-->

Latest Post

Jerry Lumelle Wakil Ketua Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia, (Photo Istimewa)


MPA, JAKARTA - Menyikapi bagaimana Pemerintah dan Rakyat bersatu dengan berbagai cara untuk mengantisipasi pandemy corona, sebetulnya banyak cara sederhana untuk perangi virus corona.


Contoh, ketika salah seorang dirumah kita terkena flu dan batuk pasti ada yang tertular dan ada yang tidak, bagi yang tertular pasti disaat daya tahan tubuh atau imune di tubuh kita sedang drop.


Disaat tubuh drop itulah semua penyakit bisa hadir leluasa ke dalam tubuh kita.


Secara normatif kita bisa check ke dokter atau minum obat biasa dibantu dengan vitamin yang untuk tingkatkan imune dalam tubuh kita.


Masalah Covid19 adalah sejenis virus Flu, batuk dan bikin demam juga tapi tingkat resiko viralnya virus covid19 berbeda dengan virus flu biasa. Namun tetap kategory covid19 adalah virus.


Logikanya melawan virus Covid19 ini hanya cukup gunakan obat/vitamin jenis imune booster, jadi tidak perlu sejenis chloroquin ataupun vaksin


Jika memasukan vaksin kedalam tubuh untuk hadang virus sejenis covid19 adalah cara yang salah besar. Kita semua harus paham bahwa proses buat vaksin adalah terbuat dari campuran berbagai bakteri.


Didalam zat bakteri tersebut pasti ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan sel tubuh kita. Apa dampak bagi zat bakteri yang merugikan tubuh kita? Bahaya atau tidak? Bagaimana jika akan timbul menjadi jenis penyakit baru?


Masalah vaksin sinovac asal China, Apakah Pemerintah China gunakan vaksin sinovak untuk digunakan seluruh rakyat China? Apakah vaksin tersebut sudah terbukti bisa sembuhkan pasien Covid19 di China? harusnya sinovac gunakan untuk rakyat china saja dulu, karna sampai saat ini masih ada PSBB di beberapa provinsi di China, artinya China belum clean and clear dari virus covid19.


Apakah vaksin sinovac sifatnya hanya untuk mencegah, jika hanya untuk mencegah belum tentu bisa menyembuhkan, apakah vaksin tersebut bisa tingkatkan daya tubuh/imune?


Semua harus di analysa dengan kajian oleh para akademis yang ahli dibidang kimia kusus medis.[]


Pakar Hukum asal Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan pernyataannya Ketua DPR, Puan Maharani yang menyebut bagi masyarakat yang tidak puas atas disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU bisa mengajukan judicial review ke MK hiperbolik. Foto/S

MPA, JAKARTA - Pakar Hukum asal Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan pernyataannya Ketua DPR, Puan Maharani yang menyebut bagi masyarakat yang tidak puas atas bisa mengajukan judicial review ke MK hiperbolik.



"MK sudah mereka beri kue fasilitas perpanjangan jabatan dan umur pensiun yang panjang," ujar Fickar dikutip dari SINDOnews, Selasa (6/10/2020).


Fickar menyebut kasihan rakyat 'dicuekin' dan polisi nantinya dijadikan alat politik untuk membungkam demontrasi rakyat. Dalam hal ini, ia menilai, DPR dan pemerintah mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU tengah malam.


"Sama seperti ketika memutuskan Revisi UU KPK (2 minggu), UU Minerba dan Revis UU MK," katanya.


Menurut Fickar, apa yang dicari sepertinya pemerintah dan DPR sudah menegasikan Indonesia sebagai negara demokrasi, UU dibuat dan disahkan hanya atas dasar kepentingan penguasa dan para oligarki. Hal ini dinilainya sangat mengkhawatirkan.


