-->

Latest Post

Oleh : Nizwar Affandi (Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesia)


Tanggal 5 Oktober kemarin UU Cipta Kerja disahkan melalui paripurna DPR-RI. Bagi saya UU ini layak diusulkan sebagai salah satu kejaiban dunia dari Indonesia, minimal dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).


UU ini hanya memerlukan waktu pembahasan selama hampir 23 minggu, tepatnya 159 hari sejak rapat pertama panitia kerja (Panja RUU) tanggal 27 April sampai di pengesahan tahap pertama tanggal 3 Oktober. Dibutuhkan waktu selama 159 hari saja untuk melahirkan 15 bab dan 174 pasal, membahas 7.197 poin isu yang masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan memeriksa 1.203 pasal yang dikoreksi dari 79 UU terkait yang sudah ada sebelumnya.


Waktu selama 159 hari itu sudah dengan asumsi para anggota DPR-RI tetap bekerja setiap hari termasuk di Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari libur nasional lainnya, bekerja nonstop tanpa jeda sehari pun dalam situasi pandemi.


Dengan asumsi bekerja selama 12 jam sehari di luar waktu tidur, makan, minum dan aktivitas personal lainnya, maka pembahasan UU Cipta Kerja telah memakan waktu selama 1.908 jam. Rata-rata hampir 11 jam untuk perumusan setiap pasal baru dan 1,5 jam untuk memeriksa setiap pasal lama dalam 79 UU lainnya dikoreksi. Bersamaan dengan itu, setiap jamnya dibahas 4 poin isu yang ada di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), cukup 15 menit saja untuk setiap poin isu.


Dengan asumsi-asumsi itu saja pembahasan UU Cipta Kerja sudah sangat layak dimasukkan dalam MURI, apalagi jika asumsinya diturunkan dengan tetap menghitung hari raya, hari libur nasional dan tidak bekerja 12 jam setiap harinya, bisa jadi layak juga diusulkan untuk masuk dalam The Guiness Book Of Records.


Saya bukan akademisi maupun praktisi hukum yang memahami apalagi ahli dalam urusan “legal drafting”, karena itu saya sangat menaruh kagum pada kemampuan anggota parlemen yang mampu bekerja dengan begitu amat cepatnya. Saya juga bukan seorang guru besar yang memiliki kompetensi akademik terkait dengan salah satu atau salah dua dari 11 klaster dalam UU Cipta Kerja, apalagi sampai dengan tulisan ini dibuat saya belum mendapatkan versi utuh UU ini sebagaimana yang disahkan dalam paripurna DPR-RI tanggal 5 Oktober kemarin.


Karena itu saya tidak akan gegabah membahas detail pasal per pasal seolah-olah saya sudah membaca dan membandingkannya dengan 1.203 pasal dari 79 UU lain yang terkoreksi. Saya hanya ingin membahas spirit yang berulang-ulang telah dan masih terus disampaikan oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya, spirit yang menjadi ruh dilahirkannya UU Cipta Kerja, menarik investor-investor dunia untuk berinvestasi dan membuka jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia.


Saya akan menjadikan dua buah buku laporan sebagai alat bantu analisa dalam tulisan ini, buku Global Investment Competitiveness Report khususnya chapter Foreign Investor Perspectives and Policy Implications tahun 2017 dari World Bank dan buku The Global Competitiveness Report

2019 dari World Economic Forum, dua buku laporan yang tentu menjadi acuan bagi banyak negara di dunia termasuk Indonesia.


Bagi saya laporan Bank Dunia itu menarik karena memuat hasil survei terhadap 754 orang eksekutif dari berbagai perusahaan multinasional berpengaruh yang sebagian besar masuk dalam daftar World Fortune 500 Companies, survei itu menanyakan faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi keputusan para investor jika ingin berinvestasi di negara berkembang termasuk Indonesia.


Survei itu menemukan 10 faktor yang paling mempengaruhi keputusan berinvestasi, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil persentase pengaruhnya, yaitu: 1) Stabilitas politik dan keamanan sebesar 87%, 2) Lingkungan hukum dan peraturan yang stabil sebesar 86%, 3) Besarnya pasar domestik sebesar 80%, 4) Stabilitas ekonomi makro dan nilai tukar sebesar 78%, 5) Tersedianya tenaga kerja terampil sebesar 73%, 6) Infrastruktur fisik yang baik sebesar 71%, 7) Tarif pajak yang rendah sebesar 58%, 8) Biaya tenaga kerja dan input murah sebesar 53%, 9) Akses tanah dan properti sebesar 45%, dan 10) Pembiayaan di pasar domestik sebesar 44%.


