Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat berjabat tangan
dengan Presiden China Xi Jinping. Brendan Smialowski / AFP)
MPA, JAKARTA - Persaingan antara Amerika Serikat
dan China tampaknya tidak terhalang oleh pandemi virus corona (Covid-19). Krisis
pandemi global ini bahkan dinilai ahli politik internasional tetap dijadikan
area bertarung kedua negara adidaya tersebut demi memperbaiki citra atau
meningkatkan pamor.
"Segala momentum pasti dimanfaatkan kedua negara untuk
saling menjatuhkan lawan dan menunjukkan siapa yang bisa dipercaya. Ibaratnya
(pandemi corona) ini pertarungan head to head antara adikuasa yang sedang turun
pamor (AS) dengan adikuasa yang sedang naik pamor (China)," kata Dosen
Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, pada Selasa (21/4) dikutip dari CNNIndonesia.com.
Kedua negara kembali terlibat adu mulut dengan saling
menuding sebagai biang keladi dari virus yang telah menginfeksi lebih dari 2,6
juta orang di 210 negara dan wilayah di dunia itu.
Presiden Donald Trump berupaya membangun narasi negatif
terhadap China dengan menyebut Covid-19 sebagai 'virus China'.
yang menjual hewan liar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China,
sekitar Desember 2019 lalu.
Namun, banyak pihak yang masih meragukan anggapan itu
lantaran China dianggap tidak pernah benar-benar terbuka menyelidiki hal
tersebut. China sendiri menyatakan tidak ada bukti bahwa wabah itu dimulai di
sana.
Trump berulang kali menganggap China tidak transparan
mengenai bagaimana awal mula Covid-19 muncul dan berbagai data lainnya terkait
perkembangan penyebaran virus tersebut.
Tudingan itu lantas didukung sejumlah negara Barat seperti
Inggris dan Prancis yang mendesak pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk
membuka semua data awal mula kemunculan virus.
AS menuding virus itu muncul dan menyebar akibat kebocoran
salah satu laboratorium di Wuhan. Trump bahkan ngotot ingin mengirim penyelidik
ke sana. Namun, China membantah hal tersebut.
Ketangkasan China Ubah Narasi Corona di Tengah Tekanan
ASFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Menurut Rezasyah, China paham betul bahwa posisinya sangat
dirugikan akibat kemunculan pandemi ini.
Alih-alih berkoar ke dunia luar layaknya AS, Rezasyah
mengatakan China lebih memilih bermain cerdik dengan memaksimalkan diplomasi
dalam mengubah narasi negatif yang melekat pada negaranya akibat wabah ini.
Tiongkok tampil ke panggung dunia sebagai negara yang
berhasil membendung virus corona. Bahkan di ambang kemenangan.
Pelan namun pasti, China mulai mengulurkan tangan ke sejumlah
negara sangat terdampak penyebaran corona.
Rezasyah melihat China tahu betul yang dibutuhkan saat ini
adalah kepercayaan publik internasional demi meningkatkan pamor yang tercoreng
corona.
China dengan cepat berupaya memposisikan diri sebagai negara
dermawan yang peduli dan mampu membantu negara lain di tengah pandemi yang masih
merongrong negaranya sendiri.
Pada Maret lalu, China mengirimkan dua juta masker medis, 200
ribu masker N95, dan 50 ribu test kit ke Italia, salah satu negara paling
terdampak corona.
China juga mengerahkan puluhan tenaga medis ke Italia demi
membantu pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte menanggulangi wabah
tersebut.
Presiden Xi Jinping bahkan menjanjikan bantuan kepada Spanyol
dan Prancis.
Kolom majalah Foreign Policy menuliskan Italia dan negara
Eropa menjadi kawasan ideal bagi Xi Jinping untuk mengubah narasi yang melekat
pada negaranya dari semula disebut sebagai 'sumber penyebaran virus' menjadi
'negara dermawan.
Ketangkasan China Ubah Narasi Corona di Tengah Tekanan
ASFoto: CNN Indonesia/Fajrian
Berbeda dengan China, pemerintahan Trump justru malah menarik
bantuan AS ke WHO di tengah pandemi. Pemutusan bantuan itu dilakukan Trump yang
marah karena menganggap WHO membela China yang "tidak transparan".
AS merupakan donor terbesar WHO selama ini. Negeri Paman Sam
menyumbangkan lebih dari $400 juta bagi WHO pada 2019 lalu.
Rezasyah melihat strategi itu cukup berhasil bagi propaganda
China yang berupaya menutupi tanggung jawab sebenarnya terkait penyebaran virus
corona secara global.
"Di sini lah kehebatan soft power dan diplomasi global
China yang bisa mengubah narasi negatif menjadi positif sangat cepat dan di
luar bayangan banyak orang. China memang memiliki kemampuan mengelola krisis
luar biasa yang diuntungkan dari pemerintahannya yang sentralistik dan rakyat
yang patuh," kata Rezasyah.
Rezasyah menilai China memiliki diplomasi global dan ekonomi
yang kuat dan itu telah dibangun secara konsisten dan bersinergi oleh Xi
Jinping sejak lama demi mengantisipasi insiden-insiden seperti ini.
Ia mengatakan jika China bisa terus konsisten membangun
diplomasi dan soft power ini, dalam sepuluh tahun ke depan bisa jadi Negeri
Tirai Bambu benar-benar menggeser posisi Negeri Paman Sam sebagai negara
superpower.
"Alih-alih terpuruk, China pelan namun pasti berhasil
mengubah narasi pandemi corona ini untuk meningkatkan kepercayaan publik
internasional terkait kepemimpinannya di dunia global. Jika AS tidak hati-hati,
ini bisa mengarah ke sana (pergeseran kedudukan superpower)," ucap
Rezasyah.
Meski begitu, Rezasyah tak begitu yakin bahwa pandemi corona
merupakan titik perubahan geopolitik global dan tatanan global antara China dan
AS.
Ketangkasan China Ubah Narasi Corona di Tengah Tekanan
ASSambutan hangat untuk para pahlawan medis Wuhan, China. (STR / AFP)
Ia hanya melihat pandemi ini momentum bagi kedua negara
adidaya untuk menunjukkan siapa yang lebih bisa diandalkan.
"Dan tampaknya China yang berhasil mengambil kesempatan
ini. Di sisi lain, kita lihat AS. Sekarang Trump bahkan berdebat dengan para
pemimpin negara bagian AS soal penanganan corona. Sementara China selalu satu
suara. China berhasil menunjukkan good governance dalam menyikapi pandemi
ini," kata Rezasyah.
Senada dengan Rezasyah, Profesor Emeritus sekaligus Dekan
Sekolah Kepemerintahan Universitas Harvard, Joseph S Nye, mengatakan pandemi
corona tidak akan mengubah tatanan global terutama terkait posisi AS dan China.
Menurut dia, krisis wabah corona ini hanya sebatas area
persaingan AS-China yang baru. Nye mengatakan baik China dan AS sama-sama salah
mengambil langkah di awal penyebaran pandemi ini.
Ia menganggap Trump dan Xi sama-sama mengawali respons global
terkait wabah corona dengan penyangkalan dan misinformasi.
Di satu sisi, China sempat dianggap berupaya menutup rapat
terkait kemunculan virus ini. Di sisi lain, Trump sempat meremehkan ancaman
virus ini yang sekarang membuat AS sebagai negara dengan jumlah kasus dan
kematian corona tertinggi di dunia.
"Respons kedua negara hanya menimbulkan kebingungan dan
membuang-buang waktu serta kesempatan untuk mempererat kerja sama internasional
dalam menangani wabah ini," kata Nye dalam kolomnya di majalah Foreign
Policy berjudul No, the Coronavirus Will Not Change the Global Order.
"Kedua negara ekonomi terbesar di dunia itu malah
terlibat pertempuran propaganda. China mengklaim militer AS terlibat penyebaran
virus corona, sementara Trump terus menyebut virus corona adalah "virus
China" ujarnya menambahkan. (**)
Dilansir dari CNN Indonesia