Dia melanjutkan Omnibus Law yang dibahas pada kalangan terbatas, 'ngumpet-ngumpet" sepertinya menghindarkan keterlibatan rakyat yang jelas-jelas sebagai stakeholdernya. Bahkan, dia berpandangan beberapa bidang yang terkesan dijual murah kepada asing atas disahkannya RUU ini seperti sumber daya alam, lingkungan dan ketenagakerjaan.


Bayangkan ini beberapa poin UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menyengsarakan dan potensial membunuh rakyat sendiri:


Uang pesangon dihilangkan. UMP, UMK, UMSP dihapus.

Upah buruh dihitung per jam.

Semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, khitanan atau cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi.

Outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup.

Tidak akan ada status karyawan tetap.

Perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak.

Jaminan sosial, dan kesejahteraan lainnya hilang.

Semua karyawan berstatus tenaga kerja harian.

Tenaga kasir asing bebas masuk.

Buruh dilarang protes, ancamannya PHK.

Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah, tidak ada penambahan cuti.

Istirahat di Hari Jumat cukup 1 jam termasuk Salat Jumat.


"Jadi kita harus menolak RUU Omnibus Law Cipta kerja. Pemerintah berkuasa menggeser pada prinsip kekuasaan, seolah olah karena berkuasa bisa melakukan apa saja, sekalipun akan merugikan rakyatnya," tandasnya. (Baca juga: Sahkan RUU Cipta Kerja, Puan dkk Lupa Tempatkan Diri Jadi Wakil Rakyat)


"Sepertinya pemerintah dan DPR benar benar memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingannya bersama para oligarki," pungkas Fickar. (*)


Sumber : sindonews.com


Photo Surat SPRI

MPA, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI) melayangkan surat kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) Arief Budiman. Hal itu terkait Permohonan Revisi Peraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota. 


Ketua DPP SPRI Heintje G. Mandagie dalam tulisan melalui WA yang di terima media ini mengatakan, mencermati pengaduan perusahaan pers di berbagai daerah tentang Peraturan KPU yang berpotensi merugikan perusahaan pers non verifikasi Dewan Pers. DPP SPRI telah melayangkan surat ke KPU Pusat untuk mengingatkan bahwa peraturan KPU tersebut berpotensi digugat oleh perusahaan pers yang merasa dirugikan. Karena ditutup aksesnya untuk mendapatkan belanja iklan pasangan calon kepala daerah pada saat Pilkada berlangsung.


Dewan Pers Indonesia atau DPP SPRI tidak bisa menggugat karena tidak mengalami kerugian secara langsung akibat Peraturan KPU tersebut. Yang bisa menggugat PTUN agar peraturan direvisi adalah Perusahaan Pers yang berkepentingan langsung atau yg memiliki legal standing.


Namun meskipun begitu katanya, DPP SPRI  telah mengingatkan KPU Pusat terkait ancaman serius mengenai potensi gugatan masal ganti rugi kepada KPU Pusat oleh perusahaan pers yang bila sampai pilkada usai tidak kebagian belanja iklan Pilkada, Senin (5/10).


Saran kami adalah, jelas Heintje G. Mandagie setiap perusahaan pers yang bersertifikat DPI atau perusahaan pers yg berbadan hukum PT atau Yayasan segera membuat surat penawaran ke masing-masing pasangan calon kepala daerah untuk jasa pemasangan iklan kampanye di media masing-masing dan juga kepada KPU untuk iklan sosialisasi tahapan pilkada. 


Surat tanda terima dibuat agar dapat digunakan sebagai bukti untuk dilampirkan nanti pada gugatan terhadap peraturan KPU yang merugikan secara finansial. Perhitungan kerugian sesuai harga iklan di masing-masing media. Ini penting agar bukti gugatan bisa dilampirkan, urainya.


Ini Surat DPP SPRI Terkait Peraturan KPU Yang Berpotensi Merugikan Perusahaan Pers Non Verifikasi DP.


