merubah keterangan di bawah sumpah bahwa itu bukti postingan yang dituduhkan kepada saya didapat dari teman-temannya. Ini jelas korban tidak melihat langsung postingan kami," ungkapnya. 

Kasus ini sendiri bermula dari terbitnya Rekomendasi Ombudsman RI Nomor : 0001/REK/0834.2016/V/2018 tangal 31 Mei 2018 tentang mal-administrasi yang dilakukan Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam penyetaraan ijazah doctor (S3) luar negeri dan kenaikan jabatan fungsional dosen menjadi guru besar atas nama Julyeta Paulina Amelia Runtuwene. 

Atas rekomendasi ini ormas Pelopor Angkatan Muda Indonesia yang dipimpin terdakwa Romy mengadakan sejumlah aksi di Jakarta meminta jabatan Rektor UNIMA dicopot. ***

Sumber Ketua DPI

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.