-->

Latest Post


MPA,JAKARTA - Dugaan rekayasa dan kriminalisasi jilid 2 terhadap Ir. Soegiharto Santoso alias Hoky selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Ketum Apkomindo) akan diuji di Pengadilan Negeri Bantul, pada hari Rabu, tanggal 27 Maret 2019 mendatang. Sebelumnya, Hoky yang juga merupakan Wapemred media online www.infobreakingnews.com ini telah mengalami proses kriminalisasi jilid 1 dan sempat ditahan selama 43 (empat puluh tiga) hari dari 24 November 2016 hingga 05 Januari 2017 di Rutan Bantul. Saat itu, para oknum penegak hukum dengan semena-mena memproses laporan bernomor: LP/392/IV/2016/ Bareskrim Polri atas laporan rekayasa yang dilakukan oleh Agus Setiawan Lie atas kuasa Sonny Franslay.

Meskipun telah ditahan selama 43 hari, faktanya Hoky divonis bebas oleh PN Bantul pada tanggal 25 September 2017 dan Kasasi JPU Ansyori, SH (Jaksa Utama Pratama) dari Kejagung RI dengan tuntutan 6 tahun penjara serta denda 4 Miliar subsider 6 bulan penjara telah ditolak oleh MA pada tanggal 18 Desember 2018 yang lalu.

Kali ini dugaan rekayasa laporan polisi dilakukan oleh Faaz Ismail yang merupakan kolega dari Agus Setiawan Lie dan Sonny Franslay. Bahkan menurut pengakuan Faaz pada saat membuat laporan di Polres Bantul dengan LP/109/V/2017/SPKT, tertanggal 24 Mei 2017, dia didampingi oleh Agus Setiawan Lie.

Faaz, bersama dua orang saksi yaitu JPU Ansyori, SH dan Suwandi Sutikno diduga melakukan rekayasa membuat laporan dan keterangan palsu tentang tindak pidana penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 KUHP, dengan tersangka Hoky. Dalam BAP, mereka menyatakan Hoky melakukan pemukulan terhadap Faaz Ismail, sementara Hoky memastikan tidak pernah melakukan tindak pidana penganiayaan sama sekali.

Oleh karena itu, Hoky melakukan Praperadilan terhadap Polres Bantul dengan perkara nomor 3/Pid.Pra/2018/PN Btl. dan dalam persidangan Praperadilan tersebut  hadir  5 (lima) orang Saksi yaitu; Dicky Purnawibawa, Edy Anantoratadhi, Ngongo Bili (Veri), Andi Riyanto dan Rohman Yudi Ardianto (Anang) yang menyatakan tidak ada tindak pidana penganiayaan sama sekali. Yang terjadi hanyalah ribut-ribut soal kata-kata “kutu kupret” saja. Selain itu, ada 3 (tiga) orang saksi, yaitu Darma Kusuma Setya, Christian Yanuar dan Joko Rianto, dalam BAP di Polres Bantul telah menyatakan hal yang sama yaitu tidak melihat adanya tindak pidana penganiayaan.

Hoky menempuh proses Praperadilan terhadap Polres Bantul karena memang tidak ada tindak pidana penganiayaan sama sekali. Bahkan, Hoky memastikan tidak pernah memperoleh surat panggilan pertama, tetapi langsung surat panggilan kedua. Juga tidak ada bukti visum, termasuk pada CCTV di PN Bantul tidak ada bukti penganiayaan sama sekali. Namun mengherankan, pada tanggal 15 Januari 2019 Hoky ditetapkan sebagai tersangka, walapun telah dilakukan perubahan dari tindak pidana penganiayaan berat pasal 351 KUHP menjadi tindak pidana penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP.

Saat dilakukan konfirmasi oleh awak media, Hoky menyatakan siap menghadapi kasus rekayasa dan kriminalisasi tersebut. “Saya tetap akan hadapi dan siap hadir di PN Bantul. Bahkan saya telah proaktif menghubungi penyidik, saya juga telah mengirimkan Chat WA kepada penyidik termasuk ke Sdr. Faaz dan Sdr. Suwandi agar pelapor dan saksi hadir. Termasuk saya menghubungi via call dan SMS saksi JPU Ansyori SH, karena saksi JPU Ansyori SH tidak menggunakan WA. Tentu saja harapan saya mereka hadir, agar terungkap di muka persidangan rekayasa mereka,” ujar Hoky.

Seperti saat sidang pada tahun 2017, lanjut Hoky, dimana salah satu saksi lawan mengungkapkan tentang benar ada orang yang menyiapkan dana agar saya masuk penjara. “Kesaksian tersebut tertuliskan dalam salinan putusan 3/Pid.Sus/2017/PN Btl. (Hak Cipta). Hebat sekali-kan orang yang menyiapkan dana untuk masukan saya ke penjara,” kata Hoky kepada sejumlah media, Minggu (24/3/2019) di Jakarta.