Laporan yang sama juga menemukan 6 kondisi yang paling dihindari oleh para investor jika akan melakukan investasi langsung (Foreign Direct Investments) ke sebuah negara, urutannya yaitu: 1) Kurangnya transparansi dan kepastian dalam berurusan dengan badan publik/lembaga pemerintah sebesar 50%, 2) Mendadaknya perubahan dalam hukum dan peraturan yang berdampak besar sebesar 49% , 3) Lamanya waktu dalam memperoleh izin dan persetujuan pemerintah yang diperlukan untuk memulai atau menjalankan bisnis sebesar 47%, 4) Terbatasnya kemampuan untuk mentransfer dan mengonversi mata uang sebesar 42%, 5) Pelanggaran kontrak oleh pemerintah sebesar 13%, dan 6) Perampasan atau pengambilalihan properti atau aset perusahaan oleh pemerintah sebesar 5%.


Survei itu juga menemukan 3 motivasi utama para investor dunia ketika memutuskan investasi di sebuah negara, urutannya dalam persentase sebagai berikut: 1) Membuka akses pasar dan pelanggan baru sebesar 87%, 2) Menurunkan ongkos produksi sebesar 51%, 3) Mendekatkan dengan sumber daya alam dan bahan baku sebesar 39%.


Dari hasil survei itu ternyata stabilitas politik dan keamanan masih menjadi pertimbangan yang paling penting, sementara kurangnya transparansi dan kepastian dalam praktik pemerintahan masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi sebagian besar investor dunia ketika akan memutuskan berinvestasi di sebuah negara.


Dua hal itu jauh lebih penting daripada yang lain, termasuk  faktor-faktor lain yang yang sudah dibenahi oleh pemerintahan Jokowi selama ini, misalnya pembangunan infrastruktur dan regulasi insentif pajak. Ternyata tenaga kerja terampil masih lebih penting ketimbang tenaga kerja murah dan stabilitas nilai tukar mata uang masih lebih dipertimbangkan daripada akses terhadap tanah dan properti.


Dalam laporan yang lain dari World Economic Forum, Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara yang dievaluasi dalam daftar The Global Competitiveness Index. Sudah berada di atas Brunei (ke-56), Filipina (ke-64), Vietnam (ke-67) dan Kamboja (ke-106), walaupun masih tertinggal dari Thailand (ke-40) dan Malaysia (ke-27) apalagi dari Singapura yang menjadi juara pertama mengalahkan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara maju lainnya.


Stabilitas politik dan keamanan serta transparansi pemerintahan yang bersih menjadi keunggulan utama yang menempatkan Singapura jauh meninggalkan koleganya di Asia Tenggara. Pemerintahan Trump yang cenderung flamboyan dan sering kontroversial menjadi handicap yang menjungkalkan Amerika dari posisi pertama selama ini walaupun dari sisi infrastruktur, ketersediaan listrik, jaringan internet dan inovasi teknologi masih jauh lebih unggul daripada Singapura.


Dari dua laporan ini kita bisa belajar banyak, bahwa setumpuk revisi regulasi dan sejumlah pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya, ada yang lebih penting dari sekedar hal-hal yang bersifat fisik. 


Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang sering mengalami turbulensi berupa kegelisahan sosial (social unrest) dan pembangkangan sosial (social disobedience) akibat kontestasi dan kontroversi politik selama beberapa tahun terakhir tampaknya justru menjadi handicap terbesar yang membuat investor dunia menjadi enggan berinvestasi di Indonesia. Indeks perilaku koruptif dan kolutif yang masih tinggi serta transparansi praktik pemerintahan yang masih jauh dari kategori bersih sepertinya juga menjadi momok yang masih melekat ketika para investor dunia menyebut nama Indonesia.


Dalam perspektif itu saya khawatir maksud baik dari pemerintahan Jokowi melakukan kerja ambisius melalui UU Cipta Kerja justru menjauhkan kita dari tujuan yang semestinya. UU Cipta Kerja telah mengoreksi 1.203 pasal dalam 79 UU lainnya, karenanya tentu memerlukan perubahan dan penyesuaian yang tidak mudah pada sekian banyak Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah. Sebuah kerja raksasa yang ingin dilakukan justru pada saat pandemi COVID-19 sedang berlangsung secara global ibarat seperti memaksa menginjak gas habis-habisan ketika mobil sedang berada di tengah lautan lumpur yang dalam.