Nomor : 178.SU/DPP-SPRI/IX/2020 

Lamp. : 1 (satu) berkas, yang isinya sebagai beriukut


Yang terhormat : 

Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia 

Bpk. Arief Budiman 

Jl. Imam Bonjol No. 29 Menteng, 

Jakarta Pusat 

Dengan hormat.


Menindak-lanjuti pengaduan dari sejumlah pemilik perusahaan pers terkait potensi kerugian perusahaan menyusul terbitnya Peraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Walikota dan Wakil Walikota, bersama ini kami sampaikan beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian serius oleh pihak Komisi Pemilihan Umum. 


Peraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020, khususnya Pasal 47 AAyat (2) dan (4), telah menimbulkan keresahan di kalangan insan pers di seluruh Indonesia. Pasalnya, peraturan tentang penayangan iklan kampanye di media daring yang terverifikasi Dewan Pers, adalah bentuk diskriminasi KPU RI terhadap media lainnya yang berbadan Hukum Indonesia yang belum terverifikasi Dewan Pers. 


Perlu diketahui bahwa saat ini terdapat puluhan ribu media daring yang belum terverifikasi Dewan Pers, namun sebagian sudah tersertifikasi di Dewan Pers Indonesia melalui Organisasi-Organisasi Pers Konstituen Dewan Pers Indonesia, termasuk melalui DPP Serikat Pers Republik Indonesia.


Ribuan media daring itu saat ini tengah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah daerah termasuk sosialisasi pelaksanaan tahapan kampanye Pemilihan Kepala Daerah. 


Peraturan KPU RI tersebut menjadi persoalan dalam pelaksanan Pilkada kali ini karena media-media tersebut tidak bisa menjalin kerja sama pemasangan iklan kampanye dari pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena terganjal Peraturan KPU. 


Kami menyadari Dewan Pers sudah berkali-kali membuat propaganda negatif tentang media-media daring yang belum terverifikasi Dewan Pers . 


Lembaga inimem-propagandakan kebohongan dengan mengatakan ‘jika Pemerintah Daerah mengadakan kontrak kerja sama dengan media-media dimaksudkan akan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan’ Namun kebohongan itu sudah dibantah oleh pihak BPK RI kepada DPP SPRI melalui surat resmi yang ditujukan kepada Ketua Umum DPPSPRI.


Bentuk intervensi yang sama kami yakini juga dilakukan oleh pihak Dewan Pers menjelang pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia dengan cara memengaruhi pihak KPU RI sehingga keluarlah ketentuan media terverifikasi Dewan Pers lewat Peraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020.


Perlu diketahui bahwa dampak diberlakukannya Pasal 47APeraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020 justeru bakal mengancam KPU RI, karena berpotensi digugat masal dengan tuntutan ganti rugi oleh ribuan pemilik perusahaan pers non-verifikasi Dewan Pers yang merasa dirugikan karena tidak mendapatkan belanja iklan kampanye dari para pasangan calon karena terganjal Peraturan diskriminatif KPU. 


Untuk menghindari hal itu, maka bersama ini kami memohon kepada Bapak kiranya dapat merevisi peraturan KPU RI Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 47A dengan menghapus ketentuan media terverifikasi Dewan Pers dan diganti menjadi Media Berbadan Hukum Indonesia, agar sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 1 ayat (2) bahwa Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia. 


Jika proses revisi perubahan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memungkinkan dilaksanakan dalam waktu dekat maka kami berharap pihak KPU RI dapat segera membuat Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh KPU Daerah dan tembusan kepada seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah agar ada solusi yang tepat bagi media non verifikasi Dewan Pers atau media berbadan hukum Indonesia yang tersertifikasi di Dewan Pers Indonesia melalui Serikat Pers Republik Indonesia juga bisa memperoleh iklan kampanye pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. 


Demikian permohonan dan saran ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kesedianya diucapkan terima kasih. 


Dewan Pimpinan Pusat 

Serikat Pers Republik Indonesia

Ketua Umum Heintje G. Mandagie. (Ar)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.