Upaya mengkriminaliasi Hoky selaku Ketum Apkomindo terus-menerus dilakukan sejak dia menjabat sebagai Ketum Apkomindo di awal tahun 2015 hingga saat ini di tahun 2019. Faktanya telah ada 5 (lima) laporan polisi atas Hoky, yaitu satu di Polres Jakarta Pusat, tiga di Bareskrim Polri dan satu di Polres Bantul. Seluruh laporan polisi tersebut diduga merupakan rekayasa hukum dan dibuat-buat, sehingga satu-persatu dapat diatasi dengan baik oleh Hoky. Apalagi saat ini Hoky bersama dengan beberapa koleganya telah mendirikan kantor pengacara dengan nama Mustika Raja Law Office untuk membantu mengatasi permasalahan hukum dirinya, sekaligus untuk membantu teman-teman yang membutuhkan.

Sebenarnya, bukan hanya 5 (lima) laporan polisi saja yang harus dihadapi oleh Hoky. Hingga saat ini telah ada total 13 (tiga belas) Perkara Pengadilan berkaitan dengan Apkomindo. Sebelas perkara diantaranya suudah diselesaikan, antara lain; 1 (satu) di PN Jakarta Timur,  1 (satu) di PT DKI Jakarta, 1 (satu) di PTUN, 1 (satu) di PT TUN, 3 (tiga) di PN Bantul, 1 (satu) di PN Jakarta Pusat dan 3 (tiga) di MA.

Saat ini Hoky juga sedang menghadapi gugatan baru dari Rudy Dermawan Muladi dan Faaz Ismail, dimana Rudy dan Faaz yang sejak 14 Februari 2018  sudah dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana pencemaran nama baik dan Undang Undang ITE di Polda DIY atas laporan polisi nomor : LP/362/VII/2017/DIY/SPKT. Sayangnya, hingga kini telah lebih dari 1 (satu) tahun lamanya, kasus yang dilaporkan korban Hoky tersebut masih belum dilimpahkan kepenuntutan, Sedangkan sebaliknya, Faaz Ismail, cs yang melaporkan kasus tindak pidana ringan (Tipiring) Hoky dengan Pasal 352 KUHP ini perkaranya sudah sedang berjalan di Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta.

Gugatan baru Rudy dan Faaz adalah terkait perkara perdata dengan nomor 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana Rudy dan Faaz mengklaim dirinya masing-masing sebagai Ketum dan Sekjen DPP Apkomindo masa bakti 2015-2020. Para penggugat ini tidak tanggung-tanggung, mereka menggunakan jasa pengacara terkenal yaitu Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH., MM. Selain Hoky, masih ada tergugat lainnya yaitu; Muzakkir, Go Andri Sugondo, Agustinus Sutandar, Gomulia Oscar, dan Suwato Kumala, ditambah beberapa turut tergugat lainnya, yaitu; Felix Lukas Lukmana, H. Hendra Widya, SE, MM, MBA, Nurul Larasati, SH, Erlien Wulandari, SH, dan Dini Lastari Siburian, SH.

“Secara kebetulan, pada saat yang sama yaitu hari Rabu, tanggal 27 Maret 2019 akan ada agenda sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, namun saya harus memilih hadir di PN Bantul, sebab untuk di PN Jakarta Selatan merupakan sidang gugatan perdata, sedangkan di PN Bantul adalah sidang pidana,” jelas Hoky.

Hoky yang sempat menjadi Ketua Pantia Kongres Pers Indonesia pada tanggal 06 Maret 2019 lalu di Asrama Haji Pondok Gede, menghimbau agar teman-teman jurnalis berkenan membantu melakukan pemberitaan, namun tetap berimbang serta adil. “Saya senang jika teman-teman jurnalis yang berdomisili di sekitar Bantul seperti dari Yogyakarta, dari Sleman, dari Gunung Kidul dan dari Kulon Progo berkenan hadir dan meliput sidangnya, karena akan semakin terungkap tentang Pihak lawan selalu berupaya melakukan rekayasa hukum terhadap diri saya,” tambah Hoky berharap.

Bahkan, imbuhnya, Sdr. Faaz sempat menyatakan kepada saya bahwa untuk gugatan di PN Jakarta Selatan itu dia hanya tanda tangan saja dan ada orang yang membiayai pembayaran kepada pengacara-nya. “Nanti bisa bertanya langsung ke Sdr. Faaz di PN Bantul. Mereka berpikir hukum itu bisa dibeli dan direkayasa, padahal jaman telah berubah. Faktanya saya telah menang di MA hingga 3 perkara dari pihak mereka, bahkan Kasasi JPU dengan tuntutan penjara 6 tahun telah ditolak oleh MA. Saat ini saya sedang menantikan salinan putusan dari MA, mereka malah masih bermain-main dengan hukum terus. Yakinlah, tidak lama lagi kelompok mereka akan menuai apa yang telah mereka taburkan,” pungkas Hoky optimis. (SSH/Red)



MPA,PADANG – Berawal dari rasa kepedulian sesama Marlinda mengaku merasa prihatin dengan kehidupan sebagian masyarakat yang ada di daerahnya yaitu wilayah pauh dan kuranji, kota padang sumatera barat.

Namun selama ini Marlinda tidak bisa berbuat banyak karena kemampuannya terbatas. Hal itu pulalah yang memotivasi Marlinda untuk maju pada pileg 2019 ini demi  memperjuangkan aspirasi serta kehidupan yang layak bagi kalangan petani dan sebagian buruh yang ada di daeranya.

"Ada banyak masalah yang saudara-saudara kita hadapi saat ini. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. agar mereka bisa diperjuangkan kebutuhannya dan hidup layak, maka saya harus maju  dan terpilih sebagai anggota legislatif,"kata Marlinda  caleg Partai Perindo dengan no urut ( 7 ) kota padang  Dapil Pauh-Kuranji ini, (22/3/2019).

Menurutnya, saat ini dengan jalur eksekutif dan legisaltif lah yang bisa memperjuangkan kebutuhan petani serta buruh yang ada di wilayah pauh-kuranji  melalui kebijakan pemerintah, ujar sosok yang akrab disapa Linda.

Mengenai dukungan, karena rasa kepedulian selama ini. Alhamdulilah keluarga dan teman teman lah yang meminta kita untuk melangka maju ke parlemen, pungkasnya.

(ar)



Oleh: Wilson Lalengke

Pupu Wo’o adalah sebuah frasa menakutkan di kampung saya, di pedalaman terasing Morowali Utara, di era 1970-an hingga pertengahan 90-an. Pupu Wo’o merupakan bahasa lokal yang artinya petik kepala, atau lebih tepat-nya potong kepala. Konon, saat itu banyak ditemukan orang, terutama anak-anak yang mati tanpa kepala alias dimutilasi, dipenggal kepalanya. Sipembunuh membawa kepala dan membiarkan tubuh korban tergeletak di jalanan, di lapangan, di hutan, di pinggir sungai, atau di mana saja.

Katanya, wo’o (kepala) anak-anak yang di-pupu (dipotong) itu akan digunakan untuk dimasukan ke dalam tiang utama bangunan, seperti jembatan, gedong besar, gudang besar, dan sejenisnya. Untuk keperluan pembangunan di suatu wilayah, harus turut ditanam (dicor) kepala manusia yang masih usia muda, lebih muda lebih bagus. Fungsinya sebagai mahluk halus penjaga bangunan.

Tidak sembarang kepala bisa digunakan, harus kepala manusia dari daerah yang jauh, menyeberang lautan. Mitos yang berkembang, jika suatu saat seorang sanak-saudara dari orang yang kepalanya ditanam di bangunan itu menginjak bangunannya, maka segera bangunan akan retak dan roboh. Oleh karena itu, wo’o yang digunakan harus kepala orang dari daerah yang jauh sekali dari bangunan yang sedang dibuat.

Setiap kali isu Pupu Wo’o menyebar, kontan masyarakat seluruh negeri akan menjaga anak-anaknya dengan ketat. Mereka dilarang keras bepergian sendiri, walau hanya sekedar keluar rumah. Anak-anak harus selalu dalam pengawasan dan penjagaan orang dewasa dan/atau orang tuanya.

Tidak hanya itu, penjagaan kampung, dusun, dan desa-desa diperketat, lebih dari biasanya. Ronda malam digalakkan, para pemuda digerakkan menjaga seluruh sudut jalan masuk dan keluar pedesaan. Semua orang luar kampung dicurigai, termasuk saat masuk kampung pada siang hari. Mereka diinterogasi, digeledah. Jika para penjaga merasa tidak puas atas jawabannya, sang tamu akan dipaksa balik kanan.

Dapat dibayangkan kondisi perkampungan saat isu Pupu Wo’o muncul. Ketegangan dan saling curiga antar warga desa, terutama dengan pendatang, menjadi pemandangan sehari-hari. Anak-anak diliputi rasa takut, tidak ingin ditinggal sendiri-an di rumah, di sekolah, apalagi di ladang. Mata dan telinga setiap orang terpasang dengan ketat, menelisik semua gerak-gerik dan suara-suara mahluk apapun yang ada, terlihat dan terdengar di sekitar. Sungguh masa-masa yang menegangkan.

Kenyataannya? Apakah Pupu Wo’o benar-benar ada? Walahu’alam. Tapi, berdasarkan penelusuran di laman pencarian google, yahoo, dan lainnya, tidak dijumpai berita tentang anak terpotong kepala yang ditemukan di jalanan, atau tempat lainnya di era tersebut.

Frasa Pupu Wo’o ini selalu muncul menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di masa itu. Tujuan utamanya adalah sebagai strategi ‘cipta kondisi’ di kalangan rakyat agar mudah dikendalikan ke arah yang diinginkan sipembuat atau penebar isu Pupu Wo’o. Menjelang pelaksanaan Pemilu 1977, 1982, dan 1987, seingat saya, merupakan puncak kejayaan penggunaan isu Pupu Wo’o yang disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat di desa-desa. Setidaknya, di wilayah Kabupaten Morowali Utara yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, isu menakutkan ini santer menjadi buah bibir dimana-mana.

Tidak jelas pihak mana yang memunculkan dan mengedarkan berita tentang berbagai kejadian Pupu Wo’o. Orang-orang terlihat tidak peduli tentang sumber berita, benar-tidaknya berita itu. Minimnya akses infromasi melalui media massa menjadikan rakyat sulit mencari kebenaran faktual atas cerita-cerita horror Pupu Wo’o. Yang bisa dilakukan, semuanya hanya fokus pada program mengamankan anak-anaknya, mengamankan sanak-saudaranya, mengamankan tetangganya, mengamankan kampung dan desanya. Para anggota Hansip-Kamra (Pertahanan Sipil, Keamanan Rakyat) versi zaman itu (Orde Baru), terlihat sibuk siang-malam.

Satu-satunya fakta sejarah yang bisa dilihat dari fenomena Pupu Wo’o adalah berlangsungnya pemilu-pemilu di masa itu dengan baik, lancar, tertib, dan berhasil mengamankan suara Golkar (Golongan Karya) versi Orde Baru. Keberhasilan itu juga tercermin dari langgengnya kepemimpinan puncak Mbah Harto hingga 32 tahun memerintah negeri ini. Bagi saya pribadi, mengenang masa-masa 70-an hingga 90-an itu, menyimpulkan bahwa Legenda Pupu Wo’o menjadi salah satu kunci keberhasilan rezim Orde Baru dalam merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan.

Melompat ke hari-hari saat ini, pas menjelang pelaksanaan pemilihan umum, fenomena serupa namun tak sama juga muncul. Terminologi menakutkan Pupu Wo’o, yang dijadikan isu strategis dalam mengelola kondusivitas publik dan mengamankan suara pemilih, telah bermutasi menjadi sosok Hoax. Jika dahulunya masyarakat ditakut-takuti dengan isu potong kepala, maka belakang ini publik ditakut-takuti dengan isu berita bohong.

Hakekatnya, Pupu Wo’o adalah cerita bohong, sama halnya dengan Hoax sebagai berita bohong. Akan tetapi, Pupu Wo’o dan Hoax, tidaklah harus menjadi masalah. Malahan, hal itu perlu dianggap biasa saja, tidak perlu dipersoalkan atau dihindari. Toh, kelahiran setiap manusia selalu diawali oleh adanya cerita berbumbu kebohongan antara kedua orang tuanya dalam bentuk rayuan dan tipuan terhadap lawan jenis yang diincarnya. Mengapa Hoax harus diperangi, dilawan, dihancurkan, hingga kita menghabiskan pikiran, energi, waktu, dan sumber daya lainnya untuk hal tidak penting ini?

Persoalan Pupu Wo’o dan Hoax itu sesungguhnya berada pada keluguan (atau kedunguan?) publik yang percaya mentah-mentah terhadap segala informasi yang diterimanya. Keluguan masyarakat desa jaman dulu, yang percaya terhadap adanya Pupu Wo’o, telah memberi peran yang signifikan terhadap langgengnya kejayaan Golkar dan kekuasaan Pak Harto. Hal serupa juga akan terjadi jika publik tetap dalam kedunguan, percaya terhadap isu Hoax yang disebarkan pihak tertentu.

Persoalan berikutnya, siapa yang produksi Hoax menjelang Pemilu 17 April 2019 ini? Bagi mereka yang berakal sehat, tidak penting siapa yang memproduksi dan menyebarkan Hoax. Tidak penting juga apa isi Hoax itu. Yang teramat penting adalah apakah rasionalitas setiap warga telah bekerja dengan baik atau tidak? Jika pilihan sikap dan tindakan Anda semata dipicu oleh informasi sesat yang diterima, itu artinya Anda masih hidup di era Pupu Wo’o.
                                       
Penulis: Alumni Pascasarjana Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, dan Pascasarjana Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.