Saya tentu sama sekali tidak berkompeten untuk menyatakan apakah materi UU Cipta Kerja sudah baik atau buruk, benar atau salah. Tetapi melihat dampaknya secara sosial politik sejak masa kandungan sampai  dengan waktu kelahirannya, saya khawatir pemerintah tampak terlihat terlalu tergesa-gesa mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya masih dapat ditunda, setidaknya sampai kita dapat mengakhiri pandemi Corona yang telah menjangkiti 325 ribu orang dan merenggut nyawa hampir 12 ribu jiwa saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita, Indonesia.**

Presiden RI Joko Widodo. (Screenshot via youtube Sekretariat Presiden)


MPA, JAKARTA -- Setelah aksi penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) berlangsung luas di wilayah Indonesia setidaknya dalam tiga hari terakhir, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memberikan penjelasan, Jumat (9/10) petang.


Pernyataan Jokowi dari Istana Kepresidenan Bogor itu disiarkan secara langsung pula lewat akun youtube Sekretariat Presiden.


Dalam pernyataannya Jokowi menyebut demonstrasi penolakan omnibus law UU Ciptaker berlangsung luas di wilayah Indonesia karena ada kesalahan informasi dan berita palsu.


"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilatarbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," kata Jokowi, dikutip dari CNN Indonesia Jumat (9/10) petang.


Lebih lanjut, Jokowi pun meminta bagi ada di kalangan rakyat Indonesia yang tak puas dengan isi omnibus law UU Ciptaker, agar melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.


"Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi, kalau masih tidak puas dan menolak, silakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," katanya.


Berikut adalah pernyataan lengkap Jokowi pada Jumat petang, yang juga dipublikasi di situs www.presidenri.go.id pada laman Keterangan Pers Presiden Republik Indonesia Mengenai Undang-Undang Cipta Kerja:


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Bapak, Ibu, Saudara-saudara sebangsa se-Tanah Air,

Pagi tadi, saya telah memimpin rapat terbatas secara virtual tentang Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bersama jajaran pemerintah dan para Gubernur. Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat 11 klaster yang secara umum bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.


Adapun klaster tersebut adalah:


- Urusan Penyederhanaan Perizinan;

- Urusan Persyaratan Investasi;

- Urusan Ketenagakerjaan;

- Urusan Pengadaan Lahan;

- Urusan Kemudahan Berusaha;

- Urusan Dukungan Riset dan Inovasi;

- Urusan Administrasi Pemerintahan;

- Urusan Pengenaan Sanksi;

- Urusan Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM;

- Urusan Investasi dan Proyek Pemerintah; serta

- Urusan Kawasan Ekonomi.


Dalam rapat terbatas tersebut, saya tegaskan mengapa kita membutuhkan Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama,setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru (anak muda) yang masuk ke pasar kerja, sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak. Apalagi di tengah pandemi (Covid-19), terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Dan, sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen berpendidikan sekolah dasar sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya. Jadi, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran.


Kedua, dengan Undang-Undang Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat, khususnya usaha mikro kecil untuk membuka usaha baru. Regulasi yang tumpang-tindih dan prosedur yang rumit, dipangkas. Perizinan usaha untuk usaha mikro kecil (UMK) tidak diperlukan lagi, hanya pendaftaran saja, sangat simpel. Pembentukan PT atau Perseroan Terbatas juga dipermudah, tidak ada lagi pembatasan modal minimum. Pembentukan koperasi juga dipermudah, jumlahnya hanya 9 orang saja koperasi sudah bisa dibentuk. Kita harapkan, akan semakin banyak koperasi-koperasi di Tanah Air. UMK (usaha mikro kecil) yang bergerak di sektor makanan dan minuman, sertifikasi halalnya dibiayai pemerintah, artinya gratis. Izin kapal nelayan penangkap ikan, misalnya, hanya ke unit kerja Kementerian KKP saja. Kalau sebelumnya harus mengajukan ke Kementerian KKP, Kementerian Perhubungan, dan instansi-instansi yang lain, sekarang ini cukup dari unit di Kementerian KKP saja.


Ketiga, Undang-Undang Cipta Kerja ini akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, ini jelas karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perizinan secara elektronik maka pungutan liar (pungli) dapat dihilangkan.


Namun, saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari Undang-Undang (Cipta Kerja) ini dan hoaks di media sosial. Saya ambil contoh, ada informasi yang menyebut tentang penghapusan UMP (Upah Minimum Provinsi), UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten), UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi). Hal ini tidak benar, karena faktanya, Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada.


Ada juga yang menyebutkan bahwa upah minimum dihitung per jam? Ini juga tidak benar, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang, upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.


Kemudian adanya kabar yang menyebutkan bahwa semua cuti: cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan, dihapuskan dan tidak ada kompensasinya? Saya tegaskan juga ini tidak benar. Hak cuti tetap ada dan dijamin.


Kemudian apakah perusahaan bisa mem-PHK (melakukan pemutusan hubungan kerja) kapan pun secara sepihak? Ini juga tidak benar. Yang benar, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.


Kemudian juga pertanyaan mengenai benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar, jaminan sosial tetap ada.


Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah mengenai dihapusnya amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Itu juga tidak benar, amdal tetap ada. Bagi industri besar harus studi amdal yang ketat, tetapi bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.


Ada juga berita mengenai Undang-Undang Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan, ini juga tidak benar. Karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus, di KEK. Sedangkan, perizinan pendidikan tidak diatur di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini, apalagi perizinan untuk pendidikan di pondok pesantren, itu tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini, dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku.


Kemudian diberitakan bahwa keberadaan bank tanah. Bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria. Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah.


Saya tegaskan juga bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, tidak, tidak ada. Perizinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) sesuai dengan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang ditetapkan pemerintah pusat, ini agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah, dan penetapan NSPK ini dapat nanti akan diatur di dalam PP atau Peraturan Pemerintah.


Selain itu, kewenangan perizinan untuk nonperizinan berusaha tetap ada di Pemda, sehingga tidak ada perubahan. Bahkan kita melakukan penyederhanaan, melakukan standarisasi jenis, dan prosedur berusaha di daerah, dan perizinan berusaha di daerah diberikan batas waktu, ini yang penting di sini. Jadi, ada service level of agreement, permohonan perizinan dianggap disetujui bila batas waktu telah terlewati.


Saya perlu tegaskan pula, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali Peraturan Pemerintah/PP dan Peraturan Presiden/Perpres. Jadi setelah ini, akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan. Kita, pemerintah, membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat, dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah.


Pemerintah berkeyakinan melalui Undang-Undang Cipta Kerja ini, jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka.


Dan kalau masih ada, jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK (Mahkamah Konstitusi). Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi, kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK.


Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.


Terima kasih.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Sumber : cnnindonesia.com

Ada 84 orang yang telah diamankan di Mapolresta Padang, karena terindikasi melakukan kerusuhan (anarkis) saat demo, Kamis (8/10).


MPA, PADANG - Aksi unjuk rasa (demo) sejumlah mahasiswa menolak Omnibus Law dan Undang-undang Cipta Kerja berlangsung di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat, Rabu (7/10) sejak siang hingga sore hari.


Namun saat menjelang sore hari, aksi demo tersebut menjadi ricuh. Terlihat massa melemparkan botol minuman ke arah gedung DPRD Sumbar, bahkan lemparan tersebut juga mengarah kepada petugas kepolisian yang tengah melaksanakan tugas pengamanan.


Selain itu, terlihat dalam aksi unjuk rasa tersebut yang diketahui di tengah pandemi Covid-19 ini, para pengunjuk rasa tidak mengikuti aturan protokol kesehatan.


“Kami menyangkan aksi unjuk rasa kemarin itu. Mereka tidak mengindahkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak. Bahkan ada yang kami lihat tidak menggunakan masker,” kata Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Satake Bayu, S.Ik, Kamis (8/10) siang di Mapolda Sumbar.


Apa lagi kata Kombes Pol Satake, dari data kasus positif Covid-19 yang diperoleh bahwa di Kota Padang akhir-akhir ini terus mengalami penambahan kasus positif Covid-19. 


“Kita berharap mereka yang melakukan aksi ini tetap patuh protokol kesehatan. Karena jangan sampai dengan aksi yang dilakukannya itu malah menjadi klaster baru nantinya,” terangnya.


Kabid Humas kembali mengimbau kepada seluruh peserta aksi unjuk rasa, selain mematuhi protokol kesehatan agar dalam aksinya tidak melakukan pengrusakan baik fasilitas umum maupun fasilitas milik negara.


“Alangkah indahnya menyampaikan aspirasi tersebut dengan damai,” pungkasnya.


Kemudian lanjutnya, saat adanya aksi unras yang terjadi tadi siang (Kamis, 8/10) di kantor DPRD Sumbar, petugas kepolisian mengamankan puluhan remaja yang diduga melakukan kerusuhan.


"Ada 84 orang yang telah diamankan di Mapolresta Padang, karena terindikasi melakukan kerusuhan (anarkis) saat demo sore tadi. Informasi lengkap akan kami sampaikan kembali nantinya," pungkasnya.(*)


Sumber Bidhumas Polda Sumbar